29 Desember 2013

Mana Yang Lebih Ironis?

“Mempertahankan dinasti tidak hanya dilakukan para politikus maupun birokrat, namun pengemis jalanan pun juga demikian. Demi mencari sesuap nasi, para pengemis jalanan rela mempekerjakan anaknya agar dinasti tidak terputus. Kondisi ini yang saban hari menghiasi hampir di setiap jengkal traffic light ….” Radar Solo/Minggu, 29 Desember 2013


Ironisme anjal (anak jalanan) di tengah kampanye menuju kota layak anak menjadi  salah satu headline di koran lokal pagi ini (Minggu, 29 Desember 2013) . Berita di koran itu persis dengan yang saya temukan pada setiap malam saat saya baru pulang kerja, larut malam. Saya pulang dari tempat kerja sekitar jam dua puluh satu lebih, sehingga sampai di perempatan itu kira-kira sudah hampir setengah sepuluh malam. Bagi saya itu sudah larut malam karena sudah di atas jam sembilan. 

Malam itu gerimis cukup deras. Di sebuah perempatan, di tengah padatnya kendaraan, anak-anak itu masih beraksi di bawah guyuran hujan. Ada yang laki-laki, ada pula yang perempuan. Saya sering melihat anak perempuan yang gendut itu mangkal di perempatan tersebut. Mungkin anak itu yang namanya disebut dalam media cetak yang baru saja saya baca. Secara fisik dan penjelasannya sama. Saya jadi terpikir juga, duh anak perempuan pada jam segini masih keluyuran di jalan. Padahal saya sendiri iya. Hehehe. Saya jadi terpikir hal-hal lain juga yang mengerikan. Tapi “hal-hal lain” itu nanti saja saya ceritakan. Sekarang fokusnya adalah pada ironisme di jalan pada larut malam itu.

Mereka ‘jual suara’ beberapa detik. Tapi saya tidak memberikan serupiah pun. Entahlah mana yang ironis sebenarnya. Saya yang tidak mau mengulurkan tangan, yang menurut mereka mungkin egois atau peristiwa itu (mengemis larut malam di bawah hujan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi) atau yang mana.

Saya merasa kasihan melihat anak-anak jalanan itu. Namun pikir saya, bukan begitu (mengangsukan beberapa rupiah) cara untuk membantu mereka. Kalau hanya sekedar beberapa rupiah saya masih punya. Tapi saya tidak ingin, dengan beberapa rupiah yang saya berikan, mereka jadi berpikir bahwa akan ada terus orang yang mau mengulurkan tangan pada mereka sehingga mereka akan terus ‘mengabdi’ sebagai anak jalanan sepanjang hidupnya. Seperti yang dilakukan orang-orang tua mereka hingga anak-anak itu harus menjalani hidupnya di jalanan. Jika anak-anak itu punya pikiran yang sama dengan orang tuanya, generasi setelah mereka pasti akan disuruh melakukan hal yang sama. Mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dari koran yang saya baca, pemerintah telah berinisiatif mengelola mereka, mendata, memberikan pelatihan keterampilan dan akan mendampingi mereka. Namun ternyata, menyelesaikan atau kasarnya ‘mengusir’ mereka dari jalanan hingga mereka mau hidup normal ternyata tidak mudah. Ya…anak-anak itu harus diubah dulu pola pikirnya. Dan itu yang paling sulit dilakukan saya kira.


Saya sendiri sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat, sebenarnya tidak banyak yang saya lakukan. Saya hanya tidak memberikan rupiah itu saja, agar berkurang orang-orang yang ‘melestarikan’ mereka di jalan. Jika semua orang melakukan hal itu, saya pikir anak-anak itu dan orang tua mereka bisa berubah pikiran bahwa mengemis tidak lagi prospek untuk menghidupi mereka. Harapan saya, setelah mengetahui hal itu mereka akan berpikir lebih panjang untuk bersedia mengikuti pelatihan keterampilan dari pemerintah, misalnya. Dengan begitu mereka punya bekal untuk menghadapi masa depan. 

15 Desember 2013

Masih ‘terlalu pagi’ Untuk Kukatakan Cinta (2)

....

Inilah petikan percakapan pagi itu. Topik yang selalu hangat tak lekang jaman. Kisah yang akan selalu ada. Kisah abadi dari generasi ke generasi. Sepotong kisah teman baikku, juga harapan dan pandangan-pandangannya tentang hal-hal itu.

....

Q : Tapi kalau tiba-tiba dia datang melamarmu bagaimana?

A : (diam sejenak) Belum tentu langsung kuterima.

Q : Dengan perjuanganmu untuk sabar menunggu selama ini kau masih akan menyia-nyiakannya maksudmu?

A : Bukan begitu, Teman. Aku masih harus berdo’a dulu memantapkan hati, mohon petunjuk jalan yang terbaik. Ujian itu bukan saja sesuatu yang membuatmu sengsara, tapi kadang-kadang kondisi yang menyenangkan bisa melenakan.

Q : (mengangguk-angguk sok paham)

A : Tentunya aku sangat bahagia kalau dia memang yang dipilihkan Allah untukku.

Q : Bagaimana jika kau menemukan laki-laki lain di kota itu?

A : Semua bisa saja terjadi, Teman. Itu mengapa aku takut mengatakan kalau aku mencintainya dan istilahnya itu masih terlalu pagi, karena hal apapun bisa terjadi. Aku berdo’a selama ini. Memohon agar perasaan ini tidak membawaku pada hal-hal buruk, dan jika dia memang jodohku aku berharap agar Allah menjaganya sepanjang waktu hingga tiba hari yang ditentukan saat aku dipertemukan dengannya. Mungkin saja aku menemukan laki-laki lain di kota itu, tapi aku belum bisa menjawab apa-apa, hanya saja aku tetap berdo’a agar aku selalu meniti jalan yang diridhai.

Q : (berkaca-kaca) Jadi bagaimana sekarang?

A : Kok kau yang bingung? Hehehe! Sekarang banyak berdo’a dan bersyukur, Teman. Kau pernah merasakan tidak bagaimana indahnya jatuh cinta? Cie, jangan-jangan kau sedang jatuh cinta? Itu harus disyukuri karena itu adalah karunia. Tapi jangan lupa banyak berdo’a ya.

Q : Apa kau baik-baik saja? (sedikit khawatir, trenyuh dan entahlah)

A :  (Tersenyum lebar) Aku baik-baik saja. Insyaallah akan baik-baik saja. Mintalah pada Allah agar selalu menjaga kita. Mungkin kita akan berpisah, tapi kita akan sering bertemu dalam do’a.

Q : (tak tahan untuk tidak menangis. Dalam hati berdo’a).
…………………………………………………………………………………………………………...

Q : Satu pertanyaan lagi ya. Aku dengar pernah seseorang datang dan kau menolaknya. Kau tidak menyesal? Bukan karena dia kan?

A : Itu dua pertanyaan tahu! Hehe! Emm, aku yakin untuk menjawabnya ‘tidak’. Tidak ada yang perlu disesali dengan itu. Karena ‘dia’? Tentu saja karena aku yakin aku tidak memilihnya. Hahaha! Sudahlah, lupakan itu.

Q : Kalau begitu pergilah, aku bahagia kau baik-baik saja. Jaga diri ya. Eh, ini gimana sih! Justru kau yang memberikan banyak masukan padaku. (tertawa sambil menyeka air mata)
…………………………………………………………………………………………………………...

