26 Desember 2014

Meningkatkan sense of humor


Melihat kembali ke tahun 2014 rasa-rasanya layak untuk dilakukan. Bukan hanya sekedar ikut-ikutan tren tahun baruan, eh meskipun memang iya. Hehe! Bukan ding! Tepatnya saya ingin mendokumentasikan apa saja yang ada dan sudah terjadi di tahun 2014 sehingga bisa menjadi, emm...minimal kenang-kenangan. Kalau tidak ya, untuk pijakan agar jadi lebih baik. Yahaha, sepertinya setiap tahun begitu-begitu mulu! Buktinya mana, Dear? Bukti perubahannya mana? #keplak diri sendiri

Okelah, saya sedang berproses.
#ngeles

Tetapi kayaknya kalau saya tulis semaunya dan semuanya, ini bisa jadi menuh-menuhi postingan. Jadi, baiklah saya hanya akan mengingat-ingat kapan saya mendapatkan an inappropriate remark (AIR) dari orang lain. Katakanlah pada kesempatan ini saya ingin memutar ulang peristiwa itu sekaligus menutupnya.

Mendapat an inappropriate remark (AIR) atas tindakan yang kita lakukan seringkali membuat suasana menjadi tidak nyaman. Bahasa Jawanya di-ece atau dihina. Tetapi sebenarnya lebih luas daripada dihina, karena menurut saya inappropriate itu bisa dalam bentuk meremehkan, merendahkan, mengejek, kasar, memojokkan, dan segala pengertian yang terkandung di dalamnya.

Sepanjang tahun 2014, saya mendaftar ada beberapa list AIR yang saya dapat. Seperti yang akan saya tuliskan dalam kesempatan ini. Ada yang diucapkan langsung pada saya, ada pula yang tidak langsung. Saya ingin meresponnya dengan cara yang lebih jenaka. Tetapi sayangnya waktu tidak bisa diputar ulang. Jadilah hanya ada tulisan ini untuk mengingatnya.

SATU! Saya pernah mendapat kesempatan berpartner dengan beberapa orang pada suatu instansi dimana manager instansi tersebut adalah pengajar di fakultas tempat saya dulu menuntut ilmu di universitas. Saya tidak pernah diajar oleh dosen yang satu ini karena beliau adalah pengampu mata kuliah di program studi sebelah. Oleh karena itu saya tidak mengerti betul bagaimana karakter beliau. Para senior di instansi tempat saya 'numpang ngamen' ternyata suka nggosipin si bapak manager saat jam-jam istirahat, saat makan siang, atau saat-saat senggang tidak ada pekerjaan. Mereka membeberkan "fakta" atau hal-hal yang dianggap fakta bagi mereka tetapi kebenarannya masih belum kita ketahui sepenuhnya. Hal itu yang membuat saya tidak sepakat dan merasa risih sehingga saya sering dingin menanggapi mereka. "Jika yang kalian katakan benar bahwa beliau seburuk itu, apakah salah kalau kita mengambil kata-kata positif yang diucapkan beliau? Toh, tidak semuanya buruk kan?" Karena saat ada pertemuan, seringkali bapak manager memberi motifasi meskipun kadang-kadang motifasi itu satire. Barangkali sindiran itu yang menyebabkan senior saya menjadi tidak suka pada manager kami.

Tetapi sikap dingin saya itu membuat saya merasa gerah. Giliran saya yang suka disindir oleh senior.

Sikap saya sebenarnya tidak ingin memihak siapapun. Sebagai seorang bawahan tentu saya harus menunjukkan rasa hormat pada atasan saya dalam batas-batas tertentu. Lagipula ucapan positif dari seorang bejat sekalipun bukankah jika itu sebuah kebenaran tidak mengurangi nilai kebenarannya?! Lagipula beliau adalah orang yang lebih tua yang harusnya sebagai seorang yang lebih muda kita bisa menunjukkan rasa hormat. Bukankah ada contoh dari para pendahulu jika orang tua itu harus dihormati dan ditaati?! Asalkan perintahnya bukan dalam rangka menyekutukan Yang Hakiki.

Akan tetapi pada kenyataannya hegemoni senioritas itu lebih kuat. Saya mending kabur. Hehe!

"Kalian kenapa rumit sekali setiap hari harus mencari "fakta" tentang bapak manager kita, kenyataannya kalian cuma butuh rupiahnya kan?", alih-alih menyarankan mereka untuk menunjukkan prestasi dan dedikasi. Hah? Ngomong tentang apa? Mana mungkin mereka nyandhak untuk membahas prestasi dan dedikasi????? Haha! Kenapa gantian saya yang 'menyengat' ya?! Pisss!


DUA! Sepertinya ini tidak terjadi pada tahun 2014. Datangnya juga dari senior saya. Ini berkaitan dengan buku-buku yang saya konsumsi. Pada suatu waktu saya iseng mem-posting gambar hasil jepretan yang berisi beberapa novel dan kumcer. Saya bersemangat memotretnya karena beberapa dari buku itu adalah hasil kerja keras saya atas kompetisi menulis, juga ada bingkisan buku dari sesama teman di komunitas menulis yang tinggal di seberang pulau sana karena saya memenangkan tantangannya. Kemudian saya jejer lalu saya foto dan saya bagikan di jejaring sosial. Seorang senior secara tidak langsung mengatakan saya childish karena menurutnya, pada usia saya saat itu sudah saatnya mengonsumsi buku-buku babon dan bukannya novel atau kumcer yang menurut dia sangat kekanakan. Haha! Mungkin ini efek suka pamer gitu kali ya?! Saya meyakini dia tidak sengaja untuk mengatakan itu. Tetapi saya merasa MJJ atau mak jleb jleb! "Kakak! Sesama anak kecil kita dilarang saling mencela!" *Sigh* Memang saya harus publikasi juga kalau saya habis baca komik. Eh, komik buku babon juga kan?! :p

TIGA! Menjelang lebaran saya pernah jualan kue sama pakaian. Itung-itung belajar wirausaha. E tapi ada juga ya tetangga yang iseng, "kamu sekolah tinggi-tinggi kok endingnya cuma jualan ya?" Hihi! Memangnya jualan itu profesi hina dina gitu apa?

