Ternyata menghadapi suatu masalah
itu berbeda antara orang satu dan yang lainnya. Ini sekedar gambaran saja,
masalah proses ta'aruf yang gagal, ternyata ada berbagai tanggapan dari
beberapa kepala yang berbeda. Sebut saja Ayu yang merupakan gadis berusia dua
puluh lima tahun, diam-diam menyimpan harapan besar pada seorang laki-laki yang
dahulu adalah teman satu sekolahnya. Ya, perasaan yang tersimpan cukup lama dan
lumayan rapi.
Ayu pada akhirnya memberanikan diri
mengutarakan keinginannya untuk memulai proses perkenalan lebih jauh dengan
laki-laki yang diharapkannya. Selama proses itu dia menunggu dengan do'a-do'a
untuk memohon yang terbaik. Dan akhirnya do'anya terkabul. Ayu diberikan
jawaban yang terbaik bahwa laki-laki itu belum jodohnya di dunia dan akhirat.
Sebagai seorang perempuan Ayu
merasa perlu berbagi dengan teman-teman yang dia percaya, termasuk Ratu, kakak
tingkatnya yang memiliki selisih umur lebih tua empat tahun dari Ayu. Harap
dicatat Ratu di usianya ini juga belum bertemu jodohnya.
Kegagalan proses itu wajar membuat
sedih seorang Ayu. Kesedihan yang wajar. Dia berusaha untuk tidak
berlarut-larut dalam kedukaannya. Dia mencoba bangkit, melakukan aktivitas
dengan penuh semangat, menekuni hobinya yang beberapa waktu terlupakan karena
hatinya dirundung cemas dan penasaran. Ayu menyibukkan diri dengan aktivitas
bermanfaat, mengikuti forum-forum ilmu di luar jam kerja, dan sebagainya. Dia
tetap ramah pada orang-orang yang ditemuinya. Meskipun tidak bisa tidak, tidak
hanya sekali Ayu menitikkan airmata jika tiba-tiba selintas terpikir kegagalan
itu. Tapi Ayu tetap Ayu, yang berusaha untuk menjadi perempuan terhormat, yang
ingin tetap semangat, yang ingin menjadi perempuan cerdas, berwawasan luas dan
bermanfaat untuk orang lain. Bersama waktu, Ayu berusaha menata hatinya agar ia
tetap bahagia.
Ayu merasa cukup dengan jawaban
laki-laki itu, yaitu bahwa pihak keluarga laki-laki belum merasa cocok dengan
Ayu. Sebenarnya ada satu alasan lagi, yang konon Ayu akan tahu alasan yang
terakhir ini dalam waktu cepat atau lambat. Ayu memutuskan tidak akan mengejar
atau memaksa laki-laki itu menjawabnya.
Inilah yang membuat Ayu dan Ratu
sangat berbeda.
Bagi Ayu, alasan yang dalam waktu
cepat atau lambat akan diketahuinya itu
tidak mendesak untuk diketahui. Ayu khawatir jika dia mengetahuinya saat
ini dia akan merasa jauh lebih buruk kondisinya dibandingkan dengan saat
mendengar kata tidak untuk kelanjutan proses ta'arufnya. Namun bagi Ratu,
alasan tersebut harus diketahui saat ini juga, MENDESAK. Bukankah hati Ayu
sudah hancur? Kalau jawaban/alasan itu menyakitkan, lebih baik sekalian saja
didengar sekarang. Kalau mau hancur, sekalian saja hancur hari ini. Tidak perlu menunggu esok atau kapan. Bagi Ratu,
(yang dianggapnya) penolakan itu adalah hal yang sangat menyakitkan. Ia merasa
seseorang yang menolak itu harus mendapatkan "balasan" yang setimpal.
Saya sebagai Optimisma, ngeri juga
mendengar tanggapan Ratu atas perkara ini. Ternyata beda kepala beda juga dalam
menanggapi sebuah masalah. Ya iya ini memang pernah saya dengar teorinya, tapi
benar-benar menemukan orang yang memiliki pandangan yang berkebalikan ya
sepertinya baru kali ini.
Saya jadi berpikir jauh keluar itu.
Mengapa Ayu dan Ratu berbeda? Tentu bukan dengan maksud mencari aib seorang
Ratu, saya mencari tahu mengapa sikapnya bisa atos begitu, sangat emosional. Usut punya usut, dia pernah ditolak
oleh seseorang dengan alasan yang, emm...masuk akal nggak ya? Yang saya dengar adalah
karena dia berasal dari daerah yang konon karakter orangnya keras dan kasar.
Ah, masa iya? Entahlah, saya tidak tahu.
Kalau saya pribadi sih lebih
cenderung sepakat dengan Ayu. Sedih sih boleh, tapi kan nggak boleh lama-lama.
Btw, saya juga sepakat sebenarnya sama Ratu, kita harus tegas, demikian yang
saya tangkap. Tapi tidak lantas memiliki jiwa pendendam gitu kali ya. Eh,
maksud saya dendam negatif lho! Kalau dendamnya positif versi Ayu yang kemudian
menggunakan energinya untuk mengembangkan diri, ya ini sih sangat oke. Ah,
belajar dari Ayu dan Ratu. Dua pandangan yang berbeda. Bagaimana ya sikap yang
lebih bagus lagi?