29 Desember 2013

Mana Yang Lebih Ironis?

“Mempertahankan dinasti tidak hanya dilakukan para politikus maupun birokrat, namun pengemis jalanan pun juga demikian. Demi mencari sesuap nasi, para pengemis jalanan rela mempekerjakan anaknya agar dinasti tidak terputus. Kondisi ini yang saban hari menghiasi hampir di setiap jengkal traffic light ….” Radar Solo/Minggu, 29 Desember 2013


Ironisme anjal (anak jalanan) di tengah kampanye menuju kota layak anak menjadi  salah satu headline di koran lokal pagi ini (Minggu, 29 Desember 2013) . Berita di koran itu persis dengan yang saya temukan pada setiap malam saat saya baru pulang kerja, larut malam. Saya pulang dari tempat kerja sekitar jam dua puluh satu lebih, sehingga sampai di perempatan itu kira-kira sudah hampir setengah sepuluh malam. Bagi saya itu sudah larut malam karena sudah di atas jam sembilan. 

Malam itu gerimis cukup deras. Di sebuah perempatan, di tengah padatnya kendaraan, anak-anak itu masih beraksi di bawah guyuran hujan. Ada yang laki-laki, ada pula yang perempuan. Saya sering melihat anak perempuan yang gendut itu mangkal di perempatan tersebut. Mungkin anak itu yang namanya disebut dalam media cetak yang baru saja saya baca. Secara fisik dan penjelasannya sama. Saya jadi terpikir juga, duh anak perempuan pada jam segini masih keluyuran di jalan. Padahal saya sendiri iya. Hehehe. Saya jadi terpikir hal-hal lain juga yang mengerikan. Tapi “hal-hal lain” itu nanti saja saya ceritakan. Sekarang fokusnya adalah pada ironisme di jalan pada larut malam itu.

Mereka ‘jual suara’ beberapa detik. Tapi saya tidak memberikan serupiah pun. Entahlah mana yang ironis sebenarnya. Saya yang tidak mau mengulurkan tangan, yang menurut mereka mungkin egois atau peristiwa itu (mengemis larut malam di bawah hujan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi) atau yang mana.

Saya merasa kasihan melihat anak-anak jalanan itu. Namun pikir saya, bukan begitu (mengangsukan beberapa rupiah) cara untuk membantu mereka. Kalau hanya sekedar beberapa rupiah saya masih punya. Tapi saya tidak ingin, dengan beberapa rupiah yang saya berikan, mereka jadi berpikir bahwa akan ada terus orang yang mau mengulurkan tangan pada mereka sehingga mereka akan terus ‘mengabdi’ sebagai anak jalanan sepanjang hidupnya. Seperti yang dilakukan orang-orang tua mereka hingga anak-anak itu harus menjalani hidupnya di jalanan. Jika anak-anak itu punya pikiran yang sama dengan orang tuanya, generasi setelah mereka pasti akan disuruh melakukan hal yang sama. Mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dari koran yang saya baca, pemerintah telah berinisiatif mengelola mereka, mendata, memberikan pelatihan keterampilan dan akan mendampingi mereka. Namun ternyata, menyelesaikan atau kasarnya ‘mengusir’ mereka dari jalanan hingga mereka mau hidup normal ternyata tidak mudah. Ya…anak-anak itu harus diubah dulu pola pikirnya. Dan itu yang paling sulit dilakukan saya kira.


Saya sendiri sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat, sebenarnya tidak banyak yang saya lakukan. Saya hanya tidak memberikan rupiah itu saja, agar berkurang orang-orang yang ‘melestarikan’ mereka di jalan. Jika semua orang melakukan hal itu, saya pikir anak-anak itu dan orang tua mereka bisa berubah pikiran bahwa mengemis tidak lagi prospek untuk menghidupi mereka. Harapan saya, setelah mengetahui hal itu mereka akan berpikir lebih panjang untuk bersedia mengikuti pelatihan keterampilan dari pemerintah, misalnya. Dengan begitu mereka punya bekal untuk menghadapi masa depan. 

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)