27 September 2014

Beruntung Masih Bisa Ngumpul


Sore yang melelahkan.


Saya tergeletak ‘setengah pingsan’ di ruangan seperti kapal pecah, saat teman saya dari habis kuliah mampir untuk shalat maghrib. “Capek ya?” tanyanya. Tentu saja. Besok (hari ini) adalah hari wisuda adik saya. Jadi keluarga saya datang dari tempat tinggal kami. Saya yang sudah hafal ibu saya suka tidak betah tinggal di tempat lain, sibuk memikirkan bagaimana caranya agar beliau nyaman selama tinggal di sini.

“Seneng ya masih bisa ngumpul bareng?” suara Ami, teman saya, memecah hening.

“???”

TING!

Oh iya saya ingat maksud dia. Sejenak saya jadi speechless.

“Jangan begitu ah!” Jawab saya sambil memikirkan kata-kata berikutnya untuk menanggapinya. Padahal kalau sedang capek saya suka malas bicara.

Saya kan takut kalau sampai dia mewek. Saya sendiri orangnya tidak kalah mewek-an. Tapi kalau dihadapkan dengan orang yang sedang nangis, saya itu bingung minta ampun. Jadi sebisa mungkin saya mencoba untuk membuat suasana ‘terkodisikan’.

“Ambil hikmahnya saja ya.”

“Iya, pasti ada hikmahnya kok. Cuma kangen aja.”

“Doakan saja.”

“Tentu. Cuma ya…kelihatannya seneng aja masih bisa ngumpul-ngumpul.”

Ah, rasa capek saya tiba-tiba menguap meskipun belum semuanya. Saya tidak tahu harus melanjutkan percakapan ini bagaimana. Karena bagi saya dia sudah memahami bagaimana ‘ketidaklengkapan’ itu harus diterima. Tapi ya bagaimana orang dia sedang kangen. Kangen dengan seseorang yang masih hidup saja rasanya sangat ‘menggigit’, apalagi yang dia kangeni itu sudah pergi untuk selama-lamanya. Bagaimanalah kalau bukan hanya do’a-do’a terbaik yang dikirimkan?!

“Ya sudah, pulang sana! Nanti kemaleman.” Akhirnya kata-kata ‘usiran’ yang keluar.

Akhirnya teman saya pamit.

Belakangan saya baru merenungi apa yang dia cakapkan tadi. Betapa saya masih beruntung memiliki kedua orang tua lengkap sekaligus. Betapa enaknya saya masih bisa ‘menggelendot’ mereka saat hidup saya berada dalam tekanan. Saya juga kadang kangen dengan simbah saya yang sudah tiada, seperti Ami, teman saya tadi, merindukan ibunya.

Di dalam remang-remang senja itu, saya segera beranjak. Bersiap-siap menuju tempat penginapan bapak dan ibu, meninggalkan ruangan milik saya yang seperti kapal pecah, untuk menemani mereka karena malam itu adik saya ada acara di fakultasnya.

Optimizer, kadang tidak perlu hal-hal besar untuk merubah kita menjadi lebih semangat. Bagaimana denganmu?

Optimizer, pernahkah kamu tergugah oleh hal-hal kecil dalam hidupmu?

24 September 2014

Inspirasi Soko Kenalan


Iki kaping pindhone aku mosting tulisan sing nganggo boso Jowo. Sing kaping sepisan iki (NING KENE). Tulisan iki terinspirasi soko pertemuanku karo mahasiswa asing pirang dino kepungkur.

Sakwayah aku lungguh-lungguh ning nggone Kak Rin, aku ketemu karo mahasiswa asing sing kuliah ning kampus sampinge kampusku. Aku kenalan karo mahasiswa sing jumlahe telu, banjur ngobrol ngalor ngidul nganggo boso campur-campur. Soko obrolan kuwi mau aku oleh informasi, salah siji mahasiswa, sing cewek , asale soko Filipina, siji sing lanang dhuwur banget asale soko Ceko, terus siji lanang sing rodo gondrong asale soko Meksiko.