EMPAT! "Nak, kamu ngajar di mana? Kok sekolah tinggi tapi tidak mengajar?" Hiyaa!! Memangnya profesi di dunia ini hanya ada pengajar saja? Eh, tapi jangan salah Optimizer. Guru itu profesi yang mulia. Bayangkan kalau tidak ada guru di muka bumi ini, saya juga nggak bakalan bisa sekolah. Tapi rasanya si nenek ini belum pernah belajar psikologi. Lho? Apa hubungannya? TIDAK ADA

LIMA! "Apa kamu sudah puas dengan hidupmu sekarang? Aset nggak punya. Karir biasa-biasa saja. Nikah juga belum. Terus mau jadi apa? Apa yang bisa dibanggakan?" Kakak, maafkan saya. Tetapi lebih baik kita tidak saling bicara selama tiga hari. Hihi!


Kurang lebih inilah daftar catatan saya dengan ucapan yang tidak mengenakkan di tahun 2014. Tapi apalah arti ucapan-ucapan seperti ini kalau tidak dijadikan springboard untuk menjadikan saya lebih baik. Penting untuk menjadi catatan saya pribadi adalah ketahuan kalau saya sebenarnya tidak lucu dan kurang humoris. Jadi saya harus  meningkatkan sense of humor dan sikap elegan dalam menanggapi sesuatu. Itu kenapa judul postingan ini nggak nyambung. Hahaha!

Optimizer, bagaimana cara yang efektif meningkatkan sense of humor kita? :D

Welcome 2015! eh, belum dateng ding . . . .



24 Desember 2014

Berkompetisi


Rupanya lama sekali saya tidak merasakan iklim kompetitif yang memacu adrenalin dalam event-event kepenulisan. Terdesak deadline, browsing, membaca ini itu, 'deg-deg'an menunggu pengumuman, sampai akhirnya tahu bagaimana hasilnya kemudian berkarya lagi dan seterusnya. Hal itulah yang bisa menstimulasi saya sampai seminggu bisa menulis beberapa tulisan. Waktu semangat-semangatnya, saya ikut kompetisi ini itu meskipun cuma berhadiah pulsa dua puluh ribu, sampai yang benar-benar bikin antologi yang diterbitkan. Wow! Saya seperti melihat diri saya yang lain.

Celetukan teman saya pada suatu hari >>>

Teman: "... berapa eksemplar ribuan kata yang dirangkai dalam tulisan indah yang sudah kau sebarkan? Sudah sejauh mana mewujudkan obsesimu?" (ini pertanyaan kesekian dalam dua bulan ini)

Saya: "Sampai pada niat." (jawaban enteng jika mau ngeles)

Teman: "Wujudkan dong!"

Saya: "Eksekusinya tidak mudah." #kakehan alasan (menemukan alasan buat ngeles)

Teman: "Kowe ki kakehan mikir tapi zero eksekusi. Jangan-jangan kamu menunggu aku melamar baru tenang mengeksekusi citamu?" (Beraninya dia bilang lebih dari sekali kalau saya zero eksekusi. Aaaaa...kk!! Tapi bener nggak sih?! Tuing!)

Saya: "!@#$%^&*()_+ +_)(*&^%$#@!"

Teman: "QqWwEeRrTtyyuuiiOoPp PpOOiiuUYyTtRrEeWwQq."

Saya: "[]\;',.//.,';\][{}|:"<>??><":|}{." (langsung kabur membuka-buka file-file lama yang penuh dengan sawang)

Percakapan tidak jelas ini membawa saya pada perenungan yang mendalam. Ternyata manusia itu makhluk yang kompetitif ya sejak sebelum dilahirkan. Kompetisi yang sehat bisa memacu munculnya hal-hal positif lain yang saya sadari bukan menjadi target saya dalam berkompetisi. Ini tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata, seperti bungah-nya seorang champion yang darahnya menggelegak oleh aura kemenangan.

Saat saya memulai sering juga pikiran-pikiran kecil melesak di kepala. Mirip nyamuk yang nguing-nguing lalu bermanuver dan CKIIIT!! Bentol jadinya. Sayangnya saya lebih sering tidak bisa menghindari pikiran seperti itu sehingga ah ini jelek, ah aku takut dianggap begini begitu, kalau tulisannya begini penulisnya pasti begitu, ah membosankan, ah yang begini orang nggak mau membaca. Hap! Dibuanglah tulisan yang susah payah diketik itu. Ctrl+A, DEL! Aaargh! Susahnya memulai lagi dari awal. Hihi, labil!

Optimizer, kapan terakhir memenangkan kompetisi bergengsi??

Oya, kalau belum tahu dan berminat mungkin ini bisa jadi alternatif kalau mau ikut. Cekidot! >> GREEN PEN AWARD


21 Desember 2014

Tik tik tik Bunyi Hujan


Sisa hujan semalam masih terlihat pada daun-daun kembang sepatu di halaman rumah. Terlihat juga pada kuntum mawar yang terangguk-angguk, tujuh sampai delapan tangkai. Meskipun cahaya masih remang-remang, saya bisa memastikan mana mawar yang berkelopak merah dan mana yang berwarna pink. Lampu di teras rumah sudah dimatikan sejak tadi. Itu berarti kehidupan di rumah sederhana ini sudah dimulai sejak awal hari.

Permukaan tanah yang tertutupi rumput jepang terasa dingin. Kaki saya berjingkat dan memijak lagi untuk mengakrabi rasa dingin yang menggelitik. Sejenak saya menengok ke dalam. Mengintip Fary yang masih bergelung dengan selimut. Saya sudah membangunkannya lebih awal. Tidak lupa menggodanya dengan gelitikan. Tetapi sampai saya merapikan mukena lagi, anak itu belum juga turun dari ranjang.

"Ayok bangun!" Saya berjingkat ke dalam. "Tante antar pulang sekarang. Nanti kamu harus masuk sekolah."

"Aku mau bobok sini lagi, Te. Pokoknya besok dan besoknya lagi dan besoknya lagi. Segini." Dia mengacungkan sepuluh jari tangannya.

"Iya, boleh.Tapi hari ini sekolah dulu. nanti setelah pulang sekolah ke sini lagi. Lihat, kemarin kamu nggak bawa seragam dan tasmu. Ayo bangun! Tante antar kamu pulang."