Dan pagi yang sejuk itu beranjak siang. Selalu terselip do’a dalam setiap aktivitas. Semoga dia mendapatkan yang terbaik. Semoga ini bisa menjadi jalan ke pintu surga. (end)

Masih ‘terlalu pagi’ Untuk Kukatakan Cinta (1)

Hujan semalam sudah lenyap, hanya bekas kesejukannya saja yang tersisa pagi ini. Burung-burung kecil berbulu abu-abu, entah apa namanya, terbang rendah kemudian hinggap di halaman, mencericit. Aku dan seorang teman bercakap. Aku lihat beberapa hari ini dia tampak lebih banyak diam. Mungkin ini ada kaitannya dengan persiapannya untuk pindah. Pergi dari kota ini untuk tinggal, mungkin menetap, di kota lain yang lebih menjanjikan untuk karirnya. Meskipun lebih banyak diam, aku lihat ia sering juga tersenyum. Entahlah, semoga saja berita baik selalu menyertainya. Aku lihat selama ini dia orang yang tegar dan tidak mudah menyerah.
Kami bercakap tentang apa saja. Dia orang yang terbuka dan aku orang yang senang mendengarkan. Inilah petikan percakapan pagi itu. Topik yang selalu hangat tak lekang jaman. Kisah yang akan selalu ada. Kisah abadi dari generasi ke generasi. Sepotong kisah teman baikku, juga harapan dan pandangan-pandangannya tentang hal-hal itu.

…………………………………………………………………………………………………………

Q : Kau akan pindah dari kota ini, semakin jauh, itu berarti kau akan meninggalkannya. (dia pernah cerita tentang perasaannya pada seseorang)

A : Meninggalkannya? (senyum) Ah, enggak. Selama ini aku tidak bersama dia, bagaimana mungkin aku meninggalkannya?! Secara fisik tentu saja aku tidak meninggalkannya. Kalau di hati, ah…sebenarnya aku tidak berniat membicarakan itu pagi ini.

Q : Tapi nggak masalah kan kalau bicara tentang hal itu?

A : Tentu saja. Tidak apa-apa. Ada baiknya juga aku bicara padamu. Siapa tahu kau punya pandangan yang berbeda yang bisa jadi masukan.

Q : Nah, begitu dong! He-eh, siapa tahu aku terinspirasi sesuatu. Oya, kau pernah cerita tentang perasaanmu ke orang itu. Apa benar kau mencintainya?

A : (tersenyum malu-malu) Aku takut mengatakannya. Bagiku menyatakan kalau aku mencintainya masih ‘terlalu pagi’.

Q : Aku tidak mengerti.

A : Begini, emm…aku dan dia secara geografis sangat jauh. Namun, kadang-kadang aku ingin bertemu dengannya. Melihat wajahnya, bercakap, bercanda. Kadang-kadang juga ingin menelepon, berkirim pesan untuk mengetahui dia sedang apa. Tapi di sisi lain aku berpikir, kalau misalnya keinginanku itu terkabulkan, lalu aku mau apa? Bertemu untuk apa? Hanya untuk melihat senyumnya? Ah, padahal dia bukan siapa-siapa. Bagaimana mungkin aku sanggup memandang wajahnya jika aku belum diperbolehkan untuk itu?! Jadi aku menahan diri. Aku tidak mau menghubunginya. Aku berusaha melakukan apa saja yang positif agar wajahnya tidak mendatangiku tiba-tiba. Aku membuat tubuhku lelah dengan semua aktivitas produktif agar pada malam hari aku bisa segera tidur sehingga tidak mungkin akan mengingatnya. Aku menghindari bagaimana mengenang dia. Aku takut jika dia datang dalam mimpiku. Hal semacam itu akan membuatku gila sepanjang hari.

Q : (aku memotongnya) Tunggu, aku rasa aku bisa menyimpulkannya. Tapi aku belum mengerti dengan istilah itu. Terlalu pagi bagaimana?

A : Karena bagiku, mencintai itu kalau aku sudah halal baginya.
………………………………………………………………………………………………………...... (hening. Aku berusaha mencerna penjelasannya).

Q : Ahh, iya juga. Emm, menurutku kau mencintainya tapi kau memendamnya. Dan kau berharap sesuatu yang baik pada kalian berdua.

A : (tersenyum)

Q : Apa kau pernah berpikir, bagaimana kalau dia menikah dengan orang lain? Maaf, aku tak bermaksud membuatmu terluka.

A :  Tenang. Tentu saja pernah. Justru itulah yang membuatku harus berpikir rasional. Aku pikir dengan dia menikah, bukan denganku, Allah sudah memberikan jawaban do’aku bahwa dia bukan yang terbaik. Iya kan? Yaa…meskipun aku tidak akan menjamin aku bisa diam saja tanpa menitikkan air mata. Hehehe!

Q : Kau rela? (mendelik karena penasaran)

A : Lalu kau pikir apa yang bisa kulakukan kalau aku tidak merelakannya? Ada ide untuk bertindak konyol? Ah, jangan bercanda! Berpikir yang masuk akal saja. Kan aku sudah katakan kalau salah satu do’aku terjawab. Kalau aku sedih untuk beberapa saat, itu mungkin saja. Tapi kan live must go on, Pren!

Q : Hehehehe! Nggak mungkinlah aku menyarankanmu bunuh diri.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………….......................

(bersambung)

13 Desember 2013

Di Bawah Langit




Hari ini langit masih biru
Semoga aku menemukannya kembali esok hari dengan warna yang sama
yang lebih indah
yang lebih cerah
yang mengusir semua gundah



note: foto ini diambil di bukit Ringin Putih, Sudimoro, Pacitan

11 Desember 2013

Teman Kecil Yang Malang

Beberapa waktu lalu, saya baru saja kenalan dengan anak tetangga baru yang masih berusia sekitar tiga atau empat tahun. Sebenarnya bukan tetangga saya yang baru, tapi saya yang baru menjadi 'warga baru' di daerah situ. Kenalan kan wajar agar orang lain mau menerima kehadiran kita dan menganggap kita menjadi bagian dari mereka. Apalagi anak kecil itu lucu-lucu. Saya pikir kalau saya bisa mengenal mereka dan bermain dengan mereka, itu akan sangat menyenangkan.

Saya selalu senang jika bertemu anak-anak. Senang karena kepolosannya. Mereka itu lucu dan jujur. Ada juga kemarin anak kecil yang pedenya minta ampun. Baru ketemu saya pertama kalinya, dia berani meletin lidah sembari melipat tangan di depan dada. Ampun, anak siapa itu? Untungnya saya sempat kenalan dengan dia, bahkan unjuk kebolehannya menyanyi “berawal dari telur” di depan saya. Ooh, pede sekali. Tapi justru saya suka dengan anak yang pede macam itu. Antara saya dan dia jadi ada timbal balik sehingga saya tahu dia tidak bermaksud menyombongkan diri meskipun dia sempat melipat tangan di depan dada. Beda sekali kalau yang melakukan itu orang tua kan?

Ada juga keponakan saya yang rasa ingin tahunya tinggi. Kalau yang macam begini saya semakin tertantang untuk bertanya banyak padanya di samping menyiapkan jawaban masuk akal agar dia 'bisa diam' kalau mulut saya sudah capek dan sudah tidak ada ide kreatif lagi untuk merangkai jawaban. Haha!

Kalau ponakan saya ke rumah pasti selalu ada saja cerita yang ingin dibagi ke orang lain. Kadang-kadang malah saya yang menunggu ceritanya. Hari ini ada cerita apa ya? Biasanya begitu dipancing satu pertanyaan, akan muncul dua tiga cerita yang dia ceritakan dengan ekspresif. Di situlah menariknya. Saya jadi bisa memahami, ooh anak ini sudah memahami ini tapi dia belum tahu hal itu. Saya juga jadi tahu hal-hal apa yang membuat dia marah, dia senang, atau dia takut. Selain itu, cerita anak-anak itu membuat otak saya jadi segar, hati saya bungah, dan capek bisa tiba-tiba menguap.

