23 Februari 2012

Yeay! Diupdate Lagi


Pagi ini sudah lebih dari lima kali ibuku mengupdate statusku yang intinya menyakan lagi ngapain? So, selain ngetik revisi juga ngetik sms yang panjang dan lebar. Rupanya obrolan kami tadi pagi belum membuatnya tenang sehingga harus berkali-kali ngecek kondisiku. Hahay, mamahku makin lebay aja deh!

Mulai dari habis subuh tadi, pagi-pagi sudah ada pesan melayang yang menanyakan surat izin penelitian sudah beres apa belum. Terus berlanjut ke sana kemari. Lalu setelah itu telepon Bapak yang menanyakan hal yang sama dan berlanjut ke sana kemari. Yeah! Ada yang mengingatkan bagaimana progress skripsiku. Alhamdulillah. 

Kuakui, ibuku akhir-akhir jadi lebih deket sama aku. Entah apa sebabnya. Bukan berarti aku dan ibuku nggak dekat. Secara fisik emang jauh, terpisah jarak ratusan kilo. Tapi biasanya ibuku nggak seperti ini. 

Ini kurasakan saat terakhir pulang kemarin yang aku menghabiskan waktu sampai sekitar tiga minggu di rumah. Apa dari faktor itu ibuku jadi dekat ya? Atau aku saja yang dulu-dulu tidak merasakan dekat. Halah, nggak juga ding! Aku dekat dengan ibuku tapi yang sekarang ini jauh lebih dekat! Begitulah kalimat yang tepat. 

Hahaha, jadi teringat kejadian pertengahan Januari lalu. Adikku sedang di rumah karena waktu kuliah sedang libur. Tapi aku memutuskan masih tinggal di kos karena masih ada beberapa hal yang harus kuurus. Salah satunya adalah skripsi. Dan salah lainnya adalah menunggu waktu koordinasi panitia TMB yang rencananya akan diadakan di Jogja. 

Akhir pekan itu adikku kembali ke kos. Sedangkan aku akhirnya ke Jogja juga untuk koordinasi kepanitiaan itu. Karena faktor transportasi, aku pulang dari Jogja sampai rumah sekitar jam tujuhan. Di kos sudah ada adikku. Aku yang baru saja bepergian merasa capek bukan main. Lapar juga. Akhirnya makan dulu, kebetulan adikku bawa bekal dari rumah yang sengaja disisain buat aku. Eh, giliran udah kenyang adikku baru ngasih tahu kalau dia bawa sekotak pisang goreng yang udah dingin. Dia cerita kisah pisang goreng itu sampai bisa di sini sampai aku nggak tega buat menyia-nyiakannya. Akhirnya perutku kekenyangan karena makan pisang goreng. Duuuh!

Kembali lagi ke update statusku tadi, ternyata ibuku menjadi orang peduli pada apa yang kami lakukan. Nggak aku, nggak adikku.

Alhamdulillah punya ibu sebaik itu. Walaupun dengan pertanyaan-pertanyaannya itu membuatku sedikit tertekan karena harus segera menyelesaikan skripsiku, ya memang seharusnya begitu kali ya. Kalau tidak, pasti aku akan lalai lagi.

Ibu, aku tidak akan berkhianat lagi semester ini. Bismillah, insyaAllah. 

15 Februari 2012

Mendaki Impian (Bag.I)

Ada perih di sini (menunjuk ke dalam hati). Terbalut haru yang menyeruak bersamaan dengan jatuhnya tetes demi tetes airmata. Namun di balik itu ada kebanggaan terselip. Ketika teringat tiga bulan yang lalu saat gerimis membasah aspal jalanan kota solo yang terasa sesak, sebuah ide terlintas di benak dan kubicarakan dengan seorang kawan yang saat itu bersama-sama sedang mencari menu yang pas untuk makan malam. Why not? katanya. Dan jawabannya itu mengantarkanku pada sebuah perenungan, merenungkan konsep yang pas untuk sebuah kegiatan yang ditujukan untuk berkontribusi terhadap daerah asal.