Menurut juga anak itu. Disuruh begini begitu, sampai akhirnya siap untuk pulang.

"Lho, kok sepeda motornya nggak dikeluarin?"

"Buat apa?"

"Tante kan mau nganter aku pulang?!"

"Wee! Siapa bilang kita mau naik motor?! Kita pulang dengan jalan kaki!"

"Aaaa! Nggak mau jalan kaki. Aku kan sekolah, nanti terlambat."

"Sayang, lihat ini masih pagi. Kamu tidak akan terlambat masuk sekolah. Yuk!" Dengan wajah protes dia menurut juga. Berjalan agak sempoyongan sambil membawa satu sachet susu coklat yang belum sempat diseduh.

"Tolong bawain, Te." Ucapnya sembari menyodorkan bungkus susu coklat. Auw, lengket! Pantas saja dia tidak mau membawanya. Rupanya isinya sudah berceceran kemana-mana.

"Bawa sendiri. Nanti bikinnya di rumah."

Dia menerima dengan ungkapan protes. Tapi mood-nya yang semula buruk karena diajak berjalan kaki sudah kembali baik. Saya ajak dia bercerita sambil berlari-lari kecil. Anak kecil memang cepat sekali melupakan kemarahannya. Kalau tidak, bisa-bisa saya menanggung risiko menggendongnya melewati tanjakan.
---

Hujan turun dengan tiba-tiba di tengah perjalanan. Saya mengajak Fary berteduh di emper sebuah toko. Hujan semakin deras. Fary sudah menghabiskan isi susu sachetnya. Saya berguman sendiri, bersyukur atas 'terbawanya' susu sachet itu.

Anak itu meminta saya mencarikan bahan untuk mainan perahu. Dan ketika tidak ada lagi yang bisa membunuh rasa bosannya, dia bertanya ini itu. Apakah sungai ada di langit? Lalu Allah ada di mana? Ah, iya saya jadi ingat. Saat dalam perjalanan adalah salah satu waktu yang baik untuk memberikan nasihat pada anak. Di udara terbuka. Karena pada waktu-waktu semacam ini, penerimaan anak sangat besar.

Sebenarnya saya tidak ingin menolak ketika bocah itu mengajak saya nekat menembus hujan. Tetapi lebih baik saya menahan diri. Meskipun saya lebih suka untuk tidak melarangnya melakukan ini itu, tetapi kadang-kadang juga harus ada penolakan untuk tidak melakukan sesuatu melihat dia masih dalam masa penyembuhan dari flu.

Tidak tahu dapat ide darimana, anak itu mulai menyanyi. Nyanyian yang sangat pas untuk suasana pagi itu. Tik tik tik, bunyi hujan di atas genting. Airnya turun . . . . Optimizer bisa melanjutkan? Tapi sepertinya tidak seperti lirik lagunya Fary yang berubah seperti ini. Iseng saya mengeluarkan telepon genggam untuk merekamnya diam-diam.

Tik tik tik tik tik tik tik tiiiii ... k
bunyi hujan jan jan
di atas genting ting ting

airnya turun tidak terkira
cobalah tengok ngok ngok ngok ngok
dahan dan ranting ting ting ting ting
pohon dan kebun basah se ting-ting


Lirik lagunya Fary cukup ampuh untuk membunuh bosan. Tapi akhirnya jadi kemana-mana.

"Emm...aku mau nyanyi lagunya manusia harimau. Bla ... bla ... bla ...."

"Menurut Tante lagunya nggak bagus. Nyanyi tik tik lagi saja. Tante ikut nyanyi. Tik tik tik ...."

Tetapi Fary sudah ambil suara lebih dulu. Dia memulai lagu manusia harimau versinya ketika saya juga mulai menyanyi. Jadilah kita konser kecil di emperan toko, berduet saya dan Fary dengan sembarang nada. Yang penting saya bisa mengganggu konsentrasinya. Hampir bersamaan dengan itu, baterai hape saya lowbat dan hujan mulai reda. Saya memutuskan mengajak Fary melanjutkan perjalanan.

Dia suka bermain-main, menghentakkan kakinya pada genangan air sambil tertawa-tawa. Sedangkan saya lebih suka menariknya minggir saat dia terjun ke air. Jadilah dia tertawa kecil, menggoda saya. Kita berlari, berkejaran seperti dua anak kecil.

Hujan turun untuk yang kedua kali sebelum saya dan Fary sampai di rumahnya. Saya dan anak itu berteduh lagi. Sampai akhirnya hujan tinggal menyisakan gerimis dan saya terpaksa menurutinya untuk terus jalan agar cepat sampai di rumah. Baru beberapa langkah, senyum kami terkembang. Kakak saya datang bak pahlawan membawa payung dan jas hujan. Tapi sama saja, rumah mereka tinggal beberapa langkah lagi.

Saya pamit pulang begitu kami sampai di rumah. Saya ingin segera pulang sebelum aktivitas di jalan mulai ramai oleh lalu lalang orang. Hujan kembali turun. Saya tidak bisa mengelak. Justru senang karena mendapat kesempatan bermain-main di bawah hujan.



*Ini adalah catatan dari liburan saya bersama Fary.
Selamat berlibur,Optimizer. Semoga mendapati hari yang menyenangkan. :)




3 Desember 2014

Ole Luka Kena Api


"Ole luka kena api."

Kalau kalimat ini saya ucapkan di depan adik bungsu saya, dia pasti akan terpingkal, saya jamin. Pasalnya ini mengingatkan kami pada sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasarnya dulu, meskipun tidak ada yang spesial sebenarnya. Hanya ya, kita merasa lucu saja mengingat kepolosan itu.

Pada awal bab di buku itu ada gambar-gambar seorang anak bernama Ole yang sembrono bermain api. Karena kecerobohannya atau mungkin karena belum mengenali bahaya api, Ole akhirnya terluka. Maka laik kalau judul babnya adalah "Ole Luka Kena Api". Saya menebak sembari mengingat-ingat, tujuan pembelajaran pada bab itu adalah mengenalkan manfaat dan bahaya suatu hal pada anak-anak.

