28 September 2012

(bukan) Soulmeter

Meskipun saya bukan penulis, tapi saya ingin tetap menulis. Seperti tulisan-tulisan provokatif Tere Liye dalam fanspage-nya.


menulislah, karena yakin tulisan kita bisa merubah. menulislah, karena yakin tulisan kita bisa menghibur.menulislah, karena yakin tulisan kita bisa menemani.

kita tdk pernah tahu. boleh jadi di sana... di salah-satu gedung tinggi, apartemen2, padatnya kota hongkong, di sebuah kamar sempit, lelah setelah bekerja sepanjang hari, dimarahi majikan, kangen negeri sendiri, ada seseorang yg tertawa, menangis, tiba2 merasa begitu bersemangat, memiliki inspirasi, setelah membaca tulisan kita. salah-seorang saudara kita yg jadi TKW. blog, MP, notes kita menjadi penghiburan.

kita tdk pernah tahu. boleh jadi di sana... di kolong jembatan, kota yg panas, tanah dgn onta dan korma, di balik dinding kardus. lelah setelah berminggu terkatung menjadi imigran tdk diinginkan, ada seseorang yg tertawa, menyeka pipi, buncah oleh pengharapan, setelah membaca tulisan kita. salah seorang saudara kita yg jadi buruh imigran di arab, terusir seperti gelandangan, tdk ada yg mau mengurusi. blog, MP, wordpress, notes kita menjadi teman.

kita tdk pernah tahu. boleh jadi, ibu2 buronan besar itu, yg hampir dua tahun minggat, bersembunyi di negeri orang, selalu melepas kerinduan atas tanah air dari rumah kontrakannya, dengan membuka blog, MP, wordpress, notes kita. bahkan tdk sabaran kapan cerbung kita akan bersambung, hendak menyapa takut ketahuan lokasinya.

menulislah, dgn keyakinan bahwa itu bisa merubah, menghibur dan menemani. jangan pedulikan jumlah komen, jumlah like, jumlah pengunjung. menulislah! karena dunia ini akan jauh lbh baik jika semua orang pintar menulis--bukan pintar bicara.
 menulislah!


Sehingga saya ingin menulis dan terus menulis, bergabung dengan komunitas menulis, dan tulisan ecek-ecek saya pernah beberapa kali nangkring di antologi menulis.
Tapi, itu belum ada apa-apanya. Tidak ada yang bisa membuat saya jadi seorang yang profesional tanpa belajar dan sesekali membuat kesalahan.
Oleh karena itu, saya ingin menulis kembali (melanjutkan) cerita yang pernah saya rancang beberapa bulan yang lalu. SOULMETER pernah saya posting bulan Februari. Seberantakan apapun, sesederhana apapun, kisah ini akan saya lanjutkan. Yup! Bismillah. Mari menulis! :)

Tragedi Hilangnya Buku Oren


Judulnya sedikit berlebihan. Tapi itulah kata-kata yang saya temukan.

Baru saja saya sharing tentang sidang yang mau tidak mau harus saya jalani. Setelah sharing, saya memiliki elan lagi untuk kembali membuka file-file skripsweet yang sudah seminggu hanya dibolak-balik tanpa ada revisi. Ya, saya masih semangat empat-lima ketika pagi harinya, saya (lagi-lagi) masih mantengin monitor dan mengecek halaman satu persatu untuk memastikan bahwa saya tidak salah mengisi daftar isi.

Setengah jam dari waktu yang saya janjikan untuk bertemu pembimbing, draft yang saya utak-atik sejak tadi malam sudah berhasil saya print dan taraaa! Saya siap menghadap. Akan tetapi ... tunggu, saya melewatkan sesuatu. Buku oren saya ... dimana? Brak! Setumpuk draft yang baru diprint saya taruh dengan kasar, dan mulailah pencarian saya kesana kemari dengan mengobrak-abrik seisi kamar. Nihil! #Saya harus segera berangkkaaat!! 

Dengan menyeret langkah akhirnya saya berangkat. Sembari berharap buku itu bisa saya temukan kembali.

Tapi apa mau dikata, pembimbing saya belum mengizinkan saya untuk sidang. Masih menunggu buku itu ditemukan. Sepulang dari bertemu pembimbing, berkali-kali saya obrak-abrik kamar. Tetap saja nihil. Bahkan dua kali saya ke warnet dan ke rental untuk memastikan saya tidak meninggalkan buku tersebut di situ. Tetap saja nihil.

Ya ... bagaimana lagi??
Bagaimanapun saya sudah berusaha, meskipun hasilnya nol. Saya masih berharap buku itu kembali dan saya bisa mendapatkan izin untuk sidang.