Ada lagi tantangan kalau waktunya dia makan, tapi dia nggak mau. Keponakan saya ini lucunya nggak mau makan telur bulet yang rebus. Kata dia telur itu mentah alias nggak bisa dimakan, apalagi buat lauk. Asli, saya hanya bisa ngakak mendengar cara berpikir polosnya. Sampai pada suatu hari sewaktu dia kelaparan dan tidak ada makanan sama sekali kecuali mie instan, telur mentah dan nasi putih, saya mencari ide agar dia doyan makan dengan telur tanpa harus mengonsumsi mie instan. Saya sms mbak saya, katanya Hafiz nggak doyan telur dadar atau telur ceplok. Padahal dia berkali-kali bilang maem tante, maem tante. Dan cling! Saya menjerang air. Sekali-kali saya pengen ‘ngerjain’ anak ini biar nggak berpikir lagi kalau telur rebus itu telur mentah. Akhirnya saya punya ide mengajak dia masak sebelum makan.

Setelah airnya mendidih, saya minta dia memasukkan telur ke dalam panci. Sebelumnya saya kasih penjelasan harus pelan-pelan dan hati-hati agar airnya tidak muncrat dan kena tangannya (sekalian memperpanjang waktu agar dia tambah kelaparan dan tidak menolak makan apapun. Hahahaha!). Eh, benar dia kelaparan. Selama menunggu telurnya masak dia bolak-balik ke dapur, ngecek. Te, sudah belum? Sudah belum, Te. Yes, saya berhasil membuatnya kelaparan! Pun ketika mau menggoreng telur yang sudah dikupas saya minta dia yang memasukkan ke wajan. Sekali lagi biar dia tahu kalau telur itu bukan telur mentah! Dan akhirnya...dia makan! Lahap. Saya bahagia meskipun untuk masak sedemikian saja perabotan malang melintang di dapur.

Terakhir kemarin waktu saya pulang, dia asyik di depan rak buku. Ternyata dia nemu komik, koleksi saya jaman baheula. Dia minta, setengah memaksa, mau membawa komik itu pulang karena mau diwarnai. Kebetulan juga dia sedang hobi sekali mewarnai. Buku mewarnainya setumpuk yang saya belikan patungan dengan adik saya mungkin sudah habis diwarnainya sehingga dia tak punya lagi gambar yang akan diwarnai. Jadilah komik saya yang gambarnya hitam putih itu mau dibawa pulang. Katanya, “Te ini belum diwarna. Tak bawa pulang ya”. Saya ngakak dulu sebelum eyel-eyelan sama dia yang akhirnya membuat dia mengalah dan mengalihkan pembicaraan. “Hem, Tante pinter aku di-tumbasne madu. Tanteku pinter ya.” Saya jadi tambah ngakak. Dasar perayu ulung!

Eh, kembali lagi ke tetangga kecil saya yang tadi. Usianya tak jauh beda dengan Hafiz. Dengan kata lain seharusnya tetangga kecil saya ini sudah memiliki kosakata yang cukup untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ya wajarlah kalau ada satu dua kata yang susah diucap, misalnya anak kecil itu ada yang susah bilang huruf R. Dulu nama saya juga berubah jadi LAMA sewaktu Hafiz masih pelo. Juga teman saya yang namanya DIYAH hanya tinggal YAH-nya saja sewaktu adiknya yang manggil. Ya, tak jauh bedalah dengan kita dulu sebenarnya.

Nah, pertama-tama saya kenalan dengan Kiki (panggil saja begitu untuk lebih mudahnya) saya dibuat bingung. Saya sampai harus menajamkan pendengaran saya dan mengerutkan kepala
untuk memahami apa yang dia katakan. Padahal dia sudah keluar ototnya bermaksud  meminta sesuatu. Saya tahu dia minta sesuatu, tapi apa? APA KI? Tanya saya berulang-ulang. Baru ketika teman saya yang sudah biasa bercakap-cakap dengan Kiki datang dan menjelaskan, saya plong! OOOO, JADI ANAK INI MINTA ES KRIM. NGOBROL DONG! Duh! Mana saya tahu kalau A IM itu artinya ES KRIM! Hahaha!

Saya tanya ke teman saya usia Kiki itu berapa. Kata teman saya anak ini memang agak aneh. Bukan hanya karena mengucapkan kata-kata yang hanya diambil huruf vokalnya saja dan huruf konsonannya lebih sering tenggelam ~  i'a eayang an ao ia ai i'ung ~ bisa kebayang kan kalo kita jadi bingung???? ~ tapi anehnya lagi adalah, kata teman saya, “Kamu hati-hati ya kalau sama dia. Meskipun anak kecil dia suka...begitu.”  Hah, apaan? Teman saya bilang ini dan itu. WHAT? Siapa yang ngajarin? Ngenes saya.

Terus saya coba mengajarinya mengeja EES-KRIIM. Memang agak susah sih bilang KRIM. Tapi ternyata dia bisa lebih jelas mengucapkan kali ini daripada A IM. Oh, dia hanya butuh diajari.
Orang tuanya masih ada kan? Sibuk, kata teman saya. Aduh, saya makin kasihan saja. Saya jadi mikir yang tidak-tidak, buat apa sih cari duit kalau Kiki nggak bisa ngomong? Tapi bukan hak saya menasihati orang tuanya, baru juga kenal. Hohoho!

Jadi sodara, konon, teman-temannya Kiki ini kebanyakan orang dewasa. Dia di-emong sama mereka. Dan nggak tahu Kiki diajari apa sama mereka. Anak sekecil Kiki tahu apa coba kalau tidak ada yang mengajarkannya sesuatu? Hiks! Dia kan masih harus banyak bermain dan belajar. Mengenal bahasa, bersosialisasi dengan sekitarnya, hemfh....

Saya tidak bisa menolong Kiki lebih jauh kecuali mengajaknya bicara dengan bahasa yang jelas kalau sedang bersama saya, dan tentunya dengan bahasa Indonesia. Btw, Kiki ini ternyata orangtuanya pendatang. Mungkin kalau di rumah, Kiki diajari pakai bahasa daerahnya, terus kalau sama orang lain pakai bahasa Jawa, terus sama orang yang lain lagi pakai bahasa Indonesia. Saya pernah mengajaknya ngomong bahasa jawa ngoko dan dia melongo tidak paham. Oo, teman kecil yang malang.

Apa orang tuanya tidak merasa sayang ya hingga melewatkan usia emas Kiki yang berharga begitu saja? Atau ortunya saja yang tidak peka, eh tidak paham maksudnya. Padahal kan kalau otaknya dirangsang dengan hal-hal yang mencerdaskan dan mulai ditanamkan nilai-nilai kebaikan, hal itu akan lebih bermanfaat. Saya kasihan sekali melihat Kiki bergaul dengan siapapun mulai dari orang yang jelas sampai nggak jelas, dibelikan jajan apapun sama mbak-mbak dan mas-masnya. Kiki kan bukan tempat sampah. Kiki kan aset peradaban. Duuh, Kiki….


 Ahh, memang menjadi orang tua yang baik tidak ada sekolahnya. Saya sendiri juga masih harus banyak belajar jika kelak mendapat amanah menjadi orang tua. Setidaknya dari mengenal Kiki dan orang tuanya saya mendapat sesuatu. 

10 Desember 2013

Tetap menulis


Kalau tidak ada event dengan tema yang telah ditentukan gitu biasanya saya agak susah untuk nulis. Emm, mungkin karena kurang kompetitif kali ya sehingga 'merasa' tidak ada saingan. Aduh, padahal sadar betul kalau semua itu proses untuk memperbaiki kualitas diri. Nulis sih tetap nulis. Tapi bukan untuk dikonsumsi publik. Nulis untuk diri sendiri kan terserah mau seperti apa.

