30 Juni 2014

Sayang anak dong!


Saya hanya memperhatikan dari jauh ketika sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang ibu berhenti di depan gerbang sekolah. Anaknya turun dari motor, seolah kelihatan tidak sabar mendekati penjual gulali yang menunggu pelanggannya. Si anak mencomot dua batang gulali. Dari jauh saya tidak bisa menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi dari gesture sang ibu, saya menangkap pertanyaan semacam ini, "mau yang mana lagi?". Mata si anak terlihat berbinar, "benar boleh nambah lagi?" Akhirnya si anak memilih lagi batang gulali yang diinginkannya.

Saya hanya mengerutkan kening, benarkah gulali itu nanti akan habis dimakan sendiri? Tapi yang namanya anak-anak bukankah memang suka yang manis-manis? Kebanyakan begitu kan? Oh, berarti mungkin beberapa batang gulali yang digenggamnya itu akan habis dikonsumsi sendiri. Bahkan kalau si penjual itu memberikan semua gulalinya, si anak tadi tidak akan keberatan menghabiskan semuanya. Eh, tapi apa iya dia nggak akan sakit gigi? Atau mengurangi nafsu makan karena kenyang makan gulali, atau lidahnya jadi tidak bernafsu makan makanan lain selain gulali. Lagipula si anak itu masih kecil, kenapa tidak membeli satu saja lalu sisa uang jajannya ditabung?

Eh, tapi itu uang ibunya ya yang dipakai. Bukan uang saya selaku pengamat peristiwa di atas. Hehe. Saya juga mencoba berpikir dari sudut pandang ibu tersebut. Apalagi kalau alasannya bukan karena 'Sayang Anak"?! Tak segan orang tua memberikan uang saku untuk jajan di luar rumah. Kadang saya juga menemui orang tua yang juga tak segan memberi kesempatan kepada anaknya "mau jajan apa?". Tujuannya karena mau memanjakan anak. Toh, bukankah mencari uang itu juga karena untuk anak?

Beberapa saat setelah anak yang dibonceng ibunya itu mendapatkan gulali yang diinginkannya, anak-anak SD waktunya pulang sekolah. Mereka sama seperti anak pertama tadi yang sama-sama menginginkan gulali. Anak-anak itu rela antri mengelilingi penjual gulali di depan gerbang sekolah sembari cerewet di sana sini. Terlihat dari mulut mereka yang komat-kamit.

Saya jadi berpikir, kalau punya anak nanti, konsep hemat harus ditanamkan sejak dini. Yang namanya keinginan pasti selalu minta dipenuhi. Lagipula bukan berarti karena sayang anak lantas secara tidak sadar malah menjerumuskan anak.

Eh, btw bisa nggak ya saya seperti itu? Nah!



Seperempat Abad


Seperempat abad sudah. Kebetulan bertepatan dengan ramadhan 1435 H. Menengok ke belakang, apa yang sudah terjadi biarlah menjadi pelajaran berharga yang membuat saya lebih berhati-hati.

Di momen menjelang seperempat abad ini banyak sekali peristiwa tak terduga. Tapi hidup jadi makin hidup. Malah kadang-kadang saya baru menyadari kalau saya adalah orang yang 'demikian' karena ada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. (Terimakasih ya Allah, saya punya banyak pengalaman berharga.)

Setiap peristiwa adalah momen pembelajaran, begitu saja memaknainya. Karena jika berpikiran negatif, maka you are what you think, dan saya tidak mau hal-hal negatif yang saya pikirkan mengendap dalam diri saya lantas menjadi karakter saya.

Sebenarnya bertemu hari lahir bukan hal yang istimewa bagi saya. Hanya merasa diingatkan saja kalau setelah ini menjadi semakin tua, dan segala konsekuensi dari kata 'menjadi tua' juga harus saya lakoni. Lagi-lagi saya harus belajar.

Dari yang saya tangkap, berdasarkan sedikit pengalaman, menghadapi konsekuensi dari kata 'menjadi tua' itu ternyata sangat luar biasa. Ah, tidak bisa saya deskripsikan bagaimana 'luar biasa' itu diterjemahkan. Mungkin kesan pada tiap-tiap orang berbeda.

Kalau bagi saya pribadi pengalaman melakoni kosekuensi 'menjadi tua' (di sini tercakup pengertian menjadi dewasa) itu menyenangkan. Setiap momen saya menikmatinya, ketika pertama kalinya menjadi 'ini', menjadi 'itu', menerima 'sesuatu', memahami hal tertentu. aah, terlalu banyak.

Saya bersyukur atas anugerah ini. Semoga saya, dan juga kalian para Optimizer, tidak hanya berubah menjadi tua secara fisik saja. Pada sisa usia ini semoga menjadi kesempatan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal ke negeri yang kekal.

Alhamdulillah. #ngelap air mata

27 Juni 2014

Bagaimana Menjadi Orang Tua???




Dunia berputar begitu cepat ya. Tidak sadar anak-anak ternyata sudah berubah. Mulai dari hal-hal yang nampak secara fisik maupun yang tidak tampak, seperti karakter dan cara berpikir. 

Itu kali ya yang dipikirkan orang tua saat menatap wajah anak-anaknya, sehingga tidak sadar membuat airmata berlinangan ketika bertatap muka dengan anaknya. Barangkali ada rasa bangga. Setelah perjuangan mereka selama bertahun-tahun membesarkan anaknya, dan menjumpai anaknya sekarang telah sedemikian rupa menjadi seseorang yang jaauuuuhh lebih baik dari sebelumnya (dan mungkin melebihi harapan), wajar jika orang tua akan merasa bangga.

Barangkali juga ada rasa sedih. Betapa tidak, anak-anaknya bukan lagi si kecil yang imut yang bisa diajak bercanda. Kini sudah jadi ‘orang lain’ yang berpikir dengan cara yang lain. Yang dulunya boys sudah tumbuh menjadi a man, yang dulunya like a girls, kini sudah menjadi ladies

Tapi ya bagaimana lagi. Bukankah anak-anak dibesarkan agar mereka menjadi lebih baik. Emm, pasti bersamaan dengan itu mereka tetap berharap, anak-anaknya akan tetap menjadi anak mereka. Mereka memanjatkan do’a-do’a yang penuh harap agar anak-anaknya menjadi orang yang berbakti dan berguna untuk agama, umat dan bangsa. 

Barangkali di lubuk hati mereka, pernah sesekali merindukan, anak-anaknya adalah anaknya yang dulu, yang merengek meminta sesuatu. Yang rewel ini itu. Yang ternyata hal-hal itu membuat rindu.

Aiih, jadi ingin berderai. Apakah yang dirasakan Bapak Ibu ketika melihat kami? Ingin sekali menjadi anak yang berbakti, memberikan yang terbaik untuk mereka. Meskipun sejauh ini hanya bisa berdo’a dan berdo’a.

....

Bagaimanakah menjadi orang tua ketika anak-anak saya sudah dewasa nantinya? 

11 Juni 2014

Aku Memilih, Dia Menolak


Hiyaaa, berasa disindir nih saya. Dateng-dateng di sebuah event ternyata ada sebuah diskusi yang temanya nyindir banget. Nyindir apa nyindir? Yaah, buat yang merasa kesindir sih gitu.

Hari minggu kemarin saya iseng menemani senior jalan-jalan hunting ini itu. Pergilah kita ke pameran buku. Tak tahunya ada diskusi pranikah gitu. Badala, temanya itu!

"Itu, itu." Kata senior saya.

"Apa sih, Mbak?"

"Baca deh!"

"A..ku me..memilih, dia...me-no-lak. Hiyaa! Pas banget ini, Mbak."

Saya mencoba menge-zoom mata biar yakin kalau kalimat yang barusan saya baca itu benar. Ya benar, memang temanya itu. "AKU MEMILIH DIA MENOLAK.

"Kira-kira isinya apa ya? Ikut yuk!" Saya dan senior akhirnya mampir di tempat duduk peserta yang sudah disediakan panitia. Mari kita ikuti.

Pembicara mulai opening, bahwa wanita itu perhiasan dunia. Maka harus dirawat, dijaga biar terlindung. Nggak sembarang orang bisa menyentuh. Sebagai perhiasan juga, maka biasanya wanita itu dipilih. Sedangkan laki-laki itu memilih. Sebagai laki-laki, boleh memilih mana yang disukai. Nggak adil? Enggak, sebagai wanita juga boleh kok menolak. Asal... ya asal.

Nah, gimana kalau sewaktu memilih ditolak?

Ya harus siap, kata ustadz. Karena hanya ada dua jawaban yang pasti, IYA atau TIDAK. Kalau jawabannya IYA, maka baca hamdalah. Kalau jawabannya TIDAK, tinggal baca Allahu Akbar. Allahu Akbar terus cari yang lain gitu. :)

Akhirnya saya nggak sabar buat bertanya, gimana kalau yang memilih itu perempuan dan yang menolak itu laki-laki. Jawab ustadz begini, katanya sih sama aja. Maksudnya kalau ditolak ya Allahu Akbar, kalau diterima ya baca hamdalah.

Nah, bukannya perempuan itu cenderung emosional ya? Ada juga proses yang nggak jadi dan membuat si perempuan trauma.

Jawabannya sih begini, sedih atau trauma itu pilihan kita sendiri. Maka kalau ditolak itu sedih, berarti itu memperturutkan ego. Ego itu harus dilawan, dengan kata lain kita nggak boleh sedih. Masih ada kok yang lebih baik.

Eaaaa!Adem deh rasanya. :D


Sebenarnya masih banyak yang saya dapat dari mendadak ikut diskusi itu. Tapi biar saya simpen sendiri deh ilmunya. Lho?

Buat yang patah hati, KEEP MOVE ON!  :D