Tidak kita tidak juga si Ole, seringkali merasa ingin tahu dan mencoba segala hal. Jika orang dewasa mengatakan api itu panas dan berbahaya (jika tidak bijak menggunakannya), mana pernah Ole percaya jika dia tidak pernah terluka karena api? Yang saya tahu, Ole pasti akan merasa penasaran dengan zat yang dinamakan api. Itu juga yang terjadi dengan adik saya. Mungkin pada waktu itu yang terbersit di kepalanya adalah pertanyaan kenapa sebatang kayu kecil yang digesekkan bisa menimbulkan sesuatu yang panas, tetapi tidak bisa dipegang dan orang dewasa mengatakan itu membahayakan.

Oleh karena itu Ole akhirnya mencoba, tetapi karena pemahamannya belum sampai pada titik itu, akhirnya tangannya terpercik api. Jadilah, Ole luka kena api. Ataukah sebenarnya si Ole ini sudah paham hanya saja dia ingin bermain-main? Kadang-kadang juga masih ada orang yang tahu, yang paham, tetapi kalau dilarang justru malah seperti di suruh.

Entahlah. Jangankan Ole yang masih anak-anak, orang dewasa yang jauh lebih paham tentang api saja bisa juga terluka karena tidak bijak dalam memperlakukan api.

#sigh


Selamat pagi, Optimizer! :)


26 November 2014

Menanam



Pak Tani yang menginspirasi ^^

"Duren kita kembang*, Mbak!" Kata adik saya sehabis pulang kampung beberapa hari yang lalu.
*berbunga

"Oya?" kata saya. Bukan berita penting sih! Tapi senang juga mendengarnya. Secara sudah bertahun-tahun yang lalu Bapak menanamnya dan baru sekali ini mulai kelihatan ada hasilnya. Jadi kan penasaran sekali, bagaimana memanen durian dari kebun sendiri. Apakah bunga-nya itu nanti akan jadi buah semua, atau malah rontok kena hujan, apakah buahnya nanti berkualitas, apakah apakah dan apakah.

Saya jadi ingat sama pohon rambutan yang saya tanam sendiri. Akankah pada waktunya nanti pohon itu akan berbuah sempurna? Haha, dirawat saja tidak. Saya malah sering lupa menengoknya kalau sedang pulang ke rumah. Hihi! Paling kalau sempat ibu akan bilang, "itu pohon rambutanmu", yang akan saya jawab dengan "ooh" saja.

Jadi teringat kata-kata orang tua yang bijak ini, "Sopo sing nandur bakal ngunduh". Siapa yang menanam, dia yang akan panen. Apakah itu berarti tidak dirawatpun apa yang kita tanam akan berbuah? Ya, berarti itu kabar baik untuk pohon rambutan saya. Hihihi!

Masa sih semudah ini?! Tetap dirawatlah ya, Sodara! Tapi memang bukan saya yang melakukannya.

Yeah Optimizer, orang menanam itu pasti berharap suatu saat bisa panen. Dengan memilih benih yang paling baik, tentunya karena ingin hasil yang terbaik. Meski dengan itu ada sedikit pengorbanan untuk memastikan tanamannya tidak diganggu hama atau terkena gangguan yang lain. Meski dengan itu juga si penanam harus menunggu sebelum akhirnya menikmati kerja kerasnya.

Selamat pagi, Optimizer! Selamat menjalani hari dengan penuh semangat! Semoga kita selalu menebar benih-benih kebaikan, sehingga pada saatnya nanti kita panen kebaikan juga. :)




23 November 2014

17 November 2014

Kena Getahnya


Pada suatu musim, menjelang pergantian hari, sebuah panggilan mampir di telepon genggam saya. Tidak begitu mengagetkan meskipun sudah terbayang eksekusinya tidak akan mudah.

"Bapak ingin kita berkumpul pada jam yang telah ditentukan."

Tidak mudah bagi saya untuk memenuhi "jam yang ditentukan" karena itu berarti harus beranjak pagi-pagi bahkan sebelum ayam berkokok. Hihi, agak sedikit berlebihan.

Kenapa harus di awal hari? Saya ingin memberondong makhluk tak berperasaan yang menghubungi saya di seberang sana. Tetapi urung karena saya tahu dia sekedar menjalankan tugas.
Baiklah, saya harus memenuhi panggilan itu esok hari kalau ingin mendapat jawaban.

@@@


Hari sudah berganti nama. Tidak peduli kabut masih merayap di atas tanah. Embun baru akan menguap dalam beberapa jam lagi. Saya sudah harus membelah jalan untuk memenuhi pertemuan pada jam yang telah ditentukan. Dan saya tidak terlambat. Justru harus menunggu personil yang lain hingga lengkap.

"Tahu alasannya kenapa pagi-pagi sekali diminta kesini?"

Saya menggeleng. Itulah yang ingin saya tanyakan. Hari sebelumnya saya mendapat jatah libur dan tidak tahu persis apa yang terjadi di tempat kerja dan partner-partner saya.

"Kau akan segera tahu. Tapi sebelumnya hubungi nomor ini dan tanyakan di mana dia sekarang!"

Itu nomor kontak Vivi dan setelah berkali-kali memanggilnya tetapi tidak tersambung, saya bisa meraba-raba apa yang telah terjadi.

@@@


Kami bertiga keluar ruangan dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Ingin sekali memberondong Vivi dengan seribu kalimat agar tidak mengulangi kesalahan yang jelas-jelas disengaja, yang membuat kami bertiga -kecuali Vivi, harus menanggung resikonya. Dia aman untuk sementara karena memilih tidak datang pada pertemuan ini.

Setelah menikmati liburan yang menyenangkan, lalu pagi sekali saya harus datang ke tempat ini untuk menjalani "pengadilan" atas kesalahan yang sebenarnya tidak saya lakukan, dan menemukan makhluk tidak kooperatif dalam tim saya. Aaaa ... pahit sekali.

Optimizer, have a nice day!
:)


25 Oktober 2014

Jalan Saja Terus


Sejak rumah beliau habis masa kontraknya, kini beliau pindah ke rumah yang berada agak di pinggiran kota. Sebenarnya tidak se-ndeso kampung halaman asal saya. Tetapi jalan menuju rumah baru beliau itu banyak dilewati oleh truk-truk besar atau mungkin karena daerah itu kurang perhatian dari pihak berwenang setempat, jadilah jalan itu berlubang dimana-mana.

