26 Desember 2014

Meningkatkan sense of humor


Melihat kembali ke tahun 2014 rasa-rasanya layak untuk dilakukan. Bukan hanya sekedar ikut-ikutan tren tahun baruan, eh meskipun memang iya. Hehe! Bukan ding! Tepatnya saya ingin mendokumentasikan apa saja yang ada dan sudah terjadi di tahun 2014 sehingga bisa menjadi, emm...minimal kenang-kenangan. Kalau tidak ya, untuk pijakan agar jadi lebih baik. Yahaha, sepertinya setiap tahun begitu-begitu mulu! Buktinya mana, Dear? Bukti perubahannya mana? #keplak diri sendiri

Okelah, saya sedang berproses.
#ngeles

Tetapi kayaknya kalau saya tulis semaunya dan semuanya, ini bisa jadi menuh-menuhi postingan. Jadi, baiklah saya hanya akan mengingat-ingat kapan saya mendapatkan an inappropriate remark (AIR) dari orang lain. Katakanlah pada kesempatan ini saya ingin memutar ulang peristiwa itu sekaligus menutupnya.

Mendapat an inappropriate remark (AIR) atas tindakan yang kita lakukan seringkali membuat suasana menjadi tidak nyaman. Bahasa Jawanya di-ece atau dihina. Tetapi sebenarnya lebih luas daripada dihina, karena menurut saya inappropriate itu bisa dalam bentuk meremehkan, merendahkan, mengejek, kasar, memojokkan, dan segala pengertian yang terkandung di dalamnya.

Sepanjang tahun 2014, saya mendaftar ada beberapa list AIR yang saya dapat. Seperti yang akan saya tuliskan dalam kesempatan ini. Ada yang diucapkan langsung pada saya, ada pula yang tidak langsung. Saya ingin meresponnya dengan cara yang lebih jenaka. Tetapi sayangnya waktu tidak bisa diputar ulang. Jadilah hanya ada tulisan ini untuk mengingatnya.

SATU! Saya pernah mendapat kesempatan berpartner dengan beberapa orang pada suatu instansi dimana manager instansi tersebut adalah pengajar di fakultas tempat saya dulu menuntut ilmu di universitas. Saya tidak pernah diajar oleh dosen yang satu ini karena beliau adalah pengampu mata kuliah di program studi sebelah. Oleh karena itu saya tidak mengerti betul bagaimana karakter beliau. Para senior di instansi tempat saya 'numpang ngamen' ternyata suka nggosipin si bapak manager saat jam-jam istirahat, saat makan siang, atau saat-saat senggang tidak ada pekerjaan. Mereka membeberkan "fakta" atau hal-hal yang dianggap fakta bagi mereka tetapi kebenarannya masih belum kita ketahui sepenuhnya. Hal itu yang membuat saya tidak sepakat dan merasa risih sehingga saya sering dingin menanggapi mereka. "Jika yang kalian katakan benar bahwa beliau seburuk itu, apakah salah kalau kita mengambil kata-kata positif yang diucapkan beliau? Toh, tidak semuanya buruk kan?" Karena saat ada pertemuan, seringkali bapak manager memberi motifasi meskipun kadang-kadang motifasi itu satire. Barangkali sindiran itu yang menyebabkan senior saya menjadi tidak suka pada manager kami.

Tetapi sikap dingin saya itu membuat saya merasa gerah. Giliran saya yang suka disindir oleh senior.

Sikap saya sebenarnya tidak ingin memihak siapapun. Sebagai seorang bawahan tentu saya harus menunjukkan rasa hormat pada atasan saya dalam batas-batas tertentu. Lagipula ucapan positif dari seorang bejat sekalipun bukankah jika itu sebuah kebenaran tidak mengurangi nilai kebenarannya?! Lagipula beliau adalah orang yang lebih tua yang harusnya sebagai seorang yang lebih muda kita bisa menunjukkan rasa hormat. Bukankah ada contoh dari para pendahulu jika orang tua itu harus dihormati dan ditaati?! Asalkan perintahnya bukan dalam rangka menyekutukan Yang Hakiki.

