30 Mei 2014

Ayu dan Ratu


Ternyata menghadapi suatu masalah itu berbeda antara orang satu dan yang lainnya. Ini sekedar gambaran saja, masalah proses ta'aruf yang gagal, ternyata ada berbagai tanggapan dari beberapa kepala yang berbeda. Sebut saja Ayu yang merupakan gadis berusia dua puluh lima tahun, diam-diam menyimpan harapan besar pada seorang laki-laki yang dahulu adalah teman satu sekolahnya. Ya, perasaan yang tersimpan cukup lama dan lumayan rapi.

Ayu pada akhirnya memberanikan diri mengutarakan keinginannya untuk memulai proses perkenalan lebih jauh dengan laki-laki yang diharapkannya. Selama proses itu dia menunggu dengan do'a-do'a untuk memohon yang terbaik. Dan akhirnya do'anya terkabul. Ayu diberikan jawaban yang terbaik bahwa laki-laki itu belum jodohnya di dunia dan akhirat.

Sebagai seorang perempuan Ayu merasa perlu berbagi dengan teman-teman yang dia percaya, termasuk Ratu, kakak tingkatnya yang memiliki selisih umur lebih tua empat tahun dari Ayu. Harap dicatat Ratu di usianya ini juga belum bertemu jodohnya.

Kegagalan proses itu wajar membuat sedih seorang Ayu. Kesedihan yang wajar. Dia berusaha untuk tidak berlarut-larut dalam kedukaannya. Dia mencoba bangkit, melakukan aktivitas dengan penuh semangat, menekuni hobinya yang beberapa waktu terlupakan karena hatinya dirundung cemas dan penasaran. Ayu menyibukkan diri dengan aktivitas bermanfaat, mengikuti forum-forum ilmu di luar jam kerja, dan sebagainya. Dia tetap ramah pada orang-orang yang ditemuinya. Meskipun tidak bisa tidak, tidak hanya sekali Ayu menitikkan airmata jika tiba-tiba selintas terpikir kegagalan itu. Tapi Ayu tetap Ayu, yang berusaha untuk menjadi perempuan terhormat, yang ingin tetap semangat, yang ingin menjadi perempuan cerdas, berwawasan luas dan bermanfaat untuk orang lain. Bersama waktu, Ayu berusaha menata hatinya agar ia tetap bahagia.

Ayu merasa cukup dengan jawaban laki-laki itu, yaitu bahwa pihak keluarga laki-laki belum merasa cocok dengan Ayu. Sebenarnya ada satu alasan lagi, yang konon Ayu akan tahu alasan yang terakhir ini dalam waktu cepat atau lambat. Ayu memutuskan tidak akan mengejar atau memaksa laki-laki itu menjawabnya.

Inilah yang membuat Ayu dan Ratu sangat berbeda.

Bagi Ayu, alasan yang dalam waktu cepat atau lambat akan diketahuinya itu  tidak mendesak untuk diketahui. Ayu khawatir jika dia mengetahuinya saat ini dia akan merasa jauh lebih buruk kondisinya dibandingkan dengan saat mendengar kata tidak untuk kelanjutan proses ta'arufnya. Namun bagi Ratu, alasan tersebut harus diketahui saat ini juga, MENDESAK. Bukankah hati Ayu sudah hancur? Kalau jawaban/alasan itu menyakitkan, lebih baik sekalian saja didengar sekarang. Kalau mau hancur, sekalian saja hancur hari ini. Tidak  perlu menunggu esok atau kapan. Bagi Ratu, (yang dianggapnya) penolakan itu adalah hal yang sangat menyakitkan. Ia merasa seseorang yang menolak itu harus mendapatkan "balasan" yang setimpal.

Saya sebagai Optimisma, ngeri juga mendengar tanggapan Ratu atas perkara ini. Ternyata beda kepala beda juga dalam menanggapi sebuah masalah. Ya iya ini memang pernah saya dengar teorinya, tapi benar-benar menemukan orang yang memiliki pandangan yang berkebalikan ya sepertinya baru kali ini.

Saya jadi berpikir jauh keluar itu. Mengapa Ayu dan Ratu berbeda? Tentu bukan dengan maksud mencari aib seorang Ratu, saya mencari tahu mengapa sikapnya bisa atos begitu, sangat emosional. Usut punya usut, dia pernah ditolak oleh seseorang dengan alasan yang, emm...masuk akal nggak ya? Yang saya dengar adalah karena dia berasal dari daerah yang konon karakter orangnya keras dan kasar. Ah, masa iya? Entahlah, saya tidak tahu.


Kalau saya pribadi sih lebih cenderung sepakat dengan Ayu. Sedih sih boleh, tapi kan nggak boleh lama-lama. Btw, saya juga sepakat sebenarnya sama Ratu, kita harus tegas, demikian yang saya tangkap. Tapi tidak lantas memiliki jiwa pendendam gitu kali ya. Eh, maksud saya dendam negatif lho! Kalau dendamnya positif versi Ayu yang kemudian menggunakan energinya untuk mengembangkan diri, ya ini sih sangat oke. Ah, belajar dari Ayu dan Ratu. Dua pandangan yang berbeda. Bagaimana ya sikap yang lebih bagus lagi?