26 September 2012

Selangkah Lagi


Mendadak merasa minder dengan karya sendiri. Kenapa? Ah, mana saya tahu. Hanya tinggal selangkah. YUP! SELANGKAH LAGI! Maju sekali lagi untuk mendapatkan legalisasi atas kata 'iya'-nya lalu mencari timing yang tepat untuk menuju meja 'pembantaian'. Ah bukan! Meja sidang .... Bukan juga! Emm, semacam tempat menyeramkan dimana aku berdiri selama beberapa menit dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Aigoo! Sebenarnya tidak terlalu menyeramkan bukan?! Aduh, istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kengerian itu. Tunggu, tunggu! Kenapa harus terjebak pada istilah kengeriannya?

Coba pikirkan sekali lagi. Pertama, pejamkan mata. Tarik nafas dalam-dalam. Adakah yang salah dalam langkah pertama ini. Tenang, tenang. Tenangkan dirimu. Kedua, coba jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Siapakah yang mengerjakan semua itu? SAYA! Siapakah yang lebih tahu susunan lembar-lembar itu? SAYA! Punya siapakah karya itu? SAYA! Lalu apa yang kamu takutkan dari proses yang seharusnya kamu jalani? WAJAH KETUS, PERTANYAAN YANG RUMIT, TANGGAPAN YANG 
BOMBASTIS, REVISI YANG BANYAK, ... ya saya tidak siap menghadapi kejadian beberapa bulan yang lalu. Saya pernah dilecehkan terkait desain yang saya buat. Nah, sekarang benarkah sikapmu untuk berdiam diri 'mendiamkan diri' dan karyamu terbelenggu dalam cara berpikirmu yang sempit itu?

Tentu saja TIDAK!
Tapi saya perlu waktu untuk berpikir.
.........................................................................

Hem, pulanglah! Pikirkan baik-baik tentang dirimu, masa depanmu, orang-orang di belakangmu dan semua yang berkaitan dengan itu. Lalu kembalilah ke sini dengan pikiran yang baru. Impian-impianmu yang tertulis dalam kertas itu, menunggu realisasimu dengan bergerak maju. Selangkah lagi, ayo maju! Maju!

21 September 2012

Surat untuk Bela


Bela, kalau punya kenang-kenangan indah dan berkesan susah ya buat dilupakan?? Kita sama. Apalagi di SMP beban pelajaran tidak seberat di SMA. Apalagi di SMP sudah punya teman-teman yang asyik dan saling memahami satu sama lain. Apalagi di SMP, punya guru-guru yang sayaaaaang banget sama murid-muridnya. Pokoknya nyamaaaan banget. Merasa disayang, merasa diperhatikan, merasa mendapatkan kebersamaan. Bukan begitu?

Nah Bela, ketika kita semakin gede, kita punya tantangan hidup yang semakin meningkat. Tantangan itu memang sudah seharusnya ada. Coba bandingkan adik kamu yang masih TK dengan kamu yang sudah SLTA, beda kan kebutuhannya? Beda juga kan cara berpikirnya? Tentu adik TK itu kalau minta mainan harus dituruti. Tidak peduli mamanya nggak punya uang, tidak peduli mainan itu mahal, tidak peduli mainan itu sebentar lagi cepat rusak. Pokoknya yang dia mau hanya mainan itu saja. Tidak peduli apa-apa di sekitarnya. Kita yang sudah SLTA tentu akan memikir ulang, apakah mainan itu bermanfaat bagiku atau tidak. Apakah uangku cukup untuk membeli mainan itu? banyak sekali pertimbangannya, hingga akhirnya kita memutuskan untuk tidak membeli mainan itu karena kita lebih butuh yang lainnya (beli buku misalnya).

 Bela, hehehe maaf jadi keman-mana. Intinya, sekarang posisi kamu sudah berbeda, kebutuhan kamu sudah berbeda. Biarlah kenang-kenangan itu tetap abadi dalam hati kita, yang bisa kita panggil kapan saja kalau kita sedang membutuhkannya. Tapi jangan terjebak pada satu kenangan itu sehingga kita tidak mau untuk mencari kenang-kenangan yang lain. Pada awalnya mungkin tidak betah berada di lingkungan baru, dengan orang yang baru, yang sama sekali tidak kita kenal (bahkan kadang pasang wajah angker). Akan tetapi, kita harus tetap berada di situ. Untuk apa? Untuk mengembangkan diri kita agar jadi manusia baru yang lebih baik. Nah, mengapa Bela tidak mencoba mencari kawan yang baik dan mulai mencintai mereka sehingga kalian bisa membuat kenang-kenangan baru seperti dulu di SMP? :)

Untuk adik-adik yang lain juga, yang belum betah dengan sekolah barunya dan tempat kos yang baru, cobalah lihat dirimu dan sekelilingmu, ada banyak hal baru yang harus dicoba lho! Mengikuti kegiatan ekstrakurikuler misalnya, bikin kamu tambah teman dan tambah ilmu. Saya dulu juga ikut kegiatan-kegiatan seperti Pramuka, pecinta alam, kegiatan Islam, PMR, Jurnalistik, dst. Nah, hal-hal itu akan membantu kita untuk menjadi orang yang baru.

