2 Januari 2014

Berbagi Harta Karun (1): Jangan Nilai Buku Dari Sampulnya

Aku benar-benar menggunakan kalimat bijak sekaligus judul tulisan ini dengan makna yang sebenar-benarnya―denotatif. Jadi aku tidak menggunakannya sebagai peribahasa yang digunakan untuk mengkiaskan sesuatu. Buku yang kumaksud benar-benar buku―sebuah novel tepatnya, yang menurut pendapat awalku, novel itu tidak bagus karena sampulnya tidak menarik.

Novel yang bersetting timur tengah karya Yasmine Khadra atau Muhammad Moulesseoul ―ini yang kuingat saat mengeja kata Moulessoul, entah mana yang lebih benar di antara keduanya―barangkali pernah Optimizer baca sebelum aku membacanya. Apakah Optimizer tahu mana ejaan nama penulisnya yang lebih benar? Aku sedikit lupa. Oh ya, judul novel ini The Attack―Sebuah Serangan. Sayangnya aku tidak mencatat penerbitnya dan keterangan-keterangan lain novel ini karena keburu dikembalikan. Mungki kalau Optimizer gugling akan menemukan info yang lebih lengkap.

Sedikit info: sebenarnya setiap habis membaca buku, aku ingin meresensinya dan membagi harta karun yang aku dapat untuk Optimizer. Tapi apalah daya karena aku baru bisa menuliskan pengalamanku saja, yang kadang aku bisa nangkep ceritanya, tapi kadang juga tidak. Jadi tolong harap maklum kalau tulisan ini hanya uraian pengalamanku saat membaca novel The Attack. Bagiku tidak masalah karena aku punya dokumentasi tentang apa-apa yang kudapatkan meskipun tidak paham secara keseluruhan. 

Awalnya aku tidak begitu tertarik dengan novel ini karena beberapa alasan. Sampulnya tidak menarik, font-nya juga tidak nyaman di mataku―padahal font di blog-ku lebih parah, dan selanjutnya karena bukunya berat.

Eh, tapi entah kenapa aku berubah pikiran. Novel itu akhirnya kuambil dari rak perpustakaan dan menjadi daftar bacaanku selama minggu itu. Untuk memenuhi daftar pinjam buku dari perpus? Entahlah. Yang penting novel itu ikut pulang. Titik.

Berhari-hari novel itu hanya menghuni meja. Karena novel yang kupinjam lebih dari satu, aku urutkan membaca dari novel yang paling menarik. Tapi, oh aku sudah bersusah payah membawanya dari perpustakaan. Sudah menyempatkan pulang kerja lebih awal agar bisa berlama-lama memilih buku. Belum lagi perjalanan ke perpustakaan pas lagi hujan. Jadi kalau akhirnya tidak dibaca buat apa?  Lagipula bukankah misiku adalah selalu membaca buku dan menulis―ini karena habis dinasihati Pak Hernowo  dalam buku Mengikat Makna―mulai dari buku yang disukai hingga buku-buku berat, dan mulai dari menulis tidak karuan sampai menulis yang benar-benar bagus. Nah, ini baru permulaan. Nasihat Pak Hernowo menjadi titik balik. Mengapa disebut permulaan padahal aku suka membaca sudah sejak lama? Karena sejak lama aku hanya ingin menyalurkan hobiku saja. Nah, setelah mendapat nasihat dari bapak yang bisa banget menulis ini aku sudah merumuskan “ambak” mengapa aku membaca, dan nanti sekaligus menulis.

Jadi berawal dari titik balik ini, aku bertanya pada diri sendiri mengapa tidak mencoba untuk mendalami? Apa salahnya membacanya sebentar? Apa dosanya kalau aku membaca prolognya dulu. Siapa tahu aku akan tertarik untuk melanjutkan? Dan apa yang terjadi?

Yeay! Aku menemukan hal-hal berikut ini.

Tokoh utamanya adalah seorang dokter bedah, dokter Amin Jaafari, yang sekaligus suami dari seorang wanita Palestina bernama Sihem. Dokter Jaafari adalah seorang warga negara Israel ‘naturalisasi’. Mereka tinggal di Tel Aviv. Merasa hidup bahagia selama ini. Hingga pada suatu hari berita mengejutkan menyapa dokter Jaafari karena istrinya tercinta menjadi pelaku bom bunuh diri. Dokter Jaafari merasa dikhianati dan disergap rasa ingin tahu oleh alasan istrinya meledakkan diri. Karena peristiwa ini juga, dokter Jaafari diinterogasi. Perjuangan ‘mencari tahu’ ini membuat dokter Jaafari depresi tinggi sebelum akhirnya dia menemukan jawaban. Pada akhir cerita si dokter menemukan jawabannya.  

Nah, tak banyak lagi yang bisa kukatakan. Novel tersebut ternyata … bagus. JANGAN MENILAI BUKU DARI SAMPULNYA! ^^v

 Aku menemukan cara berpikir yang baru dari cara Pak Khadra bercerita. Yasmine Khadra ‘tidak menghakimi’ tokoh-tokohnya dalam bercerita. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, aku mengikuti cara berpikir dokter Jaafari yang bertentangan dengan lingkungan sekitarnya dan pikiranku sendiri. Karena Pak Khadra, aku menemukan teknik bercerita yang baru. J

Selain beberapa hal di atas, aku juga mencatat beberapa poin penting: aku berpikiran terbuka, aku tidak mudah menjustifikasi sesuatu dari wujud kasarnya, aku bersimpati pada Sihem karena dia memiliki prinsip kuat, terlepas dari yang dilakukannya itu salah atau benar menurut orang lain.

Nah Optimizer, coba aku tidak pernah mengambil buku ini dari raknya.  Dan tentu saja ada kalimat yang sangat menarik bagiku dari novel ini, “…orang akan memberikan yang terbaik di saat yang terburuk, yang belum tentu dilakukan saat dia menjalani yang baik dalam hidupnya.”

                Semoga pengalamanku membaca The Attack bermanfaat. Lain kali aku masih ingin berbagi harta karun lagi. Dan denger-denger, The Attack sudah difilmkan. Eh, apa aku yang telat baca bukunya? ^^v

2 komentar:

  1. perpus mana?
    Tapi, sometime, I do judge the book by it's cover.
    Aku sama Ikho si Meong, pernah nemu buku aneh. Masa', buku tentang desain grafis, tapi sampulnya kayak buku sastra jaman baheula. Sungguh meragukan. =="

    BalasHapus
  2. Di pusat, Enha. Aku juga barusan melakukannya. Eh, tapi kayaknya emang ada kok buku yang kavernya jelek dan isinya lebih buruk lagi. Emm, buku apa ya? #mikir

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)