Susahnya kalau malam hari. Sepanjang jalan itu tidak memiliki penerangan alias lampu jalan. Apalagi kalau musim hujan, lubang-lubang yang ada di badan jalan itu terisi air dan ya kalau tidak berhati-hati, bisa menyebabkan kecelakaan yang fatal.

Saya pernah terburu-buru mendatangi rumah beliau untuk suatu keperluan. Saya melebihi batas waktu yang dijanjikan. Betapa inginnya saya segera sampai di sana. Tapi ternyata kondisi jalan yang rusak itu tidak memungkinkan. Ditambah kendaraan padat yang memenuhi jalan, jadilah saya hanya pasrah memacu kendaraan tanpa semangat.

Akhirnya saya sampai juga di rumah beliau. Dijamu layaknya tamu, banyak makanan dan disediakan minuman. Saya pun bisa berjumpa dengan beliau, bercerita banyak hal. Ternyata saya baru tahu kalau tempat beliau beraktivitas setiap harinya melewati jalan itu pula.

"Tidak perlu ngebut kalau lewat jalan itu. Yang penting jalan terus saja. Nanti lama-lama juga sampai tujuan."

"Tapi kan bosan." Elak saya.

"Tapi kan tidak ada alternatif lain."

Iya, kalau saja ada jalan alternatif lain yang lebih baik, mungkin tidak perlu lagi lewat jalan itu. Tapi kan nyatanya tidak ada pilihan lain.

__________


Beberapa waktu berselang.




Hari ini jalan itu sudah lebih baik. Tapi kalau saya lewat jalan itu lagi (yang sudah lebih baik), saya pikir juga tidak perlu ngebut untuk cepat sampai tujuan. Jalan saja terus, pasti nanti sampai di tempat tujuan. Yang penting tetap hati-hati.

Kata-kata beliau itu masih terngiang di hati sampai sekarang, dan akan selalu saya ingat. Menuju rumah beliau seperti saya menjalani hidup ini. Jalan saja terus, maka pada saatnya pasti akan sampai pada tujuan. Terutama saat saya sedang bosan, penat dan tidak ingin melakukan apa-apa. Dengan merangkakpun tetap jalan saja terus, yang penting bergerak dari titik di mana sekarang berada. Dengan berjalan berarti bergerak. Dengan bergerak maka akan semakin mendekati tujuan.


Optimizer, selamat tahun baru 1436 H! Semoga Allah memanjangkan umur kita dalam kemanfaatan.



24 Oktober 2014

adzan antara ada dan tiada




Bersahut-sahutan suara adzan membuat ingin segera mengakhiri setiap aktivitas, menuju tempat wudhu lalu khusyuk dalam rakaat-rakaat sebelum diakhiri salam.

Di sini, itu hal biasa. Ada tiga masjid di dekat-dekat tempat saya yang selalu bersahut-sahutan jika waktu shalat tiba. Satu belum selesai, sudah disahut lagi dengan suara adzan yang satunya. Semarak.

Tapi,

Ibu: " Kemarin lingkungan kita dibuat geger sama si Fulan."


Saya: "Memang si Fulan berulah apa, Bu?"


Ibu: "Dia membuat geger karena jam empat pagi-pagi sudah adzan subuh."


Saya: "Lho, memang sekarang waktu subuhnya lebih maju kan?"


Ibu: "Tapi kan masih enak-enaknya orang tidur. Bapak-bapak guru pendatang yang tinggal di perumahan sekolah itu saja kalau adzan subuh nggak jam empat benar."


Saya: "Iya mereka pendatang, mana berani mereka membuat gaduh di kampung orang."


....


Jadi, jangan heran kalau di kampung saya adzan hanya terdengar pada saat maghrib saja. Kadang-kadang waktu isya' ada, kalau muadzinnya juga sedang tidak meriang. Lebihnya, kira-kira sendirilah selagi melihat jam dan posisi matahari. Jika sudah masuk waktu shalat, ya shalat segera. Kalau tidak, ya subuhnya menjelang dhuha, dhuhurnya menjelang asar, asarnya menjelang maghrib, dan seterusnya. Apalagi musim-musim tertentu airnya sedingin es.

Tapi seru Optimizer. Saya malah pengen tinggal di negeri-negeri yang seperti di desa saya itu. Hihihi. Kapan ya kira-kira?


Cantik, anugerah atau musibah?


Cantik itu anugerah. Tapi bagai pisau bermata dua, satu menghadap keluar, dan satu ujungnya siap menghunjam ke dalam. Itu berarti cantik juga bisa sebagai musibah.

Tapi siapa yang tidak ingin dianggap cantik?
Bahkan kebanyakan perempuan berlomba-lomba untuk tampil cantik. Ya tidak salah bukan? Itu sebagai salah satu cara untuk menjaga anugerah berupa kecantikan itu sendiri. Hem, menjaga bukan untuk yang lain.

Bagi yang cantik dan menyadari dirinya cantik tentu harus berhati-hati. Tentu saja yang merasa tidak cantik tapi sebenarnya cantik juga tidak kalah berhati-hati. Hei! Layaknya bunga, tahu kan masing-masing punya pesona sendiri-sendiri?! Saya katakan bunga di bawah ini cantik, tetapi bukankah ada ribuan bunga lain yang tidak kalah cantik? Hem, yang belum merasa cantik sadarlah kalau kamu cantik. Hihi!






Optimizer, kita harus sepakat ya kalau cantik itu tidak hanya dinilai secara fisik. Jadi kita harus sepakat juga kalau untuk mempercantik diri tidak hanya penampilan luar saja yang perlu kita perbaiki. 

Biar tidak jadi musibah, ya tetaplah cantik. Bukankah seperti ini sudah given?! Kehendak Allah gitu. Tapi tetap menjadi diri sendiri. Tetap menjaga adab sebagaimana peran yang kita miliki. Sebagai seorang makhluk/hamba, sebagai seorang anak, sebagai seorang manusia, sebagai seorang murid/guru, dan seterusnya, dan tentu saja sebagai seorang perempuan itu sendiri. 

Panduannya kan sudah ada, baik tertulis dalam kitab suci maupun tidak tertulis dalam norma keseharian kita di masyarakat. Eh, berasa sok tahu jadinya saya. Piss, Optimizer! Ini sekaligus untuk pengingatan saya pribadi. 