So, Sekolah baru????? Asyik tauuuu!!! :D
Selamat berjuang Bela! ;)

18 September 2012

The Power of 2000



Istilah ini saya dapat dari adik tingkat yang satu kos dengan saya. Waktu itu dia pulang dari silaturahim ke kos yang lama. Kemudian oleh-olehnya yang berupa sekarung cerita itu dibagi-bagi dengan saya. Saya terima sajalah, meskipun hanya cerita. Siapa tahu saya mendapat ilmu atau inspirasi dari cerita itu.
Nah, ternyata niat saya menjadi pendengar yang baik tidak sia-sia. Saya jadi terinspirasi oleh istilah yang barusan saya tulis menjadi judul coret-coretan ini, The Power of 2000. Apa tuh?

Cerita punya cerita, adik saya barusan diceritani temannya tentang the power of 2000 ini. Seorang teman dari temannya teman kos saya itu dia rajin menabung. Setiap mempunyai lembaran uang 20.000 ia masukkan ke dalam celengan. Tidak peduli dua puluh ribuan yang masih baru atau yang sudah lecek. Pokoknya ia tidak bisa untuk tidak memasukkan selembar 20.000 ke dalam celengan.
Dari sini saya belajar, mengapa saya tidak mengambil inspirasi dari amal baik ini dan menerapkannya dalam kehidupan saya sendiri? Ya meskipun selama ini sebenarnya saya pernah melakukan hal itu dan belum ada yang berhasil.

Akhirnya dengan segenap keberanian saya memulai. Awalnya saya bingung untuk menyimpan uang saya nanti di mana. Kalau di dalam dompet, wah itu sih sama saja. Saya hanya akan menyimpannya sampai besok pagi untuk beli sarapan. Ya kalau tahan sampai besok pagi, dan sepertinya memang tidak akan bertahan hingga besok pagi. So, menyimpan dengan memakai dompet? Impossible!

Lalu saya beralih ke toples-toples bekas. Ah, tidak ada yang menarik. Lagipula toplesnya sudah usang dan tidak layak jadi celengan. Toples, lewat! Terpikir untuk beli. Adik saya juga baru beli celengan lucu warna ijo yang berbentuk hati. Tapi harganya lumayan juga. Belum-belum sudah beli celengan, bagaimana dengan uang yang mau ditabung? Ah, beli celengan baru akhirnya juga lewat. Saya harus kreatif, cari celengan yang murah, mudah, aman dan representatif. Hehe!

Aha, akhirnya ketemu juga. Sssst, barang antik yang akhirnya saya temukan tidak usah saya ceritakan. Pokoknya ini adalah salah satu barang antik koleksi saya. Dijamin murah dan ya, emm aman. Barangkali aman dari tangan saya nantinya. Dan sedikit bocoran, namanya adalah HAZELNUT.

Kenapa pakai nama itu? 
Saya suka aja, begitu jawabannya. Pokoknya namanya hazelnut dan tidak ada yang boleh protes.

Daaan, yiha! Akhirnya saya memulai aksi the power of 2000 di bulan September ini. Lembar pertama 2000an yang masih lumayan baru masuk ke dalam celengan! Plung!

Eh, 20.000 apa 2000 sih? Kok nol-nya kurang satu? Iya, kalau saya belum berani nambah satu nol lagi di belakanganya. Dengan kebutuhan saya untuk persiapan sidang skripsi ini, saya tidak muluk-muluk untuk nyelengi 20.000 per hari. Cukup dari 2000 dulu.

Lho, kalau 20.000 ribu, lima hari saja sudah dapat 100.000? Kan cepet nanti banyaknya.
Iya sih. Bener juga. Tapi baru memulainya saja saya sudah mengapresiasi diri sendiri. Jadi mulai dari yang kecil-kecil dulu saja. Saya ingin membuktikan pada diri sendiri kalau saya bisa konsisten dengan niat saya untuk menabung. Suatu saat nanti, barangkali kalau pendapatan saya perhari sudah melebihi 100.000 atau 500.000 saya berani menarget lebih banyak.