Soko fisike aku wes ngerti menowo cah lanang loro kuwi mau dudu wong lokal. Tapi pirang dino sakdurunge aku pernah kleru, tak kiro sing cewek kuwi dudu wong asing. Soale wajahe rodo-rodo mirip karo tonggoku. Hehe! Aku lagi sadar yen dheke dudu wong Indonesia wektu dheweke ngucapne “selamat siang” nganggo logat sing aneh. Terus tak takoni asalmu ngendi, bar kuwi aku lagi paham.

Ketemu mahasiswa asing menehi inspirasi utowo bayangan kanggone aku dhewe. Bocah lanang sing soko Meksiko kuwi wektu tak takoni njupuk jurusan opo, dheweke njawab njupuk jurusan pedhalangan. Aku mbatin, “wah calon dhalang.” Tapi opo iyo yen jurusane pedhalangan terus kabeh dadi dhalang? Durung mesthi kan yo?

Lha kowe opo iso boso Jowo? Takonku. Dheke geleng-geleng karo ngguyu. Yo iyo sih, mungkin iso sithik-sithik paling yo. Wong ning kene wae dheke lagi telung minggu iki. Tapi yo aku salut, bocah kuwi durung iso boso jowo wae wani njupuk jurusan pedhalangan. Berarti cah iki mesthi nduwe kekarepan gelem sinau. Lha yo kuwi to semangat sing perlu di duweni yen durung iso?! Sinau terus, sinau maneh, ora leren-leren.

Aku dadi soyo tambah semangat sinau boso asing. Biasane yo sinau, tapi yen aku bosen biasane tak tinggal nggarap liyane. Mengko tak baleni maneh yen atiku wes longgar. Hahaha! Ketoke koyo ora niat banget yo?! Niat sih, tapi yo jenenge mood kadang teko kadang lungo. Soale aku sinaune dhewe, otodidak, dadi tuntutan ben iso kuwi mung soko aku dhewe. Akeh sih wong sing ngalami koyo aku lan berhasil. Berarti iki ora iso tak nggo alasan aku mandeg gara-gara sinau dhewe ora ono koncone kan yo?! Hemm ….

Terus sing keloro, yen aku pengen cas cis cus nganggo boso asing, ora perlu isin-isin. Soale ngene, uwong-uwong ning sekitarku iki ora mbangun lingkungan sing nggugah semangat. Aku njajal ngomong siji nganggo boso asing kuwi mau malah diguyu. Dadine kan aku isin dhewe. Yen tak terus-terusne mengko aku dikiro wong gendheng. Hahaha! “Hemm…” maneh sing kaping pindho.

Jajal to sawangen utowo gatekno. Poro turis utowo wong asing sing nyang negorone dhewe iki kan ora kabeh lancar boso Indonesia, kan awake dhewe maklum to. Mosok awake dhewe terus arep ngguyu wong ngono kuwi. Mereka yo ora isin goro-goro boso Indonesiane kurang lancar.

Inspirasi liyane maneh opo yo?

Yo iki bagian soko cita-citaku. Aku pengen banget ketemu karo native speaker boso sing tak sinauni iki. Terus aku pengen ngobrol bareng, sinau bareng, lan jalan-jalan ning negorone kono bareng-bareng. Aku pengen weruh lan mempelajari secara langsung budhaya sing ono kono, sing wektu iki mung iso tak woco lewat buku-buku karo internet.

Optimizer seneng lan lancar boso opo wae? Sugeng nindakaken sedoyo aktivitas nggih! :D




23 September 2014

Izinkan aku membunuhmu tanpa penyesalan


Izinkan aku membunuhmu
tanpa penyesalan



Lihatlah
Matahari sudah tenggelam lagi
Jika besok dia kembali berbaik hati
Maka yang semula tujuh
Berkurang menjadi enam
Lalu menjadi lima
Lalu menjadi empat
Lalu berkurang lagi satu, satu, satu
Dan aku akan mati!

