Tiba-tiba senyap. Tidak ada satu kata yang
keluar dari bibir mungilnya. Serupa patung mahakarya seorang seniman yang
dipamerkan di galeri. Hanya suara desahan napasnya yang terdengar. Mewakili degup
jantung yang tidak karuan.
Kepalanya kosong. Apa yang diulang beberapa
hari terakhir ini seperti embun pagi yang disapu matahari.
Masih dipegangnya mikrofon itu di dekat bibir.
Matanya nanar melihat para penonton yang antusias. Ia mengulur waktu. Siapa tahu,
ya siapa tahu kata-kata yang dihafalnya semalam tiba-tiba muncul di kepala.
Tapi benar-benar tidak satupun. Satu katapun
tidak ada yang mau keluar. Yang muncul malah penonton yang tadi bersembunyi di
balik pakaian dan aksesoris yang menarik hatinya untuk dibeli. Mereka bertambah
banyak. Pertanyaan mereka juga memenuhi langit-langit. Ada apa? Apa yang
terjadi dengannya? Kenapa tidak disuruh turun saja? Dan opini-opini lainnya
yang menambah gelisah gadis kecil di atas panggung itu sehingga satu katapun
benar-benar tidak mau muncul di kepalanya.
Detik-detik bisu terus berlalu. Sekarang gadis
kecil itu bertambah gelisah. Tidak ada ide untuk mengakhiri pertunjukannya. Tadi
dia sudah mencoba sedikit. Ia sedikit mengulang lagi sebuah kalimat yang
sebelumnya sudah disampaikan pada menit yang lalu. Barangkali pikirnya, kalimat
itu bisa memancing ingatannya kembali. Tapi nihil. Perasaan bercampur-campur
memenuhi rongga dada. Kini yang tersisa adalah sesak.
Ia melihat satu sosok melambaikan tangan. Mengatakan
kalimat-kalimat tertentu yang tidak ia pahami. Bagaimana ia mengerti? Di kepalanya
saat ini yang terngiang adalah apa lanjutan dari bagian yang tadi. Tapi karena
tidak kunjung menemukan, kemudian kepalanya dibuntukan oleh pertanyaan apa yang
harus kulakukan.
Sosok itu terus melambai padanya. Rasanya ada
sedikit yang ia ingat. Kode-kode itu, ucapan-ucapan itu.
Gadis kecil itu sedikit lega. Iya ingat
sekarang. Ia punya satu lagu yang sering ia nyanyikan. Menyanyi! Kata sosok
yang tadi melambaikan tangan.
Gadis kecil itu mengangkat mikrofonnya. Suaranya
serak memecah kebisuan. Detik berikutnya tepuk tangan membahana. Ia bernyanyi. Dengan
suara serupa ratapan karena ada tangis yang hampir meledak. Tapi ia tetap
menyanyi. Percaya diri berdiri di panggung seorang diri.
Tepuk tangan semakin riuh. Gadis kecil telah
menyelesaikan lagunya. Di antara suara seraknya, ia mendengar sosok yang
melambai tadi untuk mengucapkan I Love
You, Almamaterku. Ia sudah mengucapkannya. Lega batinnya. Dia sudah
menjalankan tugas dengan baik.
Setengah berlari ia turun dari panggung. Hampir
terpeleset. Satu orang yang ingin ditujunya sekarang. Seorang perempuan yang
hangat pelukannya. Ia berlari ke sana. Mendekap perempuan itu, menumpahkan air
mata yang ia tahan sebisanya.
Perlukah suatu saat kita berlaku innocent seperti gadis kecil itu?
hmmm ... perlu nggak ya
BalasHapusEh, perlu nggak ya Mbak El? Hhe....
HapusHebat.. Bisa mengatasi demam panggung :D
BalasHapusAku juga salut sama si adek. Deg-degan kalau dia tiba-tiba mewek di panggung. :D
HapusAssalaamu'alaikum wr.wb, Sophie. Bukan mudah untuk berdiri di khalayak ramai dalam usia sekecil itu. Apa tah lagi jika yang diingat semuanya tidak muncul. Penonton seharusnya memberi semangat bukannya memikir macam-macam ya. Kalau Sophie sendiri, apakah pernah mengalami hal yang sama saat berhadapan dengan audien semasa kecil ? Salam manis dari Sarikei, Sarawak. SITI FATIMAH AHMAD.
BalasHapusWa'alaikumsalam, Kak.Reaksi penonton macam-macam, Kak. Ada yang memberinya semangat dengan tepuk tangan. Termasuk saya juga. Tapi namanya manusia kan ya macam-macam Kak responnya.
HapusKalau lupa teks pidato saya pernah. Tapi tidak sampai lama seperti adik kecil dalam tulisan ini. :D
Salam manis kembali. :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus