Aku benar-benar
menggunakan kalimat bijak sekaligus judul tulisan ini dengan makna yang
sebenar-benarnya―denotatif. Jadi aku tidak menggunakannya sebagai peribahasa
yang digunakan untuk mengkiaskan sesuatu. Buku yang kumaksud benar-benar buku―sebuah
novel tepatnya, yang menurut pendapat awalku, novel itu tidak bagus karena
sampulnya tidak menarik.
Novel yang bersetting
timur tengah karya Yasmine Khadra atau Muhammad Moulesseoul ―ini yang kuingat
saat mengeja kata Moulessoul, entah mana yang lebih benar di antara keduanya―barangkali
pernah Optimizer baca sebelum aku membacanya. Apakah Optimizer tahu mana ejaan
nama penulisnya yang lebih benar? Aku sedikit lupa. Oh ya, judul novel ini The
Attack―Sebuah Serangan. Sayangnya aku tidak mencatat penerbitnya dan
keterangan-keterangan lain novel ini karena keburu dikembalikan. Mungki kalau
Optimizer gugling akan menemukan info
yang lebih lengkap.
Sedikit info: sebenarnya setiap habis membaca buku, aku
ingin meresensinya dan membagi harta karun yang aku dapat untuk Optimizer. Tapi
apalah daya karena aku baru bisa menuliskan pengalamanku saja, yang kadang aku
bisa nangkep ceritanya, tapi kadang juga tidak. Jadi tolong harap maklum kalau
tulisan ini hanya uraian pengalamanku saat membaca novel The Attack. Bagiku
tidak masalah karena aku punya dokumentasi tentang apa-apa yang kudapatkan
meskipun tidak paham secara keseluruhan.
Awalnya aku tidak
begitu tertarik dengan novel ini karena beberapa alasan. Sampulnya tidak
menarik, font-nya juga tidak nyaman di mataku―padahal font di blog-ku lebih
parah, dan selanjutnya karena bukunya berat.
Eh, tapi entah kenapa
aku berubah pikiran. Novel itu akhirnya kuambil dari rak perpustakaan dan
menjadi daftar bacaanku selama minggu itu. Untuk memenuhi daftar pinjam buku
dari perpus? Entahlah. Yang penting novel itu ikut pulang. Titik.
Berhari-hari novel
itu hanya menghuni meja. Karena novel yang kupinjam lebih dari satu, aku
urutkan membaca dari novel yang paling menarik. Tapi, oh aku sudah bersusah
payah membawanya dari perpustakaan. Sudah menyempatkan pulang kerja lebih awal
agar bisa berlama-lama memilih buku. Belum lagi perjalanan ke perpustakaan pas lagi hujan. Jadi kalau akhirnya tidak dibaca buat apa? Lagipula bukankah misiku adalah selalu membaca
buku dan menulis―ini karena habis dinasihati Pak Hernowo dalam buku Mengikat Makna―mulai dari buku yang
disukai hingga buku-buku berat, dan mulai dari menulis tidak karuan sampai menulis yang benar-benar bagus. Nah, ini baru permulaan. Nasihat Pak Hernowo
menjadi titik balik. Mengapa disebut permulaan padahal aku suka membaca sudah
sejak lama? Karena sejak lama aku hanya ingin menyalurkan hobiku saja. Nah,
setelah mendapat nasihat dari bapak yang bisa banget menulis ini aku sudah
merumuskan “ambak” mengapa aku membaca, dan nanti sekaligus menulis.
Jadi berawal dari
titik balik ini, aku bertanya pada diri sendiri mengapa tidak mencoba untuk
mendalami? Apa salahnya membacanya sebentar? Apa dosanya kalau aku membaca
prolognya dulu. Siapa tahu aku akan tertarik untuk melanjutkan? Dan apa yang
terjadi?
Yeay! Aku menemukan hal-hal berikut ini.
Tokoh utamanya adalah
seorang dokter bedah, dokter Amin Jaafari, yang sekaligus suami dari seorang
wanita Palestina bernama Sihem. Dokter Jaafari adalah seorang warga negara
Israel ‘naturalisasi’. Mereka tinggal di Tel Aviv. Merasa hidup bahagia selama
ini. Hingga pada suatu hari berita mengejutkan menyapa dokter Jaafari karena
istrinya tercinta menjadi pelaku bom bunuh diri. Dokter Jaafari merasa
dikhianati dan disergap rasa ingin tahu oleh alasan istrinya meledakkan diri. Karena
peristiwa ini juga, dokter Jaafari diinterogasi. Perjuangan ‘mencari tahu’ ini
membuat dokter Jaafari depresi tinggi sebelum akhirnya dia menemukan jawaban. Pada
akhir cerita si dokter menemukan jawabannya.
Nah, tak banyak lagi
yang bisa kukatakan. Novel tersebut ternyata … bagus. JANGAN MENILAI BUKU DARI
SAMPULNYA! ^^v
Aku menemukan cara berpikir yang baru dari cara
Pak Khadra bercerita. Yasmine Khadra ‘tidak menghakimi’ tokoh-tokohnya dalam
bercerita. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, aku mengikuti cara berpikir
dokter Jaafari yang bertentangan dengan lingkungan sekitarnya dan pikiranku
sendiri. Karena Pak Khadra, aku menemukan teknik bercerita yang baru. J
Selain beberapa hal
di atas, aku juga mencatat beberapa poin penting: aku berpikiran terbuka, aku
tidak mudah menjustifikasi sesuatu dari wujud kasarnya, aku bersimpati pada
Sihem karena dia memiliki prinsip kuat, terlepas dari yang dilakukannya itu
salah atau benar menurut orang lain.
Nah Optimizer, coba
aku tidak pernah mengambil buku ini dari raknya. Dan tentu saja ada kalimat yang sangat menarik
bagiku dari novel ini, “…orang akan memberikan yang terbaik di saat yang
terburuk, yang belum tentu dilakukan saat dia menjalani yang baik dalam
hidupnya.”
Semoga pengalamanku membaca The
Attack bermanfaat. Lain kali aku masih ingin berbagi harta karun lagi. Dan
denger-denger, The Attack sudah difilmkan. Eh, apa aku yang telat baca bukunya? ^^v