Oleh karena itu
Ijinkan aku
Membunuhmu tanpa penyesalan
Sebelum yang tujuh menjadi nol
Dan aku hanya tinggal nama

Meskipun besok
Ayam jantan berkokok di jam yang sama
Dan hitungan kita tinggal tersisa dua
Aku tidak akan menyesal
Karena telah menghabisimu
Dengan jerih payah pantang menyerah
Dan jika yang tersisa tinggal nol saja
Aku ingin penutup yang khusnul khotimah


ups, gambar siapa yang kedownload bertahun lalu ini?? 


*** Astaga! Puisi dari penyair amatiran ini akhirnya nongol juga.
Kalau tidak pas diksi, sajak dan rimanya jangan salahkan saya. Ambil hikmahnya saja ya. Hahaha! Saya tahu masih minim kosakata. #tutup muka

Optimizer, apakah kamu suka puisi? Membuat puisi atau penikmat puisi atau dua-duanya? Adakah yang mau membuatkan saya sebuah puisi? :D

19 September 2014

Kangen Faris


Masa iya sih saya sama dia sepaket?

Dilihat dari mana ya? Sepertinya bukti-bukti yang ada justru menolak pendapat itu.




Faktanya justru jauh berbeda lho! Saya sudah mewek sampai kejer, anak ini tetap bergeming. Diam saja. No expression!

Saya sudah teriak-teriak nggak jelas tentang ketidaksepakatan, anak ini akan ayem-ayem saja menanggapi sesuatu.

Saya, dimana saja kalau mau mewek ya keluarin saja secara langsung. Maksudnya matanya otomatis mbrebes mili gitu. Dia? Hei…boro-boro mewek di depan publik. Itu adalah pantangan terberat dalam hidupnya karena tidak mau dianggap lemah.

Eh tunggu, sebenarnya dia anak bungsu dan saya justru anak sulung. Mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Menurut logika umum, yang tegar, dewasa, tidak cengeng itu anak sulung, bukan sebaliknya.

Apa mungkin karena itu juga tidak ada perpisahan manis di antara kita? Tidak ada tuker-tuker kado buat kenang-kenangan? Tidak ada kalimat-kalimat lebay perpisahan? Tahu-tahu dia sudah terbang.

Nah, kalau begitu di mana letak ke"sepaket"annya?

Optimizer, pernahkah kamu memiliki teman yang berlawanan karakter denganmu tapi justru dia orang yang paling mengerti kamu? 

17 September 2014

Mencicipi (lagi) Tanah Rantau


Ingin sekali merasakan ini. Bergetar hati merindui kampung halaman karena berada di rantau orang, berada jauh ribuan mil darat dan laut. Membayangkan saat senja mengungkung bumi. Melihat formasi burung-burung terbang kembali ke sarang. Merenungi lafadz demi lafadz adzan yang menggugah hati.

Ingin sekali, melihat warna senja yang memenuhi cakrawala. Menikmati semilir angin yang membawa kabar-kabar baik dari kampung halaman, hingga rindu makin terasa berlipat-lipat. Lalu saya duduk di pinggir jendela, memegang secarik kertas dan pena. Mengurai cerita-cerita bahagia yang saya tapaki di tanah rantau itu.

Ingin sekali lagi, menapaki jengkal demi jengkal bumi yang masih asing. Menemukan saudara dengan bahasa yang berbeda dan kulit yang berlainan warna, mencicipi kuliner dengan cita rasa yang berbeda, mengenali beraneka ragam budaya yang berbeda, dan menikmati seribu hal baru yang semuanya berbeda.

Ingin sekali, merasakan kedalaman cinta dari orang-orang tersayang. Lalu suatu hari pulang kembali dengan menggenggam janji kehidupan yang lebih baik.


Optimizer, apakah kamu suka berpetualang? 

15 September 2014

Berbusana


“Nyambung nggak?”

Sering sekali kalimat ini muncul ketika ada teman sedang mematut diri di depan cermin saat mau berangkat bepergian, meminta pendapat teman lain mengenai padu padan busana yang sedang dia kenakan. Di kosan saya ada cermin yang bisa dipakai berjamaah di ruang depan, jadi biasanya pada jam-jam sibuk mau berangkat beraktivitas, pada antri berkaca di depannya.