Akan tetapi pada kenyataannya hegemoni senioritas itu lebih kuat. Saya mending kabur. Hehe!

"Kalian kenapa rumit sekali setiap hari harus mencari "fakta" tentang bapak manager kita, kenyataannya kalian cuma butuh rupiahnya kan?", alih-alih menyarankan mereka untuk menunjukkan prestasi dan dedikasi. Hah? Ngomong tentang apa? Mana mungkin mereka nyandhak untuk membahas prestasi dan dedikasi????? Haha! Kenapa gantian saya yang 'menyengat' ya?! Pisss!


DUA! Sepertinya ini tidak terjadi pada tahun 2014. Datangnya juga dari senior saya. Ini berkaitan dengan buku-buku yang saya konsumsi. Pada suatu waktu saya iseng mem-posting gambar hasil jepretan yang berisi beberapa novel dan kumcer. Saya bersemangat memotretnya karena beberapa dari buku itu adalah hasil kerja keras saya atas kompetisi menulis, juga ada bingkisan buku dari sesama teman di komunitas menulis yang tinggal di seberang pulau sana karena saya memenangkan tantangannya. Kemudian saya jejer lalu saya foto dan saya bagikan di jejaring sosial. Seorang senior secara tidak langsung mengatakan saya childish karena menurutnya, pada usia saya saat itu sudah saatnya mengonsumsi buku-buku babon dan bukannya novel atau kumcer yang menurut dia sangat kekanakan. Haha! Mungkin ini efek suka pamer gitu kali ya?! Saya meyakini dia tidak sengaja untuk mengatakan itu. Tetapi saya merasa MJJ atau mak jleb jleb! "Kakak! Sesama anak kecil kita dilarang saling mencela!" *Sigh* Memang saya harus publikasi juga kalau saya habis baca komik. Eh, komik buku babon juga kan?! :p

TIGA! Menjelang lebaran saya pernah jualan kue sama pakaian. Itung-itung belajar wirausaha. E tapi ada juga ya tetangga yang iseng, "kamu sekolah tinggi-tinggi kok endingnya cuma jualan ya?" Hihi! Memangnya jualan itu profesi hina dina gitu apa?

EMPAT! "Nak, kamu ngajar di mana? Kok sekolah tinggi tapi tidak mengajar?" Hiyaa!! Memangnya profesi di dunia ini hanya ada pengajar saja? Eh, tapi jangan salah Optimizer. Guru itu profesi yang mulia. Bayangkan kalau tidak ada guru di muka bumi ini, saya juga nggak bakalan bisa sekolah. Tapi rasanya si nenek ini belum pernah belajar psikologi. Lho? Apa hubungannya? TIDAK ADA

LIMA! "Apa kamu sudah puas dengan hidupmu sekarang? Aset nggak punya. Karir biasa-biasa saja. Nikah juga belum. Terus mau jadi apa? Apa yang bisa dibanggakan?" Kakak, maafkan saya. Tetapi lebih baik kita tidak saling bicara selama tiga hari. Hihi!


Kurang lebih inilah daftar catatan saya dengan ucapan yang tidak mengenakkan di tahun 2014. Tapi apalah arti ucapan-ucapan seperti ini kalau tidak dijadikan springboard untuk menjadikan saya lebih baik. Penting untuk menjadi catatan saya pribadi adalah ketahuan kalau saya sebenarnya tidak lucu dan kurang humoris. Jadi saya harus  meningkatkan sense of humor dan sikap elegan dalam menanggapi sesuatu. Itu kenapa judul postingan ini nggak nyambung. Hahaha!

Optimizer, bagaimana cara yang efektif meningkatkan sense of humor kita? :D

Welcome 2015! eh, belum dateng ding . . . .



