30 Oktober 2012

Ketika Alasan Menemukanmu


Menurut saya, alasan dibuat untuk melindungi diri, agar tidak terjebak pada kondisi tidak nyaman yang tidak kita inginkan. Kita kan tidak ingin melakukan itu, biasanya kita akan mencari-cari alasan agar kita bisa menghindar dan tidak jatuh dalam kondisi yang tidak kita sukai.

Banyak hal yang membuat kita merasa tidak nyaman. Baru-baru ini sih tentang skripsi yang saya alami. Kalau dieja satu-satu, list-nya bisa jadi panjaaaaaang melebihi kereta. Bagi yang pernah mengalami, ya begitulah ketidaknyaman-ketidaknyamanan itu bisa hadir kapan saja.

Nah, paska sidang hari Senin kemarin saya sedikit banyak jadi berpikir dan bertanya-tanya, mengapa skripsi tak kunjung selesai? Tentu saja ini berlaku hanya untuk yang skripsinya nggak selesai-selesai. Bagi yang lancar-lancar saja dan sepenuh hati dikerjakan sih, meluncur terus tanpa ada macet. Biarpun seribu halang melintang. Haha, hiperbolis!

Ya kembali pada pertanyaan tadi, mengapa skripsi tak kunjung selesai? Saya menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Berkaca pada diri saya sendiri, ketika proses mengerjakan skripsi, saya menemukan banyak hal yang membuat saya berada dalam kondisi tidak nyaman. Sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan, saya tentu tidak ingin berada dalam kondisi yang tidak nyaman. Akhirnya saya membuat alasan-alasan agar saya bisa bisa terhindar dan tidak jatuh dalam kondisi yang tidak saya sukai itu, meribetkan diri dalam mengurusi skripsi.

Tapi - seharusnya saya tulis TTTTAAAAPPIIIII biar lebih mantap - sadar atau tidak, alasan-alasan itu hanya akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa membunuh diri sendiri.

Ketika saya ke kampus dan teman-teman seangkatan sudah tidak ada yang bisa ditemui karena semua sudah lulus, MATI GUE nggak ada temen! Ketika oleh para junior ditanya ini itu, kapan nikah, rencana hidup, dan seterusnya ... MATI GUE anak-anak pada kepo! Ketika orang tua di rumah ngumeng-ngumeng ini itu dan minta 'memaksa' kita untuk segera lulus karena hanya membuang-buang duit padahal kita sendiri belum bisa cari duit dan besok lagi nggak akan dikasih duit kalau nggak segera lulus, MATI GUE! Ketika teman-teman bahkan adik tingkat sudah antri berderet-deret nikah dan kita belum lulus padahal belum diizinkan menikah kalau belum lulus dan niat hati ingin segera menikah (panjang banget kalimatnya), MATI GUE! Ketika, ketika, dan ketika. Hancur deh gue!

Itu kan loe, hidup gue nggak se-ekstrem itu kali! Bokap nyokap gue nggak peduli tuh sama skripsi gue. Lagipula gue udah bisa nyari duit sendiri. Nggak ada yang nuntut gue untuk segera colut dari kampus tercinta gue.

Baiklah, tulisan saya ini hanya berlaku untuk saya sendiri, dan mungkin makhluk-makhluk lain yang nasibnya mirip-mirip saya. Jadi kalau hidup Anda baik-baik saja berarti tidak termasuk dalam golongan ini. Hehehe!

Seperti apa yang saya rasakan, memang tidak enak mengurusi skripsi dan segala tetek-bengeknya. Duduk di depan ruang jurusan karena menunggu dosen yang tidak kunjung datang, mengerutkan dahi karena tidak begitu memahami teori setelah diaplikasikan pada penelitian, ngurusi administrasi yang mengharuskan kita muter-muter mirip setrikaan, amanah di sana-sini butuh perhatian, rapat ini itu yang menyita waktu dan pikiran, dan seribu hal-hal lain yang memicu kita untuk mencari alasan agar ketidaknyaman dalam rangka menyelesaikan skripsi itu tidak mampir dalam hidup kita.

