Beberapa waktu lalu, saya baru saja kenalan dengan anak
tetangga baru yang masih berusia sekitar tiga atau empat tahun. Sebenarnya
bukan tetangga saya yang baru, tapi saya yang baru menjadi 'warga baru' di
daerah situ. Kenalan kan wajar agar orang lain mau menerima kehadiran kita dan
menganggap kita menjadi bagian dari mereka. Apalagi anak kecil itu lucu-lucu.
Saya pikir kalau saya bisa mengenal mereka dan bermain dengan mereka, itu akan
sangat menyenangkan.
Saya selalu senang jika bertemu anak-anak. Senang karena
kepolosannya. Mereka itu lucu dan jujur. Ada juga kemarin anak kecil yang
pedenya minta ampun. Baru ketemu saya pertama kalinya, dia berani meletin lidah
sembari melipat tangan di depan dada. Ampun, anak siapa itu? Untungnya saya
sempat kenalan dengan dia, bahkan unjuk kebolehannya menyanyi “berawal dari
telur” di depan saya. Ooh, pede sekali. Tapi justru saya suka dengan anak yang
pede macam itu. Antara saya dan dia jadi ada timbal balik sehingga saya tahu
dia tidak bermaksud menyombongkan diri meskipun dia sempat melipat tangan di
depan dada. Beda sekali kalau yang melakukan itu orang tua kan?
Ada juga keponakan saya yang rasa ingin tahunya tinggi.
Kalau yang macam begini saya semakin tertantang untuk bertanya banyak padanya
di samping menyiapkan jawaban masuk akal agar dia 'bisa diam' kalau mulut saya
sudah capek dan sudah tidak ada ide kreatif lagi untuk merangkai jawaban. Haha!
Kalau ponakan saya ke rumah pasti selalu ada saja cerita
yang ingin dibagi ke orang lain. Kadang-kadang malah saya yang menunggu
ceritanya. Hari ini ada cerita apa ya? Biasanya begitu dipancing satu
pertanyaan, akan muncul dua tiga cerita yang dia ceritakan dengan ekspresif. Di
situlah menariknya. Saya jadi bisa memahami, ooh anak ini sudah memahami ini
tapi dia belum tahu hal itu. Saya juga jadi tahu hal-hal apa yang membuat dia
marah, dia senang, atau dia takut. Selain itu, cerita anak-anak itu membuat
otak saya jadi segar, hati saya bungah,
dan capek bisa tiba-tiba menguap.
Ada lagi tantangan kalau waktunya dia makan, tapi dia nggak
mau. Keponakan saya ini lucunya nggak mau makan telur bulet yang rebus. Kata
dia telur itu mentah alias nggak bisa dimakan, apalagi buat lauk. Asli, saya
hanya bisa ngakak mendengar cara berpikir polosnya. Sampai pada suatu hari
sewaktu dia kelaparan dan tidak ada makanan sama sekali kecuali mie instan,
telur mentah dan nasi putih, saya mencari ide agar dia doyan makan dengan telur
tanpa harus mengonsumsi mie instan. Saya sms mbak saya, katanya Hafiz nggak
doyan telur dadar atau telur ceplok. Padahal dia berkali-kali bilang maem
tante, maem tante. Dan cling! Saya menjerang air. Sekali-kali saya pengen ‘ngerjain’
anak ini biar nggak berpikir lagi kalau telur rebus itu telur mentah. Akhirnya
saya punya ide mengajak dia masak sebelum makan.
Setelah airnya mendidih, saya minta dia memasukkan telur ke
dalam panci. Sebelumnya saya kasih penjelasan harus pelan-pelan dan hati-hati
agar airnya tidak muncrat dan kena tangannya (sekalian memperpanjang waktu agar
dia tambah kelaparan dan tidak menolak makan apapun. Hahahaha!). Eh, benar dia
kelaparan. Selama menunggu telurnya masak dia bolak-balik ke dapur, ngecek. Te,
sudah belum? Sudah belum, Te. Yes, saya berhasil membuatnya kelaparan! Pun
ketika mau menggoreng telur yang sudah dikupas saya minta dia yang memasukkan
ke wajan. Sekali lagi biar dia tahu kalau telur itu bukan telur mentah! Dan
akhirnya...dia makan! Lahap. Saya bahagia meskipun untuk masak sedemikian saja
perabotan malang melintang di dapur.
Terakhir kemarin waktu saya pulang, dia asyik di depan rak
buku. Ternyata dia nemu komik, koleksi saya jaman baheula. Dia minta, setengah
memaksa, mau membawa komik itu pulang karena mau diwarnai. Kebetulan juga dia
sedang hobi sekali mewarnai. Buku mewarnainya setumpuk yang saya belikan
patungan dengan adik saya mungkin sudah habis diwarnainya sehingga dia tak
punya lagi gambar yang akan diwarnai. Jadilah komik saya yang gambarnya hitam
putih itu mau dibawa pulang. Katanya, “Te ini belum diwarna. Tak bawa pulang ya”.