24 Desember 2014

Berkompetisi


Rupanya lama sekali saya tidak merasakan iklim kompetitif yang memacu adrenalin dalam event-event kepenulisan. Terdesak deadline, browsing, membaca ini itu, 'deg-deg'an menunggu pengumuman, sampai akhirnya tahu bagaimana hasilnya kemudian berkarya lagi dan seterusnya. Hal itulah yang bisa menstimulasi saya sampai seminggu bisa menulis beberapa tulisan. Waktu semangat-semangatnya, saya ikut kompetisi ini itu meskipun cuma berhadiah pulsa dua puluh ribu, sampai yang benar-benar bikin antologi yang diterbitkan. Wow! Saya seperti melihat diri saya yang lain.

Celetukan teman saya pada suatu hari >>>

Teman: "... berapa eksemplar ribuan kata yang dirangkai dalam tulisan indah yang sudah kau sebarkan? Sudah sejauh mana mewujudkan obsesimu?" (ini pertanyaan kesekian dalam dua bulan ini)

Saya: "Sampai pada niat." (jawaban enteng jika mau ngeles)

Teman: "Wujudkan dong!"

Saya: "Eksekusinya tidak mudah." #kakehan alasan (menemukan alasan buat ngeles)

Teman: "Kowe ki kakehan mikir tapi zero eksekusi. Jangan-jangan kamu menunggu aku melamar baru tenang mengeksekusi citamu?" (Beraninya dia bilang lebih dari sekali kalau saya zero eksekusi. Aaaaa...kk!! Tapi bener nggak sih?! Tuing!)

Saya: "!@#$%^&*()_+ +_)(*&^%$#@!"

Teman: "QqWwEeRrTtyyuuiiOoPp PpOOiiuUYyTtRrEeWwQq."

Saya: "[]\;',.//.,';\][{}|:"<>??><":|}{." (langsung kabur membuka-buka file-file lama yang penuh dengan sawang)

Percakapan tidak jelas ini membawa saya pada perenungan yang mendalam. Ternyata manusia itu makhluk yang kompetitif ya sejak sebelum dilahirkan. Kompetisi yang sehat bisa memacu munculnya hal-hal positif lain yang saya sadari bukan menjadi target saya dalam berkompetisi. Ini tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata, seperti bungah-nya seorang champion yang darahnya menggelegak oleh aura kemenangan.

Saat saya memulai sering juga pikiran-pikiran kecil melesak di kepala. Mirip nyamuk yang nguing-nguing lalu bermanuver dan CKIIIT!! Bentol jadinya. Sayangnya saya lebih sering tidak bisa menghindari pikiran seperti itu sehingga ah ini jelek, ah aku takut dianggap begini begitu, kalau tulisannya begini penulisnya pasti begitu, ah membosankan, ah yang begini orang nggak mau membaca. Hap! Dibuanglah tulisan yang susah payah diketik itu. Ctrl+A, DEL! Aaargh! Susahnya memulai lagi dari awal. Hihi, labil!

Optimizer, kapan terakhir memenangkan kompetisi bergengsi??

Oya, kalau belum tahu dan berminat mungkin ini bisa jadi alternatif kalau mau ikut. Cekidot! >> GREEN PEN AWARD


21 Desember 2014

Tik tik tik Bunyi Hujan


Sisa hujan semalam masih terlihat pada daun-daun kembang sepatu di halaman rumah. Terlihat juga pada kuntum mawar yang terangguk-angguk, tujuh sampai delapan tangkai. Meskipun cahaya masih remang-remang, saya bisa memastikan mana mawar yang berkelopak merah dan mana yang berwarna pink. Lampu di teras rumah sudah dimatikan sejak tadi. Itu berarti kehidupan di rumah sederhana ini sudah dimulai sejak awal hari.

Permukaan tanah yang tertutupi rumput jepang terasa dingin. Kaki saya berjingkat dan memijak lagi untuk mengakrabi rasa dingin yang menggelitik. Sejenak saya menengok ke dalam. Mengintip Fary yang masih bergelung dengan selimut. Saya sudah membangunkannya lebih awal. Tidak lupa menggodanya dengan gelitikan. Tetapi sampai saya merapikan mukena lagi, anak itu belum juga turun dari ranjang.