Tapi teman, mungkin sesaat kita bisa fly dengan menemukan alasan untuk tidak mengerjakan skripsi. Bebas untuk sementara waktu. Untuk S-E-M-E-N-T-A-R-A waktu. Namun, tahukah kamu jika di lain waktu, alasan itu bisa membunuhmu? Seharusnya ada yang mengatakan ini ke saya jauh-jauh hari ketika saya meninggalkan skripsi untuk waktu sekian lama. E, eh, kalau tidak salah sepertinya memang ada yang pernah bilang seperti ini. Tapi efeknya hanya nol koma sekian persen ke dalam hati saya yang paling dalam. Hyaa!! Saya merasa bersalah akhirnya. Kalau pada akhirnya nasihat mulia ini saya abaikan, mungkin pada saat itu saya sedang khilaf. Ihihi, cari alasan lagi.

Tapi tetap ada hikmahnya juga sodara-sodara. Dengan kata lain, sebenarnya motivator terbesar dan terhebat bagi diri kita adalah kita sendiri. Nggak peduli orang lain jadi provokator sampai berbusa-busa, semua kembali pada diri sendiri pada akhirnya. Makanya kalau ingin membangun suatu bangsa, dimulainya dari memperbaiki diri sendiri dulu. Sedikit OOT, tapi saya kira masih nyambung. Semua berasal dari hati. Cie, saya tidak mengira kalau saya sebijak ini. #bagi yang mau muntah silakan ke belakang! Ceqiqiqiqiqi!

Jadi tetap, untuk menyelesaikan skripsi dan membunuh alasan-alasan yang tidak masuk akal itu, kembalinya pada niat yang sungguh-sungguh. Ketika alasan menemukanmu, segera kembali pada niat dan mulailah bergerak untuk melaksanakan. Hal ini juga berlaku untuk proses revisi (ngomong sama diri sendiri). Paling tidak saya sudah menemukan kesalahan saya. Tulisan ini juga sekaligus sebagai prasasti yang bisa saya baca sewaktu-waktu jika saya mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya. Tapi jangan lah ya! Masa dua kali masuk ke lubang yang sama. Tidak belajar dari kesalahan sama sekali. Apa gunanya coba menasihati orang lain juga?! Grzhzzzzzzz!!! Iya, saya mengamini kalau ngomong itu lebih enak daripada menjalani. :|
Selain itu, mencari-cari alasan tidak berlaku juga untuk hal-hal kebaikan yang lain. 
#NtMS ≪≪ di bold ben cetho.

Yaa, tulisan saya jadi terlalu panjang deh!
Saya minta maaf untuk yang tidak berkenan dengan tulisan ini. Sekali lagi saya hanya sedang menulis pengalaman saya pribadi dan tidak berniat untuk menyinggung siapapun. Jadi yang kebetulan nyasar membaca tulisan ini, tidak perlu tersinggung atau sakit hati. Piiiisss‼!

27 Oktober 2012

Rum, Mari Merenung Sejenak

Apa mengeluhmu menyelesaikan masalah? TIDAK!
Mengeluh membawamu ke suasana/kondisi yang lebih baik? TIDAK!
Berpangku tangan atau kabur dari kondisi sulitmu sekarang lalu ketika kamu kembali kondisi sulit akan lebih baik? SIAPA YANG MENJAMIN??!!!!
Dear, 
Benarkah dengan kembali pada masa lalu yang membuat kita tenang, aman, nyaman dan tidak mempunyai masalah adalah pilihan terbaik?
Dear,
tahukah kamu bumi akan terus berputar dan baru berhenti ketika tiba hari kiamat?
Begitu juga hidup kita.
Masa lalu adalah masa lalu. Walaupun itu menyenangkan, tidak akan pernah bisa kita meraih masa lalu. Karena hal yang paling jauuuuuuuh dari kita adalah MASA LALU.
Dear, 
Mengapa harus mengeluh dengan kondisi tidak enak yang kamu alami sekarang kalau itu bisa membuatmu menjadi manusia yang lebih baik. 
Sadari Dear, 
Posisimu saat ini sudah lebih baik daripada ketika kamu masih anak-anak dulu, walaupun posisi sekarang belum tentu seenak dulu.
Lalu kamu masih ingin mengeluh, Dear?
Hemm ... mungkin kamu harus berpikir dua kali dulu sebelum melakukannya lagi. 
Dear,
mari merenung sejenak.
♥ you, Dear ....