Kalau ada raut wajah yang tidak yakin menjawab “iya”, berarti ada yang belum beres dengan padu padan warna yang sedang dia pakai. Biasanya akan muncul berbagai tanggapan seperti ini. (seolah komentator fashion ngetop gitu).

“Emm, ijonya agak tuaan dikit. Coba deh pakai yang lebih cerah!”

“Wah, itu nabrak lagi!”

“Mendingan jilbab yang ini dipasangin sama baju yang garis-garis itu lho! Cantik deh!”

Lalu yang dikomentari akan ber”yaaa” kecewa dan mengobrak-abrik lagi koleksinya untuk dipadu padankan sehingga penonton merasa pas dengan kombinasi warna yang dipakainya.

Pernah mengalami?

:D

Tentu hampir semua orang sepakat kalau berpenampilan rapi itu penting. Kalau rapi enak kan dipandang mata. Menunjukkan wibawa dan kharisma si pemakai pakaian itu. Ada pepatah Jawa yang mengatakan ajining diri ono ing lathi, ajining rogo ono ing busono. Artinya kurang lebih adalah harga diri seseorang itu bisa dilihat dari cara dia berbicara dan cara berpakaian. Nah, menurut saya di sinilah poin pentingnya mengapa berpakaian rapi itu perlu.

Jadi kalau saya dan teman-teman suka saling komentar “nyambung-nggaknya” padu padanan kostum, itu adalah bagian dari keinginan untuk berpenampilan rapi dan enak dipandang mata.

Tapi kadang-kadang teman-teman itu juga suka lho nyeletuk begini, “Siapa juga yang mau merhatiin penampilan kamu! Kalau kamu nyaman dengan pakaian seperti itu ya sudah. Nggak usah ambil pusing dengan apa kata orang!”

Ada benarnya juga sih ya! Kalau kita selalu ingin menjadi seperti yang orang katakan, bisa-bisa malah nggak jadi pakai baju. Ups! Bahaya malah. Itupun pasti orang akan berkomentar lagi begini begitu.

Jadi?


Jadi…kalau menurut saya kita kembali lagi pada tujuan kita berbusana. Hhee… singkat amat ya!


Optimizer, apa kamu punya prinsip atau gaya sendiri dalam berbusana?

12 September 2014

Kapok Lombok


Kapok lombok itu adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan jika seseorang melakukan suatu tindakan seolah-olah telah membuatnya jera, tetapi di kemudian hari perbuatan itu diulanginya lagi. Seperti tindakan seseorang mengonsumsi sambal yang berbahan dasar lombok (cabe).

Pedasnya rasa cabe saat mengonsumsi sambal, bisa meningkatkan nafsu makan. Selain itu, cabe segar bisa juga untuk teman makan gorengan. Sehingga secara tidak sadar, satu cobek sudah habis. Lidah dan bibir sudah ber-huh hah kepedasan. Jika sudah begini seolah-olah besok-besok tidak akan makan lagi yang namanya sambal atau tidak akan sekali-kali mengunyah cabe.


sambel bawang


Tapi nyatanya tidak begitu kan, Optimizer?

Jika suatu hari disodori mendoan (tempe goreng berlapis tepung) hangat, tidak lengkap ya rasanya tanpa cabe. Atau ketika sedang lapar, kemudian disuguhi menu nasi hangat beserta sambal dan lalapan segar, kamu pasti tidak menolak kan?

Atau jangan-jangan kamu tipe orang yang tidak suka makan pedas? Kalau saya tentu suka sekali menu yang pedas-pedas. Eh, tapi bukan cabe-cabean lo ya! Hihi!

Selain makan sambal atau lombok (cabe), pernahkah Optimizer melakukan sesuatu yang kemudian kamu ulangi lagi padahal sebelumnya sudah merasa kapok? Tindakan apakah itu?