Nah, setelah lama berdiam diri akhirnya saya nulis juga. Saya kirim ke media. Satu hari setelah pengumuman dipajang di media massa. Tumben banget saya semangat. Berita bagus kan?! Hehe. Nah, temanya lagi-lagi nggak jauh-jauh dari momen bulan Desember, Hari Ibu. Intinya sih nulis surat buat ibu. Saya berusaha membuat sedikit berbeda dari biasanya. Daan, sudah saya kirim tulisannya.

Kalau akhirnya dimuat, itu berarti pertama kalinya tulisan saya mejeng di media massa. Saya sudah menyusun rencana agar surat itu benar-benar sampai ke ibu. Kalau nggak dimuat, yaaa...perjuangan belum akan berhenti. Yang jelas tanggal 22 Desember nanti saya harus dapat koran paling pagi. :D 

14 Juli 2013

....

Hidup kita belum tentu lebih bahagia atau lebih menderita dari orang lain.


Ada banyak hal di kepala yang ingin saya tuliskan. Tapi sepertinya terlalu banyak. Entahlah, saya enggan memulainya. Optimizer, saya cuma mau nulis kalimat di atas. Itung-itung mengunjungi blog yang sekarang jarang saya coret-coret. Karena saya sedang banyak ide untuk ini dan itu. Mungkin suatu hari mood nulis saya akan kembali lagi. Entah kapan.

Optimizer, selamat menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah kita. Aamiin.

주말 잘 보내세요! 이따 봐요!

1 Mei 2013

Kekasih Bidadari Yang Sesungguhnya


Suatu hari di waktu pagi.

Sebuah pesan membuat telepon genggam saya bergetar, dan membaca pesannya membuat hati saya tak kalah berdebar.

Beginikah … ?

-@@-

Lityana, adik tingkat saya di kampus, pagi itu mengirim pesan singkat untuk meminta saya menggantikan pembicara yang berhalangan hadir dalam forum kajian muslimah.

Menggantikan pembicara? Iya sih saya punya bakat ‘cuap-cuap’ meskipun yang ‘dicuapkan’ lebih sering nggak begitu penting. Tentu berkebalikan sekali dengan ‘cuap-cuapnya’ seorang pembicara dalam sebuah forum kan? Cuap-cuap yang lebih ilmiah, pakai referensi, nggak omdo alias ngajari tapi ora nglakoni, nggak asal cuap macam anak ayam kehilangan induk.

Membaca topiknya apa, saya berpikir lagi seribu kali. Iya sih, ini kebaikan. Berbagi ilmu bukannya nanti juga bakalan dapat ilmu? Paling tidak sebelum ber’cuap’, baca-baca dulu kan? Tapi temanya, wiiiiiiiiiiiiii bikin saya mengkeret duluan. Sepertinya kemungkinan besar balasan saya atas pesan singkat tersebut adalah TIDAK.

Kalau Optimizer mau tahu, tema yang mau disuguhkan pada forum yang akan diadakan sehari setelah saya di-sms tersebut adalah tentang perempuan (menggenapi tema tentang kartini-kartinian di bulan April), lebih khususnya karena ini forum muslimah maka panitia memfokuskan pada “Inspirasi Khadijah”.

Tinggi sekali bukan?

Khadijah, Khadijah, saya mencari sesuatu tentangnya sebatas yang saya ingat. Iya sih saya pernah membaca shirahnya, meskipun hanya secuil. Iya sih saya mengaguminya.  Meskipun ‘katanya’ terinspirasi olehnya, saya belum ada apa-apanya sama sekali. Jauuuh sekali. Justru karena itu, karena beliau yang memiliki seabreg kemuliaan selaku wanita, selaku ibu, selaku istri, selaku muslimah, hati saya jadi berdebar-debar.

Beginikah?

Beginikah seseorang yang akan mengisi kajian yang bertema “Inspirasi Khadijah” berwajah?

Huaaaa‼‼‼‼! Saya pengen nangis. Saya tidak punya apa-apa, saya tidak ada apa-apanya. Hiks! Meskipun yang Optimizer tahu blog ini ‘kekasih bidadari’, tapi Bunda Khadijahlah kekasih bidadari yang sesungguhnya.

Dan saya?

Akhirnya dengan berat hati saya sampaikan ke panitia melalui Lityana, saya tidak bisa.
Tapi bukan berarti peristiwa ini sia-sia. Saya seolah-olah ditampar untuk kembali ke jalan yang benar, membaca lagi kisah hidup wanita mulia ini, meneladani kebaikannya. Meskipun saya tahu itu tidak mudah.  

Saya juga ingin menjadi kekasih bidadari yang sesungguhnya. Tidak cuma mewek, tidak cuma tertampar, tapi butuh eksekusi yang konkrit! ^^

Semangat Optimizer! 

28 April 2013

Milla Nikah


Tiga minggu sejak sekarang ada rencana pulang. Nggak pulang sebenarnya. Dari Solo langsung ke tekape, tempat dimana akad nikah dilangsungkan. Akad nikah Millaisa dengan Akh (titik-titik), belum dikasih tahu namanya sih, mau nyicil cerita aja dia nggak boleh. Hiks!

Yap! Kurang lebih tiga minggu lagi yaitu tanggal 18 Mei 2013, teman baik saya dari Arjosari ini mau melangsungkan akad nikah. Menggenapi jadwal walimahan yang harus saya hadiri setiap minggu. Subhanallah ya. Dimintanya saya datang H-2. Waah, sepertinya sangat serius. Masa datangnya H-2, dia saja baru pulang H-3. Ada-ada saja.

Optimizer, Milla ini teman saya selain Heart yang sudah saya ceritakan beberapa waktu lalu. Dia anak pertama juga dari tiga bersaudara, sama persis seperti saya. Adiknya yang pertama cewek dan adik keduanya cowok. Meskipun sudah lama tidak bertemu langsung dengan dia, seperti saya dan Heart, saya masih menjalin komunikasi dengan Milla. Jauh juga tempat kerjanya, ditambah lagi anak yang satu ini bisa dibilang sibuknya minta ampun. Bahkan libur lebaran pun benar-benar hari H Idul Fitri. Ck ck!

Sama seperti Heart, saya berteman dengan Milla sejak kami masuk di SMA. Bertemu di acara kerohanian sekolah, mengikuti organisasi yang sama, menjadi satu kelompok kajian pekanan. Lalu setelah di bangku kuliah, dia mengambil jurusan kesehatan, menjadi Arek Suroboyo hingga sekarang. Terakhir bertemu Milla yaitu bulan Syawal yang lalu saat pertemuan ikatan mahasiswa muslim di rumah Mbak Vika. 

Sabtu kemarin tiba-tiba dia menghubungi saya. Emm, ada firasat juga. Soalnya beberapa hari sebelumnya saya menghubungi adiknya yang sama-sama tinggal satu kota dengan Milla untuk menulis sesuatu, dibilangnya Milla benar-benar sedang sibuk. Jadi saya nggak berani mengganggunya. Nah, dari situ saya menebak-nebak. Urusan sibuk kali ini sepertinya berbeda. Taraa! Dan ternyata benar. Alhamdulillah. Saya berkaca-kaca membaca pesannya. Sayangnya saat itu dia jauh di sana. Jadi nggak bisa langsung saya peluk untuk mengucapkan selamat. Hehe.

Dan inilah foto jadul kami bertiga waktu SMA.