Apa yang kira-kira bisa kulakukan? Selama ini, dalam pikiranku yang ada hanya diskriminasi. Mengapa harus selalu daerah kota yang mendapatkan sentuhan luar biasa dalam berbagai bidang kehidupan? Apakah kami tidak berhak untuk mendapatkan hal yang sama padahal kami sama seperti mereka yang ada di kota? Kami sama-sama remaja yang sedang mengenyam pendidikan dengan seragam putih biru. Namun karena hal yang membedakan itu yang membuat kami kadang menyerah karena kami tidak punya akses untuk menggapai mimpi kami yang terlampau jauh. Kami juga tidak punya kekuatan untuk mendobrak kolotnya pikiran orang tua kami yang masih menganut paham materi.
Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika suatu saat nanti tidak menjadi seorang pegawai negeri? Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika terpaksa kau jual sepetak kebun cengkeh warisan dari orang tua bapak? Hahhh...lalu bagaimana seorang remaja seperti kami harus memilih? Ujung-ujungnya yang kami lakukan adalah berhenti sekolah hingga tingkat sekolah menengah pertama, merantau keluar kota, satu atau dua bulan berikutnya menjadi istri seorang perjaka yang juga tidak jelas masa depannya.

Pertanyaannya, apakah semua itu prestasi yang patut untuk dihargai? Lalu mengapa kami seolah tak tersentuh oleh tangan-tangan para cendekiawan yang telah menuntut ilmu hingga ke negeri seberang? Apakah mereka telah sukses dan melupakan apa yang masih tersisa jauh di sana?

Dan ide itu akhirnya bergulir.

3 Februari 2012

Soulmeter: sebatas ide yang masih mengambang


Lebih dalam mana antara samudera dan hatimu? Pertanyaan Kanaya untuk Liana yang belum dijawab oleh Liana. Kalau boleh jujur, ia sendiri sebenarnya tidak tahu apa hatinya bisa sedalam melebihi samudera. Namun ada kata-kata entah siapa yang mencetuskan pertama kalinya. Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu. Ia sendiri sendiri tidak bisa menebak seberapa besar perasaan laki-laki itu padanya. Seringnya mereka berinteraksi bukan membuat semuanya menjadi jelas. Apalagi ini tentang perasaan.

Adalah Kanaya, gadis keras kepala dengan segudang aktivitas. Ia adalah makhluk yang tak bisa diam melihat segala kesemrawutan yang ada di sekelilingnya, meskipun ia sendiri adalah seorang yang sungguh semrawut. Keluarganya, kuliahnya. Namun ia orang yang tidak pantang menyerah.

Sejak Kanaya masih berkostum putih abu-abu, ia memiliki perasaan mendalam terhadap seorang laki-laki yang membuatnya kagum. Kini setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke kampung halaman dan menemukan laki-laki itu di sana.

Cita-cita mempertemukan mereka. Membuat mereka memulai segalanya dari nol untuk memberikan kontribusi pada kampung halaman. Mereka bekerja keras hingga mengharumkan nama kampung halamannya.

Waktu tidak mengubah perasaan Kanaya terhadap laki-laki itu. Namun ia masih menemukan hal yang sama. Laki-laki itu tetap seperti dulu, angkuh dalam segala hal. Hal itulah yang membuat Kanaya selama ini hanya memendam perasaannya. Ia merasa tak mampu dan lebih jelasnya tak pernah berani mengusik laki-laki itu.

Akhirnya Kanaya terdesak oleh waktu. Waktu yang membawa usianya semakin senja. Ia harus menuruti kata-kata keluarga besarnya yang menuntut dia untuk segera menikah. Dalam keterombang-ambingan itu Kanaya tak menemukan simpati sedikitpun dari laki-laki itu. Ia masih saja terlihat kukuh tak mengerti apa yang Kanaya alami.

Tidak ada harapan lagi bagi Kanaya. Ia telah sah menjadi seorang istri dari laki-laki yang tak pernah terlintas di kepalanya. Namun perasaannya terhadap laki-laki itu tetap ada dalam hatinya. Dan kini ia terus berusaha untuk menyimpannya dalam-dalam dan mengisi hatinya dengan perasaan baru untuk menjalani hidup dalam lembaran baru. :)
--&--

Outline novel. Nggak ngerti ceritanya nyambung apa nggak sama judulnya. Tapi sejak membaca kata-kata ini jadi terinspirasi untuk membuat sesuatu yang keren dan menyentuh hati. Mungkin kalau memang benar ada alat yang bisa mengukur kedalaman hati, laki-laki itu bisa tahu apa yang Kanaya rasakan. 

Haha, sedih.

Apa endingnya Kanaya harus kehilangan laki-laki itu atau happy ending ya? Menghilangkan perasaan terhadap seseorang itu bukan perkara mudah.

Kalau happy ending berarti Kanaya dan laki-laki itu saling tahu isi hati masing-masing. Terus gimana dong? Kan Kanaya sudah menikah dengan orang lain?

:-?