Dia 1: "WHY?"
Dia 2: "Ya, karena kepribadian kamu semakin membuatmu cantik."

Semoga kecantikan yang dianugerahkan pada kita tidak menjadi musibah.

Optimizer, keep smile! :)
Jum'at semangat!




18 Oktober 2014

Yang Khas Di Antara Dua Musim “penghujan”


Udara lembab, tanah becek, cucian tidak cepat kering, matahari jarang muncul, di wilayah tertentu dilanda banjir. Itu semua kurang lebih yang khas jika musim penghujan sudah datang ya Optimizer. Adakah yang tidak kamu sukai? Hehe!


kabut mulai turun


Ya untuk beberapa hal tertentu musim penghujan memang sedikit merepotkan kalau tidak pandai-pandai menyesuaikan diri.

Tapi kita tetep butuh air hujan ya Optimizer. Kalau bukan kita ya makhluk hidup lain yang ada di sekitar kita. Kalau tidak ada hujan, keseimbangan alam kita malah dipertanyakan.


Hujan rintik-rintik


Dibalik hal-hal yang tidak mengenakkan ketika musim hujan, ada hal-hal yang khas yang menjadi kenangan saya. Mencari jamur, menangkap laron, berangkat sekolah memakai sandal jepit, sering mati lampu, dan seterusnya.


  • Bagai cendawan tumbuh di musim hujan. Bukan cuma peribahasa saja, tapi cendawan memang tumbuh subur saat musim hujan. Mencari jamur yang tumbuh di kebun belakang rumah lalu dibawa pulang untuk dimasak.
  • Jika hujan terus menerus sepanjang malam, biasanya pagi hari laron akan keluar dari liangnya. Mereka beterbangan kemana saja sebelum rontok sayapnya lalu kembali lagi ke tanah untuk memulai lagi hidup berikutnya. Meskipun saya alergi dengan hewan yang satu ini, tapi tidak kapok-kapok juga ikut menangkapnya. 
  • Di musim hujan, lebih baik berangkat sekolah memakai sandal. Sepatunya dikantongi plastik dulu, nanti baru dipakai kalau sudah sampai di sekolah. Jadi sepatu dan kaos kaki tidak mudah kotor. Recommended untuk pejalan kaki. Hehe!
  • Sedihnya, kalau musim hujan di tempat saya itu sering mati lampu. Ya, beginilah susahnya tinggal di pegunungan.


Optimizer suka hujan? Konon hujan bisa meresonansikan masa lalu lho!

Selamat berakhir pekan! J




17 Oktober 2014

Yang Khas Di Antara Dua Musim “kemarau”


Saya kangen melihat pemandangan ijo royo-royo seperti pada gambar ini.



Pohon singkong, jahe, dan kacang panjang

Gambar ini saya ambil dari kebun di samping rumah kami, beberapa bulan yang lalu sebelum memasuki musim kemarau. Saat ini pemandangan seperti itu sudah tidak ada. Yang ada justru sebaliknya.

Sewaktu saya pulang ke kampung halaman bersamaan dengan hari Raya Idul Adha kemarin, tanaman di sekitar banyak yang layu, kecoklatan. Tanaman tidak segar seperti pada saat musim penghujan karena tidak cukup mengonsumsi air.

Jangankan air untuk menyiram tanaman, air untuk kebutuhan sehari-hari saja mencarinya membutuhkan perjuangan. Istilah dalam bahasa Jawa, nggoleke rekoso banget. Mencari air hingga ke sungai atau mencari sumber air yang masih mengeluarkan air hingga jauh ke daerah pedalaman. Bagi yang memiliki fasilitas,  bisa tertolong dengan memasang pipa air atau selang. Kalau tidak ya ngangsu, atau mengangkut air bolak-balik untuk disimpan di rumah.

Kalau ada sumber air, itupun harus berbagi dengan orang lain karena biasanya satu kedung/sendang/kali dipakai oleh sekelompok orang. Antri? Iya. Jadi dari mulai malam sampai malam lagi.

Waktu kecil, saya pernah ikut dalam barisan antrian mandi jam empat pagi. Di udara terbuka di pegunungan pada musim kemarau, mandi jam empat pagi. Saya juga heran mengapa waktu itu saya manut-manut saja digiring bapak ke kali, bukannya minta diambilkan airnya saja lalu mandi di rumah. Hahahaha! Brrrr!!!

Ada lagi yang khas sewaktu musim kemarau ini. Tumbuhan rimpang daunnya mengering semua. Jadi lupa dimana posisi menanamnya dulu. Saya yang tidak pandai bercocok tanam, diuring-uring ibu karena kelamaan mencari sebongkah kunyit untuk bumbu masak. Aih, memalukan!

Berikutnya adalah main layang-layang atau layangan. Biasanya lebih banyak dimainkan oleh anak laki-laki sehingga saya sendiri tidak punya kenangan khusus yang berhubungan dengan main layangan. Mungkin nanti ya, di masa depan, saya ingin membuat kenangan khusus bermain layang-layang. Hehe! Sekedar informasi saja, jangankan bermain layangan, menaikkan layang-layang ke udara saja saya tidak yakin bisa. Okelah, suatu saat nanti saya akan coba. ^^


Optimizer, apa lagi sih yang khas ketika musim kemarau?


** Jum'at semangat!! **



14 Oktober 2014

Nggak ada Jomblo yang Sakinah


Nggak ada jomblo yang sakinah, kata ustadz. Huaa Benarkah? Tapi benar juga mungkin ya? Ketahuilah Optimizer, meskipun saya berusaha menahan diri untuk tidak menanggapi, tapi hati siapa yang tidak dag dig dug saat menerima pujian setinggi langit, perhatian dan semacamnya? Hati saya tetaplah hati seorang perempuan, yang mudah jatuh iba dan kasihan. Hihihi!

Di: “Loe harus tega kalau nggak mau mem-PHP orang!”
Fi: “Gue cuma kasihan, Mak.”
Di: “Nggak usah mikir dia lagi mojok di kamar sambil nangis-nangis bombay!”
Fi: “Eh?”
Di: “Karena mereka lelaki, bukan pemain sinetron!”

Yahahahaha! Bukannya dia pernah alay juga?? Piss Di, habis ini gue jangan di-keplak. Please….

Optimizer, maunya saya sih bisa ramah ke semua orang, bergaul dengan siapa saja, nyambung diajak ngobrol apa saja. Hehe! Tapi urusan cinta masalah lain kali ya. Urusanya panjang dari dunia sampai akhirat.
Jadi man, nyulik lirik lagunya Melly Goeslaw nih,

Aku hanya ingin cinta yang halal
Di mata dunia juga akhirat
Biar aku sepi aku hampa aku basi
Tuhan sayang aku
Aku hanya ingin cinta yang halal
Dengan dia tentu atas ijin-Nya
….

Iya, saya jadi sepakat sama si ustadz. Kalau begitu saya nggak mau men-jomblo lagi. Ihihihi

Optimizer, have a nice day!

3 Oktober 2014

Titik Tolak


Pernah ya saking jengkelnya, saya biarkan adik ponakan saya makan hanya dengan nasi plus air garam. Mungkin kalau sudah besar nanti dia tahu hal ini, dia bisa saja memberi saya predikat “tante paling usil sedunia”. Hehehe!

Habis saya gemes karena pada saat itu dia tidak suka segala macam sayuran. Ada-ada saja alasannya. Sayuran hijau dia sebut “suket” atau dalam bahasa Indonesia berarti rumput, yang dengan kata lain yang dia maksud adalah pakan ternak.

Bahkan ketika di piringnya kecipratan secuil daun bayam, selama secuil daun itu masih kelihatan berwarna hijau, dia tidak akan doyan bahkan pernah “mutung” tidak mau makan hanya karena hal sepele itu. Makanya saya berusaha tega dengan membiarkan dia melahap nasi plus air garam. Mungkin sesekali dia perlu diberi “pelajaran”.


si kecil Fary

Tapi ternyata tidak selamanya dia tidak suka sayuran. Kabar baik ini sampai ke telinga saya karena dikabarkan langsung oleh pelakunya via telepon. Baru-baru ini saja.

Saya tanya kenapa sekarang suka sayuran padahal dulu tidak suka. Jawabnya, “kan dulu aku masih kecil, Te! Dan nggak tahu rasanya kalau sayur itu ternyata enak!” Beeeuuh Murid PAUD ini sudah bertingkah sok jadi anak gede sekarang. Tapi waktu saya konfirmasi ke kakak saya (mamanya dia), ada yang bikin saya ketawa geli karena alasan dia suka sayur pertama kali karena habis menelan permen karet. Sepemahaman dia, permen karet itu bisa membuat ususnya lengket sehingga biar tidak lengket harus sering-sering makan sayur.

Fary, keponakan saya itu, dengan makanan kesukaannya yang baru, membuat saya berpikir bahwa tidak selamanya orang berada pada satu kondisi yang itu-itu saja. Pasti ada perubahan. Meskipun dulu saya tidak terbayang bagaimana anak ini akan berubah menyukai sayur.

Perubahan itu dimulai dari sebuah titik yang namanya titik tolak. Kalau saya berusaha mendeskripsikan secara singkat, titik tolak itu seperti perjalanan yang semula lurus atau kondisi yang semula begini-begini saja, kemudian menemukan momen atau peristiwa yang menjadi batu loncatan untuk bertolak ke kondisi yang lain, yang berbeda dengan kondisi atau jalan lurus yang ditempuh sebelumnya.

Jadi bisa saja titik tolak ini adalah batu loncatan untuk berubah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Akan tetapi harap Optimizer catat, kita membahasnya di sini adalah titik tolak untuk berubah menjadi lebih baik saja.

Kembali kepada adik saya. Dia bertolak menjadi ‘suka sayur’ karena alasan yang sederhana menurut logika orang dewasa. Saya sendiri tidak tahu pasti. Jika nalarnya sudah jalan dan semakin memahami, apakah dia masih akan menyukai sayur atau tidak.

Nah, ini juga yang harus dipikirkan ketika bertolak pada kondisi yang berbeda dari sekarang. Bahwa kita berubah, harusnya bertolak dari pondasi yang kuat. Bukan asal-asalan saja, misalnya hanya karena ikut-ikutan. Bagaimana mungkin pondasi rapuh yang kita bangun padahal kita ingin berubah permanen menjadi orang yang baik hingga penutup usia. Akan tetapi kalau kita berubah awalnya karena terpaksa? Emm…, bagaimana ya? J

Meskipun sangat mungkin, orang berubah itu bertolak dari hal-hal yang tidak melulu besar. Orang bisa berubah hanya dengan hal-hal kecil, dari kebaikan-kebaikan ringan yang disebarkan orang lain, atau bisa juga karena membaca tulisan orang lain.

Siapa yang tidak ingin berubah menjadi lebih baik, Optimizer?!

Apakah Optimizer punya momen yang membuatmu berubah menjadi lebih baik? Coba ingat-ingat.


Selamat berakhir pekan dan Selamat Hari Raya Adha 1435 H.


27 September 2014

Beruntung Masih Bisa Ngumpul


Sore yang melelahkan.


Saya tergeletak ‘setengah pingsan’ di ruangan seperti kapal pecah, saat teman saya dari habis kuliah mampir untuk shalat maghrib. “Capek ya?” tanyanya. Tentu saja. Besok (hari ini) adalah hari wisuda adik saya. Jadi keluarga saya datang dari tempat tinggal kami. Saya yang sudah hafal ibu saya suka tidak betah tinggal di tempat lain, sibuk memikirkan bagaimana caranya agar beliau nyaman selama tinggal di sini.

“Seneng ya masih bisa ngumpul bareng?” suara Ami, teman saya, memecah hening.

“???”

TING!

Oh iya saya ingat maksud dia. Sejenak saya jadi speechless.

“Jangan begitu ah!” Jawab saya sambil memikirkan kata-kata berikutnya untuk menanggapinya. Padahal kalau sedang capek saya suka malas bicara.

Saya kan takut kalau sampai dia mewek. Saya sendiri orangnya tidak kalah mewek-an. Tapi kalau dihadapkan dengan orang yang sedang nangis, saya itu bingung minta ampun. Jadi sebisa mungkin saya mencoba untuk membuat suasana ‘terkodisikan’.