Saya ngakak dulu sebelum eyel-eyelan
sama dia yang akhirnya membuat dia mengalah dan mengalihkan pembicaraan. “Hem,
Tante pinter aku di-tumbasne madu.
Tanteku pinter ya.” Saya jadi tambah ngakak. Dasar perayu ulung!
Eh, kembali lagi ke tetangga kecil saya yang tadi. Usianya
tak jauh beda dengan Hafiz. Dengan kata lain seharusnya tetangga kecil saya ini
sudah memiliki kosakata yang cukup untuk berkomunikasi dengan orang-orang di
sekitarnya. Ya wajarlah kalau ada satu dua kata yang susah diucap, misalnya
anak kecil itu ada yang susah bilang huruf R. Dulu nama saya juga berubah jadi
LAMA sewaktu Hafiz masih pelo. Juga teman saya yang namanya DIYAH hanya tinggal
YAH-nya saja sewaktu adiknya yang manggil. Ya, tak jauh bedalah dengan kita
dulu sebenarnya.
Nah, pertama-tama saya kenalan dengan Kiki (panggil saja
begitu untuk lebih mudahnya) saya dibuat bingung. Saya sampai harus menajamkan
pendengaran saya dan mengerutkan kepala
untuk memahami apa yang dia katakan. Padahal dia sudah keluar
ototnya bermaksud meminta sesuatu. Saya
tahu dia minta sesuatu, tapi apa? APA KI? Tanya saya berulang-ulang. Baru
ketika teman saya yang sudah biasa bercakap-cakap dengan Kiki datang dan
menjelaskan, saya plong! OOOO, JADI ANAK INI MINTA ES KRIM. NGOBROL DONG! Duh! Mana saya tahu kalau A IM itu artinya ES KRIM! Hahaha!
Saya tanya ke teman saya usia Kiki itu berapa. Kata teman
saya anak ini memang agak aneh. Bukan hanya karena mengucapkan kata-kata yang
hanya diambil huruf vokalnya saja dan huruf konsonannya lebih sering tenggelam
~ i'a
eayang an ao ia ai i'ung ~ bisa kebayang kan kalo kita jadi bingung???? ~
tapi anehnya lagi adalah, kata teman saya, “Kamu
hati-hati ya kalau sama dia. Meskipun anak kecil dia suka...begitu.” Hah, apaan? Teman saya bilang ini dan itu.
WHAT? Siapa yang ngajarin? Ngenes saya.
Terus saya coba mengajarinya mengeja EES-KRIIM. Memang agak
susah sih bilang KRIM. Tapi ternyata dia bisa lebih jelas mengucapkan kali ini
daripada A IM. Oh, dia hanya butuh diajari.
Orang tuanya masih ada kan? Sibuk, kata teman saya. Aduh,
saya makin kasihan saja. Saya jadi mikir yang tidak-tidak, buat apa sih cari
duit kalau Kiki nggak bisa ngomong? Tapi bukan hak saya menasihati orang
tuanya, baru juga kenal. Hohoho!
Jadi sodara, konon, teman-temannya Kiki ini kebanyakan orang
dewasa. Dia di-emong sama mereka. Dan nggak tahu Kiki diajari apa sama mereka. Anak
sekecil Kiki tahu apa coba kalau tidak ada yang mengajarkannya sesuatu? Hiks! Dia
kan masih harus banyak bermain dan belajar. Mengenal bahasa, bersosialisasi
dengan sekitarnya, hemfh....
Saya tidak bisa menolong Kiki lebih jauh kecuali mengajaknya
bicara dengan bahasa yang jelas kalau sedang bersama saya, dan tentunya dengan
bahasa Indonesia. Btw, Kiki ini ternyata orangtuanya pendatang. Mungkin kalau
di rumah, Kiki diajari pakai bahasa daerahnya, terus kalau sama orang lain
pakai bahasa Jawa, terus sama orang yang lain lagi pakai bahasa Indonesia. Saya
pernah mengajaknya ngomong bahasa jawa ngoko dan dia melongo tidak paham. Oo,
teman kecil yang malang.
Apa orang tuanya tidak merasa sayang ya hingga melewatkan
usia emas Kiki yang berharga begitu saja? Atau ortunya saja yang tidak peka, eh
tidak paham maksudnya. Padahal kan kalau otaknya dirangsang dengan hal-hal yang
mencerdaskan dan mulai ditanamkan nilai-nilai kebaikan, hal itu akan lebih
bermanfaat. Saya kasihan sekali melihat Kiki bergaul dengan siapapun mulai dari
orang yang jelas sampai nggak jelas, dibelikan jajan apapun sama mbak-mbak dan
mas-masnya. Kiki kan bukan tempat sampah. Kiki kan aset peradaban. Duuh, Kiki….
Ahh, memang menjadi
orang tua yang baik tidak ada sekolahnya. Saya sendiri juga masih harus banyak
belajar jika kelak mendapat amanah menjadi orang tua. Setidaknya dari mengenal
Kiki dan orang tuanya saya mendapat sesuatu.