26 Oktober 2012

Namamu Selalu di Hati


Ini bukan judul roman picisan. Juga bukan judul FTV ataupun drama melankolis. Saya hanya sedikit membuka catatan lama. Baguslah kalau nanti bisa memberi inspirasi. Tsk, padahal saya bukan motivator macam Pak Mario Teguh.

Saat menulis ini saya teringat perjalanan hari Minggu kemarin. Ehm, di atas motor berkecepatan 70 km/jam, tiba-tiba teman seperjalanan saya bicara, yang terdengar di telinga saya begini, “Sorry ya Ndut, tahu nggak kamu kuajak jalan-jalan karena apa? Karena aku lagi pengen refreshing. Kamu pasti nggak akan percaya, aku lagi suntuk gara-gara aku cemburu sama seseorang!”

Motor saya pelankan. Saya beri kesempatan Ping, teman saya itu, untuk mengoceh semau yang dia suka. Biar semua kejengkelan di hatinya dia keluarkan. Karena bagi saya, enaknya orang curhat itu ya didengerin. Hem, mengalirlah semua cerita. Dari Matesih sampai Cemoro Sewu. Bisa kebayang kan panjangnya kalau di tulis? Tunggu dulu, lanjutannya masih panjang sampai berjam-jam nungguin penjual bakso di Cemoro Sewu sana, sampai turun ke Pasar Tawangmangu, sampai sejaman di atas jembatan penyeberangan depan terminal Tawangmangu, sampai menunggu hujan reda di warung makan. Intinya tentang perasaan.

Iya deh, iya. Saya mengerti apa yang kamu rasakan kok, Ping. Bukan berarti saya tidak pernah merasakannya. Justru karena saya pernah tahu rasanya sehingga saya mau menjadi pendengar yang baik untukmu. Ceile, kalau dia membaca tulisan ini, paling dia cengar-cengir. Kalau nggak, berarti saya bersiap kena bogem mentah. Hihi! Ping, izinkan kisahmu kutulis biar menginspirasi banyak orang.

Kembali ke roman picisan dalam catatan lama.

Saya masih punya catatannya di diary yang bertumpuk di sudut kamar. Hal buruk? Bukan. Saya mengaguminya, sama seperti anak-anak muda di belahan bumi yang lain ketika mereka mulai beranjak dewasa dan menyukai lawan jenisnya. Maka mengalirlah semua tentang sosoknya. Lazuardi. Kadang biru, kadang mendung, kadang panas, kadang hujan, kadang berawan. Ya begitulah warna-warnanya, menghiasi lembar-lembar kehidupan saya dan diary kesayangan saya.

Jadi kalau Ping tadi bilang sedang cemburu, ya pastinya saya juga pernah merasakan bagaimana pahitnya ketika Lazuardi digandeng beberapa teman-teman perempuan saya yang jauh lebih innocent daripada saya. Meskipun yang saya tahu Lazuardi bukan tipe orang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Lagipula bukan salah Lazuardi kalau dia popular. Hehe!

Tapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengetahuan saya, tentunya nggak boleh dong saya terlalu lebay dan mencari-cari alasan agar saya selalu memikirkan Lazuardi. Hidup saya kan sangat berarti, buat apa berkutat pada orang yang saya saja tidak tahu apakah dia pernah memikirkan saya? Tsk!

Untungnya saja, di ujung cerita Ping selama perjalanan hari itu, dia sudah menemukan pencerahan sebelum saya cerita tentang Lazuardi.
“Tapi Ndut, kata seniorku gini, buat apa Ping kamu memikirkan orang nggak jelas kayak gitu? Kamu terlalu istimewa untuk orang seperti dia.”

Saya senang Ping mendapatkan pencerahan akhirnya. Paling tidak dia berpikir dua kali untuk patah hati dan melakukan hal-hal konyol dalam hidupnya. Saya juga bersyukur pada akhirnya saya tidak lagi berkutat pada Lazuardi.