27 April 2013

Sehat Lebih Baik Daripada Sakit


Hari Jum’at kemarin ada yang aneh dengan tubuh saya. Tiba-tiba saja kepala saya pusing. Di kepala bagian kiri rasanya sakit sekali. Inginnya rebahan karena kepala rasanya berat. Eh, hidung saya ikut-ikutan mampet. Jadi sedikit nggak nyaman untuk bernafas. Selain itu bersin-bersin terus. Tidak tahan dekat-dekat dengan kipas angin.

Kalau sudah begini rasanya saya di-warning untuk benar-benar menjaga kesehatan. Pas cerita ke teman, saya disuruh minum obat. OGAH! Saya paling anti minum obat-obatan. Hehe. Saya kan paling nggak mau kalau disuruh-suruh minum obat. Hal itu akan saya lakukan kalau yang menyuruh ibu saya dan kondisinya sudah sangat darurat. Eh, teman saya sempat-sempatnya bercanda. “Kalau nggak mau minum obat, banyak-banyak minum air putih ya.” Sambil melirik galon. “Tuh, habisin!” Krik! Emang banyaknya harus minum segalon?! Yang benar saja.

Mungkin saya kecapekan. Ah, dibilang begitu rasanya terlalu lebay. Lagian saya ngapain aja hingga dibilang kecapekan. Hehe. Tapi mungkin betul juga ya ke-lebay-an itu. Capek kan nggak harus secara fisik. Berarti saya sedang capek hati? Halah, memangnya mikir apaan? Emm, entahlah. Yang jelas saya harus banyak-banyak istirahat, minum air putih yang banyak, makan yang bergizi, banyak berdo’a, (seharusnya) rajin berolahraga juga. Yang terakhir ini jarang saya lakukan. Nggak sempat sih! Tepatnya nggak menyempatkan diri. Kalau sudah di-warning begini baru kerasa.

Optimizer jangan lupa jaga kesehatan ya! Sehat mahal lho harganya. Tapi hikmahnya, bisa istirahat banyak-banyak. Hihi. Nggak ding, jangan sampai sakit. Enakan juga badan sehat, mau ngapain aja lebih nyaman. Iya kan?!

26 April 2013

Romantis (Bag. 1)


Optimizer, saya sedang ingin menulis sesuatu yang romantis. Sedikit bernostalgia, merindukan sesuatu yang sudah tidak ada sekarang, mengenang kenangan manis pada masa silam. Saya ingin mengucapkan terimakasih pada mereka yang sudah membuat saya memiliki kenang-kenangan manis itu. Sesuatu yang tidak mudah dilupakan, yang membuat hati saya buncah setiap kali mengenangnya.

Menurut KBBI semacam ini pengertian romantis, romantis a bersifat spt dl cerita roman (percintaan); bersifat mesra; mengasyikkan.

Ya, tulisan saya ini tidak jauh dari pengertian itu. kisah yang mengasyikkan dari sudut pandang saya bersama orang-orang yang saya sayangi. Jika Optimizer punya kisah romantis sendiri, mengapa tidak ditulis? Barangkali saya bisa membacanya berulang-kali. Mungkin saja kisah saya masih kurang romantis dibanding punya Optimizer, siapa tahu?

:)

Cinta Pertama Dan Terakhir
Saya selalu suka momen ngobrol berdua dengan ibu. Benar-benar berdua saja. Waktu itu saya sedang libur sehingga bisa pulang dan membantu ibu membungkusi es lilin. Kalau sedang berdua dengan ibu, yang saya suka adalah cerita cinta masa mudanya. Ciee! Cerita cinta kan bukan cuma milik mereka para muda. Ibu saya juga punya. Haha! Lagipula ibu saya juga belum tua-tua amat kok. :p

Ngobrol berdua dengan ibu bagi saya mengasyikkan. Saya bisa cerita kemana-mana. Kapan pertama saya dapat surat cinta, kapan saya pertama kali ditembak cowok, siapa saja cowok yang pernah nembak saya (hehe), tipe laki-laki seperti apa yang saya sukai dan tidak saya sukai, impian saya tentang masa depan, cita-cita, se-mu-a-nya.

Biasanya ibu saya juga akan gantian cerita, kemana-mana. Nah, seperti yang saya sebutkan tadi, yang paling saya suka adalah cerita cinta ibu saya. Bagaimana ibu menemukan cinta pertama dan terakhirnya (Bapak saya). Dan heroisme Bapak sewaktu melamar ibu untuk jadi istrinya. Aih, saya juga ingin seperti ibu. Mencintai satu laki-laki, mendampingi dalam suka dan duka, menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Juga menjadi cinta pertama dan terakhirnya. (Sst! Saya bangga ibu saya dulunya nggak pacaran macam anak muda jaman sekarang).

Lalu setelah cerita kemana-mana kami selesai, biasanya ibu akan bilang begini “nah, kan seperti itu buruk”, “makanya nggak usah begini begitu”, dan seterusnya. Mengambil pelajaran dari cerita-cerita itu.

Ujung-ujungnya kami kelaparan, dan saya menunggu ibu saya meracik sambel yang tidak ada bandingannya di dunia. Hahaha! Lebay! 

#Tunggu kisah romantis berikutnya ;)

20 April 2013

Asli Jowo Nanging Ora Cetho


Aku iki asline dilairke ning tanah jowo, sabendino nganggo boso jowo, anake wong jowo. Mulo kuwi, ning postingan iki aku arep mraktekke kepiye nulis nganggo boso jowo.

Sakjane aku ora ngerti tenan, koyo opo sih boso jowo sing apik kuwi. Soale jowo dewe kan ombo. Ono pirang-pirang dialek lan logat. Nanging, sing paling tak kuasai yo jowone Pacitan kecampur Solo sithik. Dadi menowo tulisanku ~ istilahe ora konsisten ~ karo boso jowo logat ngendi ngono yo ojo gelo. Lan menowo mengko panjenengan nemoni boso aneh sing ora cetho, yo maklumi wae bahwa iki latihanku lan bukti roso tresnaku marang warisane nenek moyangku, yoiku boso jowo.

Mbiyen pas aku isih kelas limo SD, aku nduwe guru (saiki wes almarhum) sing seneng banget ngajari murid-muride honocoroko. Aku barang yo kepincut seneng. Mulo meh saben sore bubar sekolah kae, bapake kuwi ngajari nulis huruf jowo kanthi telaten. Tenanan iki. Kelas tambahan kuwi gratis, ora mbayar. Yo ming nyelakke wektu sedhelo, tinimbang nggo dolanan pasar-pasaran utowo gobak sodhor utowo buron playon, mendhing wektune nggo sinau boso jowo.

Sampek aku apal mbiyen ki, piye nulis honocoroko, piye ale moco. Pokoke seneng banget. Bangga dadi muride bapak guru kuwi mau.

Sampek SMP, boso jowo isih dadi mata pelajaran mulok ‘muatan lokal’. Nah, pas iki gurune wes bedo. Roso senengku karo huruf jowo ora koyo pas aku isih kelas limo SD. Lha wong jaman kuwi sing dicritakke ngalor ngidul dudu honocoroko maneh. Opo cobo petheken? Hem, bener! Meteor Garden sing ono tomingse-ne kae #halah mbuh piye nulise tomingse sing bener aku ra ngerti# karo sakbolone sing telu.

Sakjane aku ora pati kepincut karo sing jenengane tomingse kuwi. Aku yo arang-arang nonton kok. Nah, mergo ra ono kancane caturan perkoro honocoroko aku yo dadi lali. Bar kuwi males mbolan-mbaleni. Akhire mergo ning SMA wes ra ono mulok boso jowo, aku lali tenan saiki. Pengelengku marang huruf jowo kari srawang-srawang. Jek ketok jek ora, jek kelingan jek ora. Yen saiki dites ngono paling aku yo akeh laline. Hahaha! Mbuh iki bocah aneh.