“Ambil hikmahnya saja ya.”

“Iya, pasti ada hikmahnya kok. Cuma kangen aja.”

“Doakan saja.”

“Tentu. Cuma ya…kelihatannya seneng aja masih bisa ngumpul-ngumpul.”

Ah, rasa capek saya tiba-tiba menguap meskipun belum semuanya. Saya tidak tahu harus melanjutkan percakapan ini bagaimana. Karena bagi saya dia sudah memahami bagaimana ‘ketidaklengkapan’ itu harus diterima. Tapi ya bagaimana orang dia sedang kangen. Kangen dengan seseorang yang masih hidup saja rasanya sangat ‘menggigit’, apalagi yang dia kangeni itu sudah pergi untuk selama-lamanya. Bagaimanalah kalau bukan hanya do’a-do’a terbaik yang dikirimkan?!

“Ya sudah, pulang sana! Nanti kemaleman.” Akhirnya kata-kata ‘usiran’ yang keluar.

Akhirnya teman saya pamit.

Belakangan saya baru merenungi apa yang dia cakapkan tadi. Betapa saya masih beruntung memiliki kedua orang tua lengkap sekaligus. Betapa enaknya saya masih bisa ‘menggelendot’ mereka saat hidup saya berada dalam tekanan. Saya juga kadang kangen dengan simbah saya yang sudah tiada, seperti Ami, teman saya tadi, merindukan ibunya.

Di dalam remang-remang senja itu, saya segera beranjak. Bersiap-siap menuju tempat penginapan bapak dan ibu, meninggalkan ruangan milik saya yang seperti kapal pecah, untuk menemani mereka karena malam itu adik saya ada acara di fakultasnya.

Optimizer, kadang tidak perlu hal-hal besar untuk merubah kita menjadi lebih semangat. Bagaimana denganmu?

Optimizer, pernahkah kamu tergugah oleh hal-hal kecil dalam hidupmu?

24 September 2014

Inspirasi Soko Kenalan


Iki kaping pindhone aku mosting tulisan sing nganggo boso Jowo. Sing kaping sepisan iki (NING KENE). Tulisan iki terinspirasi soko pertemuanku karo mahasiswa asing pirang dino kepungkur.

Sakwayah aku lungguh-lungguh ning nggone Kak Rin, aku ketemu karo mahasiswa asing sing kuliah ning kampus sampinge kampusku. Aku kenalan karo mahasiswa sing jumlahe telu, banjur ngobrol ngalor ngidul nganggo boso campur-campur. Soko obrolan kuwi mau aku oleh informasi, salah siji mahasiswa, sing cewek , asale soko Filipina, siji sing lanang dhuwur banget asale soko Ceko, terus siji lanang sing rodo gondrong asale soko Meksiko.

Soko fisike aku wes ngerti menowo cah lanang loro kuwi mau dudu wong lokal. Tapi pirang dino sakdurunge aku pernah kleru, tak kiro sing cewek kuwi dudu wong asing. Soale wajahe rodo-rodo mirip karo tonggoku. Hehe! Aku lagi sadar yen dheke dudu wong Indonesia wektu dheweke ngucapne “selamat siang” nganggo logat sing aneh. Terus tak takoni asalmu ngendi, bar kuwi aku lagi paham.

Ketemu mahasiswa asing menehi inspirasi utowo bayangan kanggone aku dhewe. Bocah lanang sing soko Meksiko kuwi wektu tak takoni njupuk jurusan opo, dheweke njawab njupuk jurusan pedhalangan. Aku mbatin, “wah calon dhalang.” Tapi opo iyo yen jurusane pedhalangan terus kabeh dadi dhalang? Durung mesthi kan yo?

Lha kowe opo iso boso Jowo? Takonku. Dheke geleng-geleng karo ngguyu. Yo iyo sih, mungkin iso sithik-sithik paling yo. Wong ning kene wae dheke lagi telung minggu iki. Tapi yo aku salut, bocah kuwi durung iso boso jowo wae wani njupuk jurusan pedhalangan. Berarti cah iki mesthi nduwe kekarepan gelem sinau. Lha yo kuwi to semangat sing perlu di duweni yen durung iso?! Sinau terus, sinau maneh, ora leren-leren.

Aku dadi soyo tambah semangat sinau boso asing. Biasane yo sinau, tapi yen aku bosen biasane tak tinggal nggarap liyane. Mengko tak baleni maneh yen atiku wes longgar. Hahaha! Ketoke koyo ora niat banget yo?! Niat sih, tapi yo jenenge mood kadang teko kadang lungo. Soale aku sinaune dhewe, otodidak, dadi tuntutan ben iso kuwi mung soko aku dhewe. Akeh sih wong sing ngalami koyo aku lan berhasil. Berarti iki ora iso tak nggo alasan aku mandeg gara-gara sinau dhewe ora ono koncone kan yo?! Hemm ….

Terus sing keloro, yen aku pengen cas cis cus nganggo boso asing, ora perlu isin-isin. Soale ngene, uwong-uwong ning sekitarku iki ora mbangun lingkungan sing nggugah semangat. Aku njajal ngomong siji nganggo boso asing kuwi mau malah diguyu. Dadine kan aku isin dhewe. Yen tak terus-terusne mengko aku dikiro wong gendheng. Hahaha! “Hemm…” maneh sing kaping pindho.

Jajal to sawangen utowo gatekno. Poro turis utowo wong asing sing nyang negorone dhewe iki kan ora kabeh lancar boso Indonesia, kan awake dhewe maklum to. Mosok awake dhewe terus arep ngguyu wong ngono kuwi. Mereka yo ora isin goro-goro boso Indonesiane kurang lancar.

Inspirasi liyane maneh opo yo?

Yo iki bagian soko cita-citaku. Aku pengen banget ketemu karo native speaker boso sing tak sinauni iki. Terus aku pengen ngobrol bareng, sinau bareng, lan jalan-jalan ning negorone kono bareng-bareng. Aku pengen weruh lan mempelajari secara langsung budhaya sing ono kono, sing wektu iki mung iso tak woco lewat buku-buku karo internet.

Optimizer seneng lan lancar boso opo wae? Sugeng nindakaken sedoyo aktivitas nggih! :D