26 Mei 2014

Saya Sungguh Menyesal




Kenapa saya merasa bodoh setelah menuliskan uneg-uneg saya lalu saya kirimkan ke orang yang bersangkutan? Saya juga bertambah menyesal setelah membaca postingan mbak leyla hana.

Awalnya saya merasa itu adalah langkah yang paling benar. Saya berniat baik untuk membuat hubungan saya dan orang yang bersangkutan tetap harmonis meskipun ada kejadian yang membuat kita berdua agak aneh. Sungguh niat saya baik. Saya sendiri berharap apa yang saya lakukan tidak tendensius.

Tapi apa yang saya pikirkan semalam justru jauh berbeda. Awalnya hati saya lega karena sudah berhasil mengirimkan pesan. Saya lega karena orang yang bersangkutan telah membacanya. Tapi setelah saya pikir ulang, saya sedikit menyesal,

MENGAPA SAYA SEBODOH ITU???????

Saya bingung ketika memiliki uneg-uneg dan harus saya ceritakan pada siapa. Saya tidak layak untuk mempublisnya di media sosial. Saya takut memperburuk suasana. Bagaimana jika orang yang bersangkutan membacanya lalu dia salah paham dan semakin memperburuk hubungan kami sebagai teman? Saya tidak mau kehilangan teman hanya karena hal sepele. Saya ingin tetap berteman dengan dia. 

Akhirnya saya hanya bisa menuliskan kebingungan saya di sini. Saya merasa sungguh bodoh! Mengapa saya kirimkan? Mengapa saya harus terburu-buru? Mengapa saya tidak menimbang ulang tindakan saya sebelumnya????

Saya benar-benar menyesal. Sungguh sangat menyesal. Sekarang ini tidak ada yang bisa saya lakukan selain mencoba menghibur diri saya sendiri karena sebenarnya saya berniat baik. Semoga orang yang bersangkutan tidak salah paham dan mengerti apa yang saya sampaikan. Saya tidak ingin kehilangan seorang teman.  

Saya menyesal -_-

14 Mei 2014

So how?



Emm, nasihat orang tua itu, konon, ya begitu-begitu saja. Nadanya klasik. Kalau menasihati yang sedang kena musibah bilangnya "Sabar ya, Nduk". Kalau menasihati seorang kakak yang sedang bertengkar dengan adiknya "yang gedhe mbok ya ngalah". Kalau kirimannya telat, "sabar ya, Bapak Ibu masih berusaha." Kalau sedang putus cinta (dan jarang-jarang sih yang mau curhat sama orang tuanya), "laki-laki/perempuan kayak gitu nggak usah ditangisi, masih banyak yang lebih baik". Kalau skripsi nggak kelar-kelar, "mbok dikerjakan yang serius biar cepat selesai".

Padahal kan inginnya sesuatu yang solutif. Kena musibah ya inginnya segera dapat pertolongan. Nggak harus mengalah terus meskipun jadi anak sulung, toh anak bungsu juga bisa salah kan. Siapa yang salah dialah yang layak kena marah. Terus untuk masalah kiriman, butuhnya uang bukan nasihat. Jadi kalau hari itu mau ngeprint setumpuk tugas yang harus segera dikumpulkan dan nggak ada uang, mana mungkin nasihat bisa buat ngeprint. Dan lagi, orang menangisi kekasih hatinya yang pergi kan berarti dia masih sayang, kenapa nggak boleh ditangisi? Kalau maunya begini terus ada solusi begitu, kan semuanya jadi simpel.

Hahaha, btw mana ada hidup yang simpel?!

Ya ... bagi orang tua yang sudah banyak makan asam garam barangkali sudah memiliki hati seluas samudera sehingga apalah itu hal-hal kecil, musibah, ujian kesabaran dan lain sebagainya tidak harus dihadapi dengan grusa-grusu. Mungkin bagi mereka sambil jalan pasti akan menemukan solusi, entah sekarang apa nanti. Karena solusi itu sifatnya pasti. Jadi orang tua itu filosofis juga ya, ada masalah pasti ada solusi. Ciyeeh, keren dah!

Tapi kan sebenarnya yang menghadapi masalah itu kita (saya), orang yang belum tentu memiliki hati seluas samudera layaknya orang tua. Jadi saya juga ingin mencoba-coba mengambil pilihan tertentu dan merasakan seperti apa konsekuensi atas pilihan yang saya ambil. "Dikandhani kok ora ngrungokne." Ah, bukankah kalau begini saya tidak dipercaya untuk menyelesaikan masalah saya sendiri?

Eh tapi ... bukannya orang tua itu cuma ingin yang terbaik buat anaknya? Iya juga sih!

Nah lho, kalau saya dapat nasihat,"mbok ya jangan kesusu keluar. Orang bekerja kan pasti capek, dimana-mana pasti begitu", terus saya harus bagaimana?

Nyammm!!! #nelenkueklepon