Aku meh ganti takon, opo yo panjenengan ki iso nulis huruf jowo? Wah, mesti akeh sing njawab ora iso. Iyo to? Pancen!

Perkoro toto boso pun aku yo ra iso banget kok. Lha iki bosoku campur aduk ora nggenah. Ngoko opo alus, wes embuh. Pokoke asal muni, asal nulis, mugo-mugo wae sing moco mundhak paham.
Ngomong-ngomong aku dadi nduwe kepengenan. Bubar nulis iki, ning postingan sakteruse aku pengen nulis nganggo boso jowo maneh ah. Bakal cetho ora yo? Hem, yo tak cobone. Sopo ngerti kemampuanku berboso jowo iki mengko dadi meningkat. Dadi ora ngisin-isini wong tuoku yen aku iki isih asli anake wong jowo.

Eh, lha ngopo to yen aku nulis ngene iki nganggo boso jowo? Opo ono sing terganggu? Lak ora to? Emm, ono sih wong sing gengsi yen nulis ki nganggo boso jowo #curhat. Lha panjenengan opo yo gengsi to? Wah, ora koyo aku yo paling. Hehehe!

Eh sedulur, aku ora berniat rasialis lho. Eh, opo kui istilahe ngapik-apike kebudayaane dewe kui? Bener ora istilahku? Tenanan, aku nulis iki ora ono tendensi #tendensi ki boso jowone opo?# opo-opo. Yo mung kepengen ngeksis wae asline. Timbang lungguh songgo uwang, mengko aku dikirani wong lagi galau coro istilahe cah-cah saiki. #asline sih yo galau, tapi anggep wae pas nulis iki lagi normal#. 

Niatku iki mung ajar boso jowo ben ketrampilanku njowo ki soyo apik. Sak luwihe kuwi yo etung-etung latihan nulis ben gaul #hubungane nulis karo gaul ki yo mbuh aku ora weruh#.

Sepisan mau asline aku meh nulis layang tresna. Jalaran aku isin yen tulisanku mbok woco, yo uwes aku ngembyoworo tekan ngendi-endi. Rodo gengsi barang mengko yen mase sampek ngerti aku tresno karo dhewekke. Arep nggawe puisi yo wedine nek dadi puisi abal-abal, paling yo ra ono sing minat. Arep nggawe pantun yo pantun opo. Mosok lagi nandang wuyung pantune pantun nasihat. Waduh, embuh nyambung opo ora kuwi mengko. Dadi tak pikir sing paling aman yo nulis ora cetho koyo mengkene wae.

Aku yo ora ngerti iki mau intine opo. Kesimpulane yo simpulno dewe. Aku luwih seneng yen bar moco iki panjenengan ‘kepekso’ ngguyu mergo ora cetho.

Sampung nggih, Sedherek. Suwe-suwe aku isin dhewe. Dudu mergo boso jowoku sing pating krusak-krusuk, tapi aku isin yen podho ngerti aku lagi galau. Hahaha! Pun, kulo pamit. #nyungsep nyang selimut#

18 April 2013

OPTIMIS (2)


Mata saya mengerjap. Berkeliling mencari penunjuk waktu. Tidak ada jam dinding. Akhirnya setengah sadar, saya grageh-grageh mencari hape.

Nol-nol empat puluh sekian.

Bukan. Bukan jam itu sekarang. Itu waktu yang ditunjukkan layar hape saya dalam sebuah pesan di inbok. Seseorang mengirimkan pesan lewat tengah malam, sedangkan saat ini adalah jam …. Saya tidak peduli, saya lebih memilih membuka pesan.

….
….
Paling lambat tanggal 12 April 2013

Tunggu. Itu kan hari ini. Ini jam berapakah? Oh My God!

-@@-

Sodara,
Pikiran panjang saya terpangkas saat itu juga. Pagi buta saya membuka pesan, saat itu juga saya langsung kaget. Pendaftaran pendamping program sosial di kota saya itu tutupnya tanggal 12. Hari di mana pas pagi buta itu saya membuka pesan dari seorang kenalan yang mengetahui informasinya.

Saya menimbang-nimbang, proses saya sudah separuh jalan (seperempanya niat, seperempatnya berkas-berkas yang belum lengkap). Apakah harus saya lanjutkan? Padahal kalau saya kejar, pulang ke kota saya, wara-wiri ke sana kemari, saya hitung-hitung selesainya jam empat sore. Itu waktu yang paaaling cepat, anggap saja tidak ada kendala sama sekali. Padahal penutupan pendaftaran jam setengah dua siang itu.

Baiklah, akhirnya saya putuskan: ....

Kecewa?
Ada.

-@@-

Tak jarang kita membuat rencana dalam hidup ini. Satu tahun mendatang saya mau begini mau begitu. Lima tahun mendatang saya mau seperti ini seperti itu. Sepuluh tahun mendatang saya adalah ini adalah itu. Bagi saya sah-sah saja. Itu adalah harapan. Dan bukankah kita masih hidup karena punya harapan? Selain itu, hal tersebut bisa jadi pemicu agar kita lebih optimis, hidup kita lebih terarah. Jadi waktu yang kita punya tidak terbuang sia-sia karena tidak memiliki tujuan hidup. Akan tetapi, Allah adalah Pemilik Rencana Yang Paling Baik, Yang Maha Baik. DIA tahu apa dan mana yang terbaik.

Saya tidak jadi mendaftar pendamping program sosial. Masih ada hari esok. Masih ada kesempatan. Insyaallah. Saya pasti mendapatkan yang terbaik. Optimis!
J

Saatnya bongkar-bongkar

Begitu ditinggal sesama penghuni kamar 1 karena lulus dan akan menetap di kotanya, sekarang saya jadi sendirian. Nah, Saatnya bongkar-bongkar. Setumpuk barang-barang yang saya kumpulkan sejak semester satu saya pilah-pilah. Ya ampun, berkas-berkas pendaftaran awal pertama kuliah dulu masih ada. Jadwal registrasi dan segala macamnya. Leaflet UKM-UKM yang lagi promosi pas penerimaan mahasiswa baru juga masih saya simpan. Dari leaflet yang saya terima pas jadi maru, hingga leaflet yang saya bagikan pas sudah jadi mahasiswa senior. Juga berkas-berkas lain. Ya ampun, ternyata berkardus-kardus yang saya tumpuk itu, kertas-kertas yang penuh kenangan. 

Buang nggak ya?

Saya kembali memilah, memilih. Mana yang layak saya simpan, mana yang saya buang, dan mana yang harus saya bakar. Dibakar? Iya, file-file yang … ya, cukup saya sendirilah yang tahu, saya bakar saja. Semua file itu tidak mungkin saya bawa kalau nanti saya harus meninggalkan kota ini.

Dan, inilah yang suka membuat saya lama kalau sedang bongkar-bongkar semacam ini. (bakar-bakar, baca-baca, sobek menyobek, dan jeprat-jepret).

Mengapa jeprat-jepret?

Iseng saja sebenarnya. Mumpung ada momen bongkar-bongkar. Kalau nggak pas niat mbongkar gini kan takutnya nanti males merapikan kembali.
Ada beberapa file yang saya foto. Salah satunya adalah tulisan ini.



Saya terharu membaca tulisan ini. Sungguh. Percaya nggak kalau saya benar-benar meneteskan air mata? (Saya paling nggak tahan menahan tangis. Entah itu di depan umum, di depan siapa saja, di acara apa saja, kalau pengen nangis ya, aduuh …. Bukan mau obral air mata. Tapi pengennya ya nangis aja, nggak seneng nggak sedih. Nangis deh pokoknya).