"Ayok bangun!" Saya berjingkat ke dalam. "Tante antar pulang sekarang. Nanti kamu harus masuk sekolah."

"Aku mau bobok sini lagi, Te. Pokoknya besok dan besoknya lagi dan besoknya lagi. Segini." Dia mengacungkan sepuluh jari tangannya.

"Iya, boleh.Tapi hari ini sekolah dulu. nanti setelah pulang sekolah ke sini lagi. Lihat, kemarin kamu nggak bawa seragam dan tasmu. Ayo bangun! Tante antar kamu pulang."

Menurut juga anak itu. Disuruh begini begitu, sampai akhirnya siap untuk pulang.

"Lho, kok sepeda motornya nggak dikeluarin?"

"Buat apa?"

"Tante kan mau nganter aku pulang?!"

"Wee! Siapa bilang kita mau naik motor?! Kita pulang dengan jalan kaki!"

"Aaaa! Nggak mau jalan kaki. Aku kan sekolah, nanti terlambat."

"Sayang, lihat ini masih pagi. Kamu tidak akan terlambat masuk sekolah. Yuk!" Dengan wajah protes dia menurut juga. Berjalan agak sempoyongan sambil membawa satu sachet susu coklat yang belum sempat diseduh.

"Tolong bawain, Te." Ucapnya sembari menyodorkan bungkus susu coklat. Auw, lengket! Pantas saja dia tidak mau membawanya. Rupanya isinya sudah berceceran kemana-mana.

"Bawa sendiri. Nanti bikinnya di rumah."

Dia menerima dengan ungkapan protes. Tapi mood-nya yang semula buruk karena diajak berjalan kaki sudah kembali baik. Saya ajak dia bercerita sambil berlari-lari kecil. Anak kecil memang cepat sekali melupakan kemarahannya. Kalau tidak, bisa-bisa saya menanggung risiko menggendongnya melewati tanjakan.
---

Hujan turun dengan tiba-tiba di tengah perjalanan. Saya mengajak Fary berteduh di emper sebuah toko. Hujan semakin deras. Fary sudah menghabiskan isi susu sachetnya. Saya berguman sendiri, bersyukur atas 'terbawanya' susu sachet itu.

Anak itu meminta saya mencarikan bahan untuk mainan perahu. Dan ketika tidak ada lagi yang bisa membunuh rasa bosannya, dia bertanya ini itu. Apakah sungai ada di langit? Lalu Allah ada di mana? Ah, iya saya jadi ingat. Saat dalam perjalanan adalah salah satu waktu yang baik untuk memberikan nasihat pada anak. Di udara terbuka. Karena pada waktu-waktu semacam ini, penerimaan anak sangat besar.

Sebenarnya saya tidak ingin menolak ketika bocah itu mengajak saya nekat menembus hujan. Tetapi lebih baik saya menahan diri. Meskipun saya lebih suka untuk tidak melarangnya melakukan ini itu, tetapi kadang-kadang juga harus ada penolakan untuk tidak melakukan sesuatu melihat dia masih dalam masa penyembuhan dari flu.

Tidak tahu dapat ide darimana, anak itu mulai menyanyi. Nyanyian yang sangat pas untuk suasana pagi itu. Tik tik tik, bunyi hujan di atas genting. Airnya turun . . . . Optimizer bisa melanjutkan? Tapi sepertinya tidak seperti lirik lagunya Fary yang berubah seperti ini. Iseng saya mengeluarkan telepon genggam untuk merekamnya diam-diam.

Tik tik tik tik tik tik tik tiiiii ... k
bunyi hujan jan jan
di atas genting ting ting

airnya turun tidak terkira
cobalah tengok ngok ngok ngok ngok
dahan dan ranting ting ting ting ting
pohon dan kebun basah se ting-ting


Lirik lagunya Fary cukup ampuh untuk membunuh bosan. Tapi akhirnya jadi kemana-mana.

"Emm...aku mau nyanyi lagunya manusia harimau. Bla ... bla ... bla ...."