Dari sini saya berpikir kalau-kalau saya bisa membantu teman-teman saya yang seringkali mengalami hal yang sama, bahkan lebih parah. Miris rasanya ketika mendengar semacam ini, Awan kan sekarang tidak lagi beramanah karena kasus VMJ. Ada juga, tahu nggak sih Samudera sekarang mengundurkan diri dari organisasi karena skandal dengan bawahannya. Lho, kamu nggak tahu kalau Azzura, Surya, Bulan, Rose, Jasmine, Bayu, Bintang, dan lain-lain itu juga terjerat kasus serupa? Astaghfirullah. Jadi sedih. Semoga saja mereka mendapatkan pencerahan seperti yang saya dan Ping dapatkan.

Pada akhirnya Ping mengirimi saya pesan pada malam harinya. “Minta do’a terbaiknya ya, Ndut. Biar sama Allah juga dikasih yang terbaik.”

Iya Ping, Allah Sang Pemilik dan Pencipta. Rabb tempat kita meminta apa saja. Yang Maha membolak-balikkan hati kita. Bukankah Dia sudah berjanji untuk memasangkan orang baik dengan orang baik? Tugas kita Ping untuk memperbaiki diri. Keep istiqomah! Maka dalam ukuran kita, rasanya lebih adil kalau kita memperbaiki diri sebelum kita meminta dari-Nya sesuatu yang baik.

Setelah ini, mungkin saya akan sangat jarang bertemu dengan Ping dan berbagi cerita lagi dengannya. Namun, semoga saja kebaikan selalu menyertai kita. Dan setelah ini, kita tidak lagi disibukkan dengan nama seseorang yang terukir di sudut hati.

Ping, terimakasih cerita dan inspirasinya. J

Teror di Hari Raya


Teror? Serem banget judulnya? Ah, bukan itu maksud saya. Hanya menulis sesuatu saja yang membuat saya bisa rileks dan damai. Haha, apaan sih?

Paska Sholat Ied di Masjid Nurul Amal pagi ini, tidak ada pilihan lain selain mojok di kamar dan klak-klik nggak jelas. Hohoho, alangkah nggak jelasnya hidup saya ini. Yaa … tidak separah itu juga sih. Sudah menjadi pilihan saya untuk tidak mudik di hari raya Idul Adha 1433 H ini. Jadi, ya lebih baik menikmati pilihan itu dengan baik.

Ada banyak hal yang bergejolak di benak saya beberapa hari terakhir ini. Menjelang sidang skripsi saya hari Senin besok, bukan membuat saya tenang dan serius mempersiapkan diri dengan baik. H-3 saya belum mempersiapkan slide untuk presentasi. Toeng! Pikiran saya entah pergi kemana. Rasanya lebih asyik menikmati dunia saya sendiri dengan novel-novel di rak buku itu atau utak-atik kamus, atau corat-coret Hangeul yang sampai hari ini juga belum lancar. Tidak heran di siang bolong kemarin, saya bermimpi yang aneh. Dalam mimpi saya, naskah ujian skripsi saya itu salah cetak. Dosen saya geleng-geleng karena satu jilid naskah skripsi saya terselip teks-teks Hangeul yang beliau tidak mengerti artinya. Saya meringis, tidak hanya meringis di dalam mimpi saja. Bahkan sampai sekarang kalau ingat mimpi itu saya terkikik sendirian. Hyaa … apakah saya sedang tertekan? Oh my God! Inikah rasanya menjelang ujian? Inikah rasanya underpressure? Atau apakah nama perasaan ini? Huah! Saya jadi pengen pulang. Mumpung kostum sholat Ied tadi belum dilepas, mumpung masih pagi, mumpung jalanan belum ramai, mumpung di kos juga cuma sendiri! Pikiran gila macam apa sih ini?

Ya, ujung-ujungnya saya berdiam diri. Merefleksi diri. Apakah yang membuat saya bahagia? Apakah saya telah memilih jalan yang benar untuk hidup saya? Apakah saya sudah jadi anak yang berbakti? Apakah saya sudah jadi teman yang baik? Apakah saya sudah berprestasi? Apakah … apakah … apakah … apakah … apakah …. Dan akhirnya saya memutuskan bahwa saya harus keluar untuk mencari sesuatu yang membuat saya tidak kelaparan. Sungguh tidak nyambung dengan refleksi yang barusan saya lakukan. Hahaha! Kesimpulannya adalah banyak mikir membuat saya jadi lapar.