Tulisan di foto itu, menutup kisah perjalanan saya dengan senior saya angkatan 2004-2005 di Al-Banna. Macam-macam pesan dan kesan yang saya dapat waktu itu. Tapi untuk kesempatan ini saya tidak mau ‘tidak berani’ mempublish-nya. Soalnya ada juga sih yang pedih mengiris-iris. Ada juga yang saya tidak merasa seperti itu tapi ditulisnya begitu. Cukuplah itu menjadi kenangan ‘teguran’ buat saya, agar saya selalu evaluasi diri. Oh iya, saya baru ingat kenapa saya masih menyimpan tulisan-tulisan itu. Itulah manfaatnya.

Kembali ke saat bongkar-bongkar.
Akhirnya, kamar saya sekarang lumayan rapi. Ya, lebih mendinglah daripada sebelumnya. Barang-barang saya juga sudah rapi. Bersiap kalau suatu saat harus makcling! pergi dari kota ini tiba-tiba. Hahaha! Kita tunggu saja! 

17 April 2013

OPTIMIS (1)


“Wah, berarti aku harus menyiapkan ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah nih Mbak kalau akhirnya aku diterima.”
Ih, jauh banget mikirnya sampai ke situ. Padahal dibuka saja belum, bagaimana mungkin diterima. Apalagi sampai bersiap ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah segala, sungguh amat-amat kepanjangan mikirnya.
“Cie, yang akhirnya pulang kampung. Kalau ‘jodoh’mu pasti nggak akan kemana kok, Cin. Siapa tahu juga, kamu bakalan ketemu dia. Wah, akhirnya cinta lama kesampaian juga. Hihihi!” Yang ini bukan lagi kepanjangan mikirnya, tapi juga keterlaluan. Jadilah korban timpuk saya teman yang satu itu.

-@@-

Perpisahan heboh dengan salah satu penghuni kos itu ditambah pula kabar gembira bahwa saya bisa memenuhi kualifikasi SDM yang dibutuhkan Dinsos untuk menjadi pendamping salah satu program sosial. Bisa dibayangkan bukan betapa kami amat sangat gempita pada hari itu. Atmosfir bahagia menyelubungi percakapan kami. Apalagi saat itu, teman kami yang baru saja skripsinya di-acc, kurang lebih satu minggu lagi akan sidang. Wah, tema perpisahan diisi dengan harapan-harapan masa depan yang lebih baik. Sharing tentang impian masing-masing yang digantung setinggi langit. Semangat empat lima!
Termasuk saya yang juga menyala-nyala. Bukan karena kalimat teman saya yang sudah kena timpuk baru saja, tapi ada sebongkah perasaan yang membuncah, sebuah harapan yang berpendar. Ada rasa penasaran, benarkah plan saya yang ini yang akan saya jalani? Benarkah akhirnya Allah meridhoi saya untuk mengambil skenario yang ini? (Ada sekian planning yang sudah saya tuliskan, termasuk meninggalkan kota studi ini dengan segala kenangannya, yang kata teman saya yang lebih dulu pergi akan terasa berat karena di kota inilah kehidupan kami ditempa sambil merajut cita-cita). Saya akan tahu jawabannya kemudian.

14 April 2013

Sahabat Paling Krik! Sepanjang Masa


Sebelumnya saya mau mengenalkan teman saya, Heart. Saya mengenalnya pada acara kerohanian sekolah, dulu sewaktu masih jaman berseragam putih abu-abu. Lalu pertemanan kami berlanjut karena ternyata dia satu jurusan dengan saya. Sejak itu kami tak terpisahkan. Bertengkar, baikan, perang dingin, gencatan senjata, pisah kamar, baikan lagi. Mulai dari awal siklus, bertengkar, gencatan senjata dan seterusnya.

Dua tahun sebangku. Di akhir tahun dia memutuskan untuk indekost, dan berbagi kamar pula dengan saya. Ya, kalau ada orang yang ingin tahu saya seperti apa, Heart mungkin bisa menjadi salah satu orang yang layak menjadi rujukan selain Emak dan Babe saya. Hehe. 

Lima tahun yang lalu Heart memilih melanjutkan studi di kota kelahiran kami. Empat tahun dia lulus, kuliah yang normal. Sedangkan saya, ohoo … menyusul satu setengah tahun kemudian. Lalu satu setengah tahun yang lalu, tepat beberapa hari sebelum wisuda, dia menikah. Kurang lebih empat bulan yang lalu dia melahirkan anak perempuan cantik yang saya panggil Zizi (dia lebih suka memangggil anaknya sendiri dengan panggilan nggak gaul ala saya). Dan karena ponakan kecil saya itu, Heart memanggil saya Tante sekarang.

Kalau melihat kisahnya, dalam hal ini dia lebih progress dibanding saya kan? Ya itulah awal cerita ini.

Heart dan saya masih berteman sampai sekarang. Saya yang mengunjunginya karena saya lebih bebas dibanding dia. Kami masih sering berbincang-bincang via telepon, via sms, dan sebagainya. Obrolan ringan sampai yang berat, dan curhat tentu saja. Dia yang bahagia banget dengan putri kecilnya dan saya yang heboh banget dengan cerita-cerita lainnya. Ck!, kadang nggak penting juga.

Seperti pada sore itu. Baru berselang beberapa hari lalu kami ngobrol via sms. Maka ketika dia mengirim pertanyaan basa-basi, “Lagi apa Tante?”, saya balas singkat “Ngemil” (baru dapat cemilan gratis dari Mbak Yang Baik Hati).

Heart : Makan Tante, jangan ngemil terus.

Saya : Udah kok, Bu. Tenang aja. Btw, makasih ya udah care banget sama aku. Dari kemarin sms terus. (maksudku jam segitu apa dia nggak ribet ngurusin Zizi yang doyan makan ‘minum ASI’)

Heart : Lha mau sms siapa? Sms pacar juga udah diadep. Hahaha!

Saya : (krik!) :p

Heart : Kapan pulang?

Saya : Minggu depan mungkin. Ada apakah?

Heart : (mungkin mikirnya saya lama nggak pulang) Ini bocah kok betah banget sih di situ, bukannya udah lulus?!

Saya : Nungguin suami (sengaja membuat atmosfer makin krik!).

Heart : Jangan cuma teori dong! Buktikan! Oke, asal nunggunya jangan sampai enam bulan.

Saya : (krik! pangkat sepuluh)
….

Heart memang bukan kali pertama itu care dengan saya. Bahkan dalam setiap obrolan kami, kalimat yang makin krik! itu selalu dia singgung-singgung. Dari yang krik! pangkat satu hingga krik! pangkat sekian. Krik! pangkat sekian itu kadang-kadang terasa pedas juga. (Tahu nggak kalau sewaktu nulis kalimat ini saya ingin mengganti nama dia menjadi Heartkrik. Saya rasa lebih cantik. Qiqiqi!).

Bagi saya sih, biar makin krik! aja, dia tetap sahabat saya. Saya suka dia tetap care dengan sahabatnya. Saya bahagia dia bahagia. Bahkan saya berharap, persahabatan saya dengan Heartkrik, eh Heart maksudnya, tetap baik-baik saja sampai kakek nenek,  bahkan sampai di surga nanti (aamiin, insyaallah).

Baiklah, bersamaan dengan postingan tulisan ini, saya dengan hati yang sangat bahagia menganugerahkan pada sahabat saya yang satu ini predikat “Sahabat Paling Krik! Sepanjang Masa”. Semoga dia tak kalah bahagia menerimanya. Pada kesempatan yang lain, kalau saya sedang berbaik hati, saya akan memberikan gelar yang keren lagi untuk sahabat-sahabat saya yang lain.

11 April 2013

Apakah Tirus Lawan Kata Bulet?