"Menurut Tante lagunya nggak bagus. Nyanyi tik tik lagi saja. Tante ikut nyanyi. Tik tik tik ...."

Tetapi Fary sudah ambil suara lebih dulu. Dia memulai lagu manusia harimau versinya ketika saya juga mulai menyanyi. Jadilah kita konser kecil di emperan toko, berduet saya dan Fary dengan sembarang nada. Yang penting saya bisa mengganggu konsentrasinya. Hampir bersamaan dengan itu, baterai hape saya lowbat dan hujan mulai reda. Saya memutuskan mengajak Fary melanjutkan perjalanan.

Dia suka bermain-main, menghentakkan kakinya pada genangan air sambil tertawa-tawa. Sedangkan saya lebih suka menariknya minggir saat dia terjun ke air. Jadilah dia tertawa kecil, menggoda saya. Kita berlari, berkejaran seperti dua anak kecil.

Hujan turun untuk yang kedua kali sebelum saya dan Fary sampai di rumahnya. Saya dan anak itu berteduh lagi. Sampai akhirnya hujan tinggal menyisakan gerimis dan saya terpaksa menurutinya untuk terus jalan agar cepat sampai di rumah. Baru beberapa langkah, senyum kami terkembang. Kakak saya datang bak pahlawan membawa payung dan jas hujan. Tapi sama saja, rumah mereka tinggal beberapa langkah lagi.

Saya pamit pulang begitu kami sampai di rumah. Saya ingin segera pulang sebelum aktivitas di jalan mulai ramai oleh lalu lalang orang. Hujan kembali turun. Saya tidak bisa mengelak. Justru senang karena mendapat kesempatan bermain-main di bawah hujan.



*Ini adalah catatan dari liburan saya bersama Fary.
Selamat berlibur,Optimizer. Semoga mendapati hari yang menyenangkan. :)




3 Desember 2014

Ole Luka Kena Api


"Ole luka kena api."

Kalau kalimat ini saya ucapkan di depan adik bungsu saya, dia pasti akan terpingkal, saya jamin. Pasalnya ini mengingatkan kami pada sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasarnya dulu, meskipun tidak ada yang spesial sebenarnya. Hanya ya, kita merasa lucu saja mengingat kepolosan itu.

Pada awal bab di buku itu ada gambar-gambar seorang anak bernama Ole yang sembrono bermain api. Karena kecerobohannya atau mungkin karena belum mengenali bahaya api, Ole akhirnya terluka. Maka laik kalau judul babnya adalah "Ole Luka Kena Api". Saya menebak sembari mengingat-ingat, tujuan pembelajaran pada bab itu adalah mengenalkan manfaat dan bahaya suatu hal pada anak-anak.

Tidak kita tidak juga si Ole, seringkali merasa ingin tahu dan mencoba segala hal. Jika orang dewasa mengatakan api itu panas dan berbahaya (jika tidak bijak menggunakannya), mana pernah Ole percaya jika dia tidak pernah terluka karena api? Yang saya tahu, Ole pasti akan merasa penasaran dengan zat yang dinamakan api. Itu juga yang terjadi dengan adik saya. Mungkin pada waktu itu yang terbersit di kepalanya adalah pertanyaan kenapa sebatang kayu kecil yang digesekkan bisa menimbulkan sesuatu yang panas, tetapi tidak bisa dipegang dan orang dewasa mengatakan itu membahayakan.

Oleh karena itu Ole akhirnya mencoba, tetapi karena pemahamannya belum sampai pada titik itu, akhirnya tangannya terpercik api. Jadilah, Ole luka kena api. Ataukah sebenarnya si Ole ini sudah paham hanya saja dia ingin bermain-main? Kadang-kadang juga masih ada orang yang tahu, yang paham, tetapi kalau dilarang justru malah seperti di suruh.

Entahlah. Jangankan Ole yang masih anak-anak, orang dewasa yang jauh lebih paham tentang api saja bisa juga terluka karena tidak bijak dalam memperlakukan api.

#sigh


Selamat pagi, Optimizer! :)