5 September 2014

sebuah pertunjukan



Tiba-tiba senyap. Tidak ada satu kata yang keluar dari bibir mungilnya. Serupa patung mahakarya seorang seniman yang dipamerkan di galeri. Hanya suara desahan napasnya yang terdengar. Mewakili degup jantung yang tidak karuan. 

Kepalanya kosong. Apa yang diulang beberapa hari terakhir ini seperti embun pagi yang disapu matahari. 

Masih dipegangnya mikrofon itu di dekat bibir. Matanya nanar melihat para penonton yang antusias. Ia mengulur waktu. Siapa tahu, ya siapa tahu kata-kata yang dihafalnya semalam tiba-tiba muncul di kepala. 

Tapi benar-benar tidak satupun. Satu katapun tidak ada yang mau keluar. Yang muncul malah penonton yang tadi bersembunyi di balik pakaian dan aksesoris yang menarik hatinya untuk dibeli. Mereka bertambah banyak. Pertanyaan mereka juga memenuhi langit-langit. Ada apa? Apa yang terjadi dengannya? Kenapa tidak disuruh turun saja? Dan opini-opini lainnya yang menambah gelisah gadis kecil di atas panggung itu sehingga satu katapun benar-benar tidak mau muncul di kepalanya.

Detik-detik bisu terus berlalu. Sekarang gadis kecil itu bertambah gelisah. Tidak ada ide untuk mengakhiri pertunjukannya. Tadi dia sudah mencoba sedikit. Ia sedikit mengulang lagi sebuah kalimat yang sebelumnya sudah disampaikan pada menit yang lalu. Barangkali pikirnya, kalimat itu bisa memancing ingatannya kembali. Tapi nihil. Perasaan bercampur-campur memenuhi rongga dada. Kini yang tersisa adalah sesak. 

Ia melihat satu sosok melambaikan tangan. Mengatakan kalimat-kalimat tertentu yang tidak ia pahami. Bagaimana ia mengerti? Di kepalanya saat ini yang terngiang adalah apa lanjutan dari bagian yang tadi. Tapi karena tidak kunjung menemukan, kemudian kepalanya dibuntukan oleh pertanyaan apa yang harus kulakukan.

Sosok itu terus melambai padanya. Rasanya ada sedikit yang ia ingat. Kode-kode itu, ucapan-ucapan itu. 

Gadis kecil itu sedikit lega. Iya ingat sekarang. Ia punya satu lagu yang sering ia nyanyikan. Menyanyi! Kata sosok yang tadi melambaikan tangan. 

Gadis kecil itu mengangkat mikrofonnya. Suaranya serak memecah kebisuan. Detik berikutnya tepuk tangan membahana. Ia bernyanyi. Dengan suara serupa ratapan karena ada tangis yang hampir meledak. Tapi ia tetap menyanyi. Percaya diri berdiri di panggung seorang diri. 

Tepuk tangan semakin riuh. Gadis kecil telah menyelesaikan lagunya. Di antara suara seraknya, ia mendengar sosok yang melambai tadi untuk mengucapkan I Love You, Almamaterku. Ia sudah mengucapkannya. Lega batinnya. Dia sudah menjalankan tugas dengan baik.

Setengah berlari ia turun dari panggung. Hampir terpeleset. Satu orang yang ingin ditujunya sekarang. Seorang perempuan yang hangat pelukannya. Ia berlari ke sana. Mendekap perempuan itu, menumpahkan air mata yang ia tahan sebisanya. 


***Adegan ini saya tangkap dari lomba pildacil tempo hari. Saya tulis karena saya salut atas keberanian dan rasa percaya diri yang dimiliki gadis kecil itu. (Usianya baru saja menginjak tujuh atau delapan). Bahkan saya ikut berkaca-kaca saat dia menyelesaikan penampilannya dengan baik. Akan sangat berbeda kesan saya jika dia menangis di panggung lalu berteriak mencari ibunya. Tapi gadis kecil ini tidak melakukan itu. 






Perlukah suatu saat kita berlaku innocent seperti gadis kecil itu?