Selasa 9 April 2013, setelah satu hari sebelumnya secara tidak sengaja bertemu Mbak HAI, saya bertemu Mbak UI dan Mbak AI.  Bla … bla … bla…. Cerita-cerita. Seperti pertemuan dua sahabat lama. Dan ya ampuun,

“Kata HAI, Rahma sekarang kurusan, mukanya tirus. Bla bla bla.” Ujar mbak UI setelah cipika cipiki.
Ah, yang benar saja. Dulu ada yang bilang muka saya itu bulet. Makanya pernah ada saudara yang manggil Dik Bulet.  #krik-krik buanget

Terus lawan kata bulet itu adalah tirus? Oh ya?
Kok kesannya negatif amat ya? Nanti deh kapan-kapan saya cari di KBBI arti kata tirus dan lawan katanya. Pasti bukan cubby atau bulet. Saya yakin! #haha, plis deh!

Efeknya habis dikatain gitu jadi penasaran juga. Aduh masa iya kurusan? Alhamdulillah dong! Orang sekitar seminggu yang lalu aja berat badan saya sekian sekian. Efeknya, pulang-pulang langsung nyari kaca. Biar lihat sendiri macam mana awak punya muka. Ck!

Hal paling pol yang dilakukan perempuan sejagad raya kalau habis dikomentari masalah penampilan, apa coba? Bercermin! Tepat sekali.

Daaan, survei membuktikan bahwa saya …, saya tidak punya kesimpulan apakah saya lebih kurus atau lebih gemuk. ^^v
Dibilang kurus, ah saya nggak mau melanjutkan pembahasan.
Dibilang gemuk, no comment ah!

Kurus atau gemuk yang penting bahagia, mulia dan sejahtera. J

Jadi kalau besok lagi ada yang gini, “Kamu kurus, Cin!” atau ada yang gini, “Say, kamu gemukan ya!”, hadapi dengan senyuman. ^^v

22 Maret 2013

. . . . (2)


“Apa aku saja yang ngomong?”
“Tidak. Jangan, Mas. Aku takut tentu saja.”
“Wajarlah. Justru kalau kamu yang berani, dia yang takut.”
Sophie mengutak-atik kunci motornya. Tidak ada yang tidak beres. Kunci motor, helm, meja kursi di depannya semua baik-baik saja. Justru dia yang sedang tidak beres dan mengundang tatapan kasihan dari Mas Jo. Sudah terlanjur, pikir Sophie.
Karena hujan yang mengguyur sebagian kota sore itu, Sophie yang hendak pamitan pulang mengurungkan niatnya. Lagipula ini hari terakhir bertemu Mas Jo. Sejak awal tadi cerita pun mengalir. Pernah ada momen seperti ini beberapa waktu yang lalu, yang diberi nama Mas Jo ‘sore santai’ yang berisi sesi curhat. Boleh jadi ini ‘sore santai’ keduanya. Sophie tertawa kecil.
“Aku pasti malu kalau suatu saat nanti bertemu denganmu, Mas.” Kekanakan sekali ya, batinnya. Kau tahu apa yang terjadi? Dalam acara ‘sore santai’ itu tanpa sengaja Sophie menyebut-nyebut perkara Lazuardi. Wah, pasti sulit baginya mengorek cerita ini. Tidak ada yang lebih hebat yang bisa mengguncang batinnya daripada hal yang satu ini. Beruntungnya Mas Jo mengerti. Ya katakanlah dia mengerti, minimal dia berkenan menggelar ‘sore santai’ itu jadi lebih hidup.
“Hahaha! Ceritamu itu nanti pasti akan terbawa mimpi sampai seminggu kemudian. Tunggu saja. Lagipula buat apa kau malu? Satu atau dua hari lagi kita tidak akan bertemu.”
Sophie meringis. Dia membayangkan jika suatu saat berkesempatan bertemu Mas Jo lagi.
“Rampungkan novelmu yang sudah ada outline-nya waktu itu. bikin cerita yang bagus. Nanti dikirim ke emailku. Aku siap jadi pembaca pertamanya, jadi kritikus kan enak. Bla … bla … bla….”
Berpuluh nasihat keluar. Sophie mencatat yang dia ingat dalam hati, termasuk nasihat yang satu ini pula.
Merampungkan novel? Ini bisa menjadi ‘obat’ kalau dia mau mengerjakannya. Sebenarnya ia sudah mulai, hanya saja anak yang satu ini tidak konsisten sehingga target yang ditulisnya tak jarang hanya menghiasi buku harian atau memenuhi coretan-coretan di atas kertas saja. Oh, siapa tahu kisahnya yang baru saja digelar dalam sesi curhat ‘sore santai’ bersama Mas Jo barusan bisa memberi inspirasi untuk tulisannya. Ah, siapa pula yang akan membaca? Sophie buru-buru mengusir lintasan pikiran yang mampir di benaknya.
“Aku pulang ya, Mas.” Sore beranjak senja.
“Satu pertanyaan lagi dan kamu bisa pulang.”
Sophie berdiri di ambang pintu. Menunggu pertanyaan terakhir Mas Jo. Ia tidak akan berlama-lama di sana. Sejak Lazuardi mencuat dalam percakapan mereka, hati anak itu sudah bergemuruh dan menjadi tidak karuan. Sophie sadar itu tidak  bisa dibiarkan. Dia harus segera menutup percakapan dan melupakan semuanya.
“Dia sudah lulus?”
Sophie menggeleng.
“Mungkin sudah. Setahuku dia sedang mengerjakan skripsi juga dalam waktu yang hampir bersamaan denganku.”
“Ya sudah, tempat mainnya diganti saja. Nggak usah ke Bromo atau ke Semeru. Siapa tahu nanti bisa bertemu dengannya.”
Sophie tersenyum kecut. Sesuatu yang tidak disadarinya, dua bulir menetes dari kedua ujung matanya. Mas Jo menatapnya heran ~ mungkin juga kasihan.
“Sudah, segera pulang dan istirahat. Nanti juga lupa sendiri. Prediksiku dia akan segera menghubungimu.”
Senyum Sophie semakin kecut. Perasaan campur aduk menyergapnya. Urusan pamitan ternyata bisa jadi panjang. Sepatah dua patah kata yang mau diucapkannya ternyata bisa jadi berpatah-patah. Entahlah, siapa tadi yang memulai hingga percakapan jadi panjang begini.
Di atas Blue ‘n Black miliknya, Sophie mengusap bulir-bulir air mata. Ia menarik nafas sedalam mungkin sebelum akhirnya benar-benar pamit.
“Aku jadi malu kuadrat nih, Mas.” Tolong jangan pernah diingat percakapan sore ini, batinnya memohon.
“Terimakasih Mas Jo, Annyeong!” Blue ‘n Black melesat menembus senja.



Dulu sewaktu kecil, aku selalu berharap jadi adik yang bisa minta ini itu ke kakaknya dan selalu dituruti, tapi kenyataannya aku jadi kakak. Tapi ternyata, Allah memberikan banyak sekali karunia-Nya. Termasuk salah satunya bertemu Mas Jo. O ya, satu lagi, coklat itu enak. Ya enak aja, nggak perlu ada rasionalisasi mengapa harus suka coklat. Analoginya adalah seperti ketika menyukai seseorang, tidak pernah bisa dijelaskan mengapa. Semoga Mas Jo segera menemukannya, dan tidak usah menunggunya bertahun-tahun, karena itu menjemukan dan lebih irasional. Selamat menikmati dan mencerna lezatnya coklat di setiap gigitnya. J

Pipito sayang,
Jika kamu sedih,
Aku bahkan lebih sedih.
Semoga kau segera menemukan partner yang lebih baik.
Sepertinya aku benar-benar akan pulang.





#BERSAMBUNG