Sudahlah … *sambil makan* di hari mulia ini, saya sudah memutuskan untuk melakukan yang terbaik apa pun yang bisa saya lakukan. Tidak bijaklah kalau saya menjadi manusia yang nggak jelas seumur hidupnya. Banyak impian saya yang belum tercapai *buka-buka diary*, banyak lagi yang masih harus saya lakukan. Saya tidak ingin menyesal di kemudian hari.

*cepat-cepat menyelesaikan makan, buka naskah skripsi, bikin slide presentasi. E,eh, ngupload tulisan nggak jelas dulu!*

[O.o]

9 Oktober 2012

Tidak Menyapamu Sampai Batas Waktu Yang Tidak Ditentukan


Saya sedang banyak ide malam ini. Sampai-sampai belum berganti berkostum saya lakoni. Haha … tidak apa-apa. Mumpung saya masih punya kata-kata yang bisa dituliskan.

Tidak menyapamu sampai batas waktu yang tidak ditentukan, kalimat ini saya copas dari wall teman. Kebetulan saja, sebelumnya saya juga sempat ngobrol dengan adik perkara sapa-menyapa.

Ada tetangga saya, bahkan saudara dekat, yang tidak mau menyapa keluarga kami. Sudah sejak lama. Perkaranya karena dia salah paham saja. Miss communication. Akan tetapi dia tidak mau tabayun dan keburu mutung ketika keluarga saya mau menjelaskan duduk perkaranya. Sampai sekarang tidak mau menyapa. Sapaan kami, senyum kami, dia tidak mau meliriknya sama sekali. Bagaimanapun kami tetap berusaha tersenyum karena sapa dan senyum kami tidak berbayar. Dia dan keluarganya memutuskan secara sepihak Tidak menyapamu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Aduh, jadi banyak pertanyaan yang ingin saya lontarkan ke orangnya secara langsung ~ andai saja dia tidak selalu membuang muka jika ketemu. Kadang-kadang dia juga sedikit keterlaluan, tidak menyapa, tidak tersenyum, bahkan mengajak tetangga yang lain untuk tidak menyapa dan menyenyumi keluarga saya. Aduh duh duh duh! Bahkan anaknya yang paling kecil dilarang larang untuk tandang ke rumah saya, untuk makan di rumah saya, untuk menyapa ibu saya yang notabene adalah buliknya. Ckckckckck! Astaghfirullah. Saya makin tidak mengerti saja.

Saya cuma mau tanya, prinsip ini, di sisi manakah kebenarannya? Bukankah lebih baik menyampaikan maksud hari kita kepada orang lain agar orang lain bisa memahami kita dan kita bisa memahami orang lain? Bukankah kita juga bisa mengusahakan untuk menjadi manusia yang berlapang dada? Bukankah ... bukankah ... bukankah .... 

Skripsi Jadi Monster


Monster seringkali diasosiasikan dengan hal-hal yang menakutkan. Selain monster, istilah yang diserupakan dengan sesuatu yang menakutkan adalah ‘hantu’. Jadi sebenarnya saya bisa saja memberi judul tulisan ini dengan skripsi yang jadi hantu, atau skripsi yang menghantui. Ah, tapi terlalu serem bukan kesannya? Tidak akan saya lakukan kalau begitu. Pada kenyataannya, skripsi bukanlah hal yang menakutkan.

Masa iya sih?

Kalau dipikir-pikir iya juga ya.

Nah lho? Kok yang nulis sendiri masih ragu-ragu?

Masalahnya saya juga sempat dan pernah memikirkan, bahkan mungkin sekarang masih menganggap, skripsi itu adalah momok ~ tujuan saya menulis ini sebenarnya adalah untuk berbagi agar ketakutan saya terhadap skripsi itu bisa terkurangi.

Memang skripsi semenakutkan apa?