So, akhirnya hazelnut hanya menerima 2000 per hari? 
Iya, begitulah. Tidak per hari sih, ya setiap ada lembaran 2000an hazelnut akan mendapatkan jatahnya.
Kadang-kadang sih saya berat melakukannya. Kalau saya sedang sangat butuh dan tidak ada cara lain, hazelnut terpaksa tidak saya beri makan. Biarlah dia tunggu lembar 2000an keesokan harinya. 

Lalu, kalau nanti hazelnut sudah penuh kira-kira mau buat apa? 
Buat apa ya? Hem, saya punya banyak impian. Saya ingin suatu saat nanti hazelnut bermanfaat untuk membantu mewujudkan impian itu. Yang jelas hazelnut itu nanti manfaatnya bisa dirasakan oleh orang-orang yang saya cintai juga.  

ah, khayalan tingkat tinggi rupanya. 
Ehehehehe, bukan begitu. Saya hanya ingin belajar dulu, menata diri supaya saya bisa memetik buah dari apa yang saya tanam. Semoga niat saya dicatat sebagai salah satu kebaikan. Dan the power of 2000 benar-benar bermanfaat. Bismillah!

13 September 2012

Risma, Karisma dan Harapan

Ini pembicaraan kami yang kesekian tentang perjalanan dakwah di sekolah dan alumni Risma. Pembicaraan yang ujung-ujungnya hanya menghasilkan kegalauan dan pertanyaan 'apa yang bisa kita bantu?' hanya terjawab dengan 'kita bantu dengan doa'. Menyedihkan bukan?


Sejak menjadi alumni Risma, saya baru tiga kali (yang ingat) bertandang ke pertemuan alumni yang rutin diadakan pada bulan Syawal (H+5 Idul Fitri versi pemerintah). Itu pun karena ajakan 'paksaan' teman-teman akhwat yang dulu satu perjuangan berada di Risma. Kini mereka yang sering mengajak saya sudah memiliki kondisi yang berbeda (yang satu sudah menikah dan dalam keadaan hamil sehingga tidak memungkinkan untuk terlalu moving sedangkan yang satu lagi terjebak pada profesinya yang menuntut dia hadir selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu). Bayangkan, dia sudah hampir tidak bisa ditemui. Dan tanpa mereka, saya terlalu minder untuk berhadapan dengan para junior dan senior yang hadir dalam pertemuan itu. Sebenarnya bukan ditekankan pada mindernya, tapi lebih pada males nggak punya temen yang nyambung kalau pas pertemuan sehingga terkesan seperti bolang *bocah ilang*.


Kembali kepada kegalauan yang sering tidak terjawab itu. Sebenarnya baru saja  saya membaca note Karisma tiga tahun yang lalu (2009) yang isinya bahwa di Pacitan sendiri ada Karisma ikhwan yang akan mengadakan pertemuan rutin untuk menghubungkan Karisma yang di luar Pacitan dengan adik-adik Risma yang ada di Pacitan. Namun itu tidak pernah saya temui. Selaku alumni yang ada di luar Pacitan, saya tidak pernah menerima informasi apapun dari Karisma yang sering mengadakan pertemuan rutin di Pacitan itu. Atau jangan-jangan mereka sudah tidak rutin pertemuan lagi? Ah, semoga saja tidak. Semoga saja saya yang ketinggalan informasi sehingga tidak pernah tahu.

Lalu kegalauan kami berlanjut pada pertanyaan 'apa yang bisa kita berikan?'. Posisi kami saat ini berjarak jauh dengan sekretariat Karisma. Dan kami di sini dengan amanah kami yang juga tidak terbilang sedikit. Lagi-lagi itu juga belum terjawab. Teman saya kemudian berjanji akan menghubungi mahasiswa yang ada di Surabaya. Mengajak mereka untuk diskusi dan menyumbangkan pemikirannya untuk Risma. Saya  ingin sekali mengaktifkan forum IMMP.  Menggagas lagi kegiatan seperti kegiatan TMB sembilan bulan yang lalu. Pertanyaannya, Mungkinkah?

Entahlah, semoga yang sedikit ini setidaknya bisa menambah perbaikan ke depan. Karena berdasarakan kabar dari teman saya yang kemarin ikut halal bihalal, bahwasanya adik-adik pengurus Risma masih bersemangat untuk menuntut ilmu dalam forum-forum lingkaran kecil. Syukurlah. Dengan 'sisa-sisa' semangat itu, dan juga semangat kami yang se-visi, semoga bisa bangkit kembali masa-masa gemilang itu.

Harapan itu masih ada, bukan?