Bagi yang belum pernah menyusun skripsi, pertanyaan ini untuk menjawab rasa ingin tahu. Bagi yang sudah mengalami dan dulu fine-fine saja, pertanyaan ini sekedar untuk menggelitik para pelaku eh, penyusun skripsi. Bagi yang mengalami seperti saya, ikut mengamini apa yang saya tulis. Begitu?

Tidak, tidak sengeri itu. Dari pengalaman saya pribadi, ketakutan itu hanya dihasilkan oleh prasangka saya akan hal-hal yang belum saya lakukan. Hal-hal yang belum saya lakukan tersebut terus saya pikirkan dan saya membuat alasan yang berupa prasangka-prasangka yang membenarkan bahwa ketakutan saya itu akan terjadi. Jadi saya merasa benar-benar takut itu akan terjadi. Berarti jika saya tidak memikirkan bahwa skripsi itu menakutkan dan saya berhenti berprasangka ~ saya lakukan saja apa yang harus saya lakukan ~ maka skripsi jadi tidak menakutkan!

Sebenarnya memang tidak ada yang perlu saya takutkan. Dosen pembimbing saya baik, mudah ditemui, kooperatif. Saya tidak perlu takut apa-apa, sungguh. Tapi seringkali saya membuat prasangka sendiri, mencari-cari alasan sendiri.

Memang pernah dalam prosesnya, saya mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan. Sebut saja ketika dalam satu bulan saya harus bolak-balik ke dinas di kabupaten yang jaraknya tempuhnya empat jam pulang pergi, tanpa hasil apapun. Bahkan saya disana di-underestimate habis-habisan oleh dokter yang tidak menerima desain penelitian saya ~ yang menurut saya sedikit arogan. Saya juga harus naik turun gunung untuk menemui informan saya yang tersebar di desa-desa. Tapi ternyata kalau semua itu dijalani, sekarang sudah selesai. Bayangkan kalau saya hanya membayangkan hal-hal tersebut. Bayangkan kalau saya hanya berprasangka dan membuat skenario sendiri. Hem, barangkali bisa menjadi seratus kali lebih seram dari kenyataan. Tapi, Allah berjanji kok bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Saya pernah mengalaminya. Bersama kesulitan ada kemudahan.

Ya memang, skripsi bisa jadi monster kalau hanya dibayangkan dan membuat prasangka-prasangka tanpa mau mencoba untuk menjalani tahap-tahapnya. Lebih baik dikerjakan setahap demi setahap agar terasa lebih ringan ~ jika itu dianggap berat. Kerjakan dulu pelan-pelan. Karena saya tidak ingin pengalaman pahit saya ikut Anda rasakan. Hehehe!

Skripsi tidak seharusnya jadi monster. Bahkan saya punya nama yang manis lho biar nggak terlihat makin serem. Nama lain yang lebih manis itu adalah SWEETSKRIPSI. So sweet kan?!

Selamat berjuang untuk teman-teman yang sedang menyusun skripsi. Daebak!

7 Oktober 2012

Kringgg‼‼ Dua Kali Dua Tujuh


Mengawali tulisan tidak penting ini, saya menggunakan kata “Kringgg‼‼”. Biasanya kata ini merujuk pada nada dering telepon ketika sedang ada panggilan masuk. Kalau dalam daftar ringtone telepon genggam jaman dulu, biasanya nada yang berbunyi kriingg  ini dinamai vintage atau old.

Nah, ketika ada bunyi kringgg di telepon genggam saya, berarti ada yang sedang memanggil dua kali dua tujuh (anggap saja nada dering saya adalah kringgg). Dua kali dua tujuh itu adalah nomor saya sejak punya telepon genggam pertama kali.

Ada cerita, ketika suatu hari seorang teman menelepon saya dan setelah bertemu dia muring-muring. Ternyata penyebabnya adalah setelah melakukan panggilan ke nomor dua kali dua tujuh, pulsanya tersedot habis. Itu nomor apa sih? Beda operator ya sama punyaku? Kenapa nggak bilang dari dulu?  Bla bla bla bla …. Hem, nasib mahasiswa pecinta sejenis. Maksudnya kalau melakukan panggilan ke nomor yang operatornya sejenis tarifnya lebih murah. Jadi dia tidak perlu mengeluh ke saya kalau pulsanya sekarat. ^^v

Kata dia nomor saya sulit dikenali. Dipikirnya nomor dari operator yang sama, jadi asal pencet saja, calling, dan baru sadar kalau setelah itu cek pulsa, jengjeeeeng‼ Pppuuullsaaaakuuuuuuuuuu‼‼‼‼‼‼‼! Endingnya dia protes. Buruaaaan ganti nomeeerrr‼‼ OGAH!

Hehehe. Sejak saya punya telepon genggam, saya memang jarang berganti-ganti nomor. Jika saya mempunyai dua simcard atau lebih, pasti nomor saya yang permanen ya tetap dua kali dua tujuh. Simcard saya yang lain sifatnya lebih temporer dan hanya dipakai kalau sedang dibutuhkan saja. Dan sudah saya komunikasikan ke teman-teman lama bahwa nomor saya tidak pernah ganti ~ selama saya masih suka ^^v

Saya memutuskan untuk tetap setia pada dua kali dua tujuh, dengan alasan teman-teman lama yang jarang bertemu bisa berkangen-kangen ria dengan saya. Menelepon untuk sekedar say hello dan sebagainya. Walaupun sekarang ini banyak jejaring sosial yang bisa menghubungkan saya ke mereka dan mereka ke saya, tapi ada feel-nya sendiri kalau kita berbicara lewat telepon. Karena itulah saya setia dengan dua kali dua tujuh saya.

Kriiiiiiinggggg‼‼! 

2 Oktober 2012

Lebih Baik Diam Saja

Kadang-kadang diam itu lebih baik, ketika sekeliling kita ternyata semrawut, kacau balau. Jika dengan bersuaranya kita, kekacau-balauan itu akan semakin parah. Kadang-kadang, saya juga lebih memilih diam ketika lawan bicara tak bisa lagi menerima argumen kita, seberapapun logis dan solutifnya. Diam, mengurut dada. Begitu juga ketika saya melihat arogansi yang tidak bisa saya lawan dengan fisik maupun kata-kata. Pilihan terbaik saya, pergi ke belakang, dan menumpahkan kedongkolan itu dengan seliter airmata.

Arogansi dalam bentuk kata-kata lebih menusuk, dalam, … dan sakit. Sungguh tidak asyik.
Sebab musababnya, apalah yang saya tahu. Sebuah kebanggaan atas status barangkali. Sebuah kedengkian juga bisa jadi. Bukankah lidah memang tak bertulang? Dan saya kira, ada salah satu hal yang menyebabkab arogansi dalam bentuk tersebut di atas, tiba-tiba meluncur deras bak anak panah yang lolos dari busurnya.

Dan menjadi korban dari sebuah kearogansian, hem … itu lebih tidak asyik lagi.

Barangkali tidak penting bagi saya untuk menggali sebab, mengapa orang-orang itu menjadi sangat percaya diri mempertunjukkan arogansinya. Barangkali juga, diam adalah lebih baik untuk saya. Buat apa saya membalasnya jika hanya akan menambah semrawut dan kacau balau? Buat apa menghabiskan energi untuk meladeni sebuah pertunjukan arogansi?  Kata-kata, argumen, pembelaan, lebih baik disimpan karena tak akan bisa dimaklumi oleh orang-orang yang tidak mengerti. Saya tak perlu bicara prinsip, oh apalagi itu.

 Bukankah lebih baik diam?

Bagi saya, diam bukan berarti tidak berbuat apa-apa. Saya hanya mengurangi waktu yang tidak berguna untuk meladeni hal-hal yang sama tidak bergunanya itu. Buat apa? Toh saya, tidak perlu membuktikan segala sesuatunya dengan kata-kata. Saya diam, tetapi melakukan aksi nyata. Kehidupan yang sudah Allah berikan untuk saya, adalah anugerah tersendiri yang harus saya syukuri dengan melakukan sesuatu yang positif dan bermanfaat. Biarkan jika mulut mereka tetap menganga. Biarkan seribu kata tak berguna terlontar sia-sia. Kata tak perlu dibalas kata. Itu makna diam untuk saya.

Semoga dengan diam, saya tidak akan melakukan hal buruk serupa kepada manusia lainnya.