“Apa aku saja yang ngomong?”
“Tidak. Jangan, Mas. Aku takut tentu saja.”
“Wajarlah. Justru kalau kamu yang berani, dia
yang takut.”
Sophie mengutak-atik kunci motornya. Tidak
ada yang tidak beres. Kunci motor, helm, meja kursi di depannya semua baik-baik
saja. Justru dia yang sedang tidak beres dan mengundang tatapan kasihan dari
Mas Jo. Sudah terlanjur, pikir Sophie.
Karena hujan yang mengguyur sebagian kota
sore itu, Sophie yang hendak pamitan pulang mengurungkan niatnya. Lagipula ini
hari terakhir bertemu Mas Jo. Sejak awal tadi cerita pun mengalir. Pernah ada
momen seperti ini beberapa waktu yang lalu, yang diberi nama Mas Jo ‘sore
santai’ yang berisi sesi curhat. Boleh jadi ini ‘sore santai’ keduanya. Sophie
tertawa kecil.
“Aku pasti malu kalau suatu saat nanti
bertemu denganmu, Mas.” Kekanakan sekali
ya, batinnya. Kau tahu apa yang terjadi? Dalam acara ‘sore santai’ itu
tanpa sengaja Sophie menyebut-nyebut perkara Lazuardi. Wah, pasti sulit baginya
mengorek cerita ini. Tidak ada yang lebih hebat yang bisa mengguncang batinnya
daripada hal yang satu ini. Beruntungnya Mas Jo mengerti. Ya katakanlah dia
mengerti, minimal dia berkenan menggelar ‘sore santai’ itu jadi lebih hidup.
“Hahaha! Ceritamu itu nanti pasti akan
terbawa mimpi sampai seminggu kemudian. Tunggu saja. Lagipula buat apa kau
malu? Satu atau dua hari lagi kita tidak akan bertemu.”
Sophie
meringis. Dia membayangkan jika suatu saat berkesempatan bertemu Mas Jo lagi.
“Rampungkan
novelmu yang sudah ada outline-nya waktu itu. bikin cerita yang bagus. Nanti
dikirim ke emailku. Aku siap jadi pembaca pertamanya, jadi kritikus kan enak.
Bla … bla … bla….”
Berpuluh
nasihat keluar. Sophie mencatat yang dia ingat dalam hati, termasuk nasihat yang
satu ini pula.
Merampungkan
novel? Ini bisa menjadi ‘obat’ kalau dia mau mengerjakannya. Sebenarnya ia
sudah mulai, hanya saja anak yang satu ini tidak konsisten sehingga target yang
ditulisnya tak jarang hanya menghiasi buku harian atau memenuhi coretan-coretan
di atas kertas saja. Oh, siapa tahu kisahnya yang baru saja digelar dalam sesi
curhat ‘sore santai’ bersama Mas Jo barusan bisa memberi inspirasi untuk tulisannya.
Ah, siapa pula yang akan membaca? Sophie buru-buru mengusir lintasan pikiran
yang mampir di benaknya.
“Aku
pulang ya, Mas.” Sore beranjak senja.
“Satu
pertanyaan lagi dan kamu bisa pulang.”
Sophie
berdiri di ambang pintu. Menunggu pertanyaan terakhir Mas Jo. Ia tidak akan
berlama-lama di sana. Sejak Lazuardi mencuat dalam percakapan mereka, hati anak
itu sudah bergemuruh dan menjadi tidak karuan. Sophie sadar itu tidak bisa dibiarkan. Dia harus segera menutup
percakapan dan melupakan semuanya.
“Dia
sudah lulus?”
Sophie
menggeleng.
“Mungkin
sudah. Setahuku dia sedang mengerjakan skripsi juga dalam waktu yang hampir
bersamaan denganku.”
“Ya
sudah, tempat mainnya diganti saja. Nggak usah ke Bromo atau ke Semeru. Siapa
tahu nanti bisa bertemu dengannya.”
Sophie
tersenyum kecut. Sesuatu yang tidak disadarinya, dua bulir menetes dari kedua
ujung matanya. Mas Jo menatapnya heran ~ mungkin juga kasihan.
“Sudah,
segera pulang dan istirahat. Nanti juga lupa sendiri. Prediksiku dia akan
segera menghubungimu.”
Senyum
Sophie semakin kecut. Perasaan campur aduk menyergapnya. Urusan pamitan
ternyata bisa jadi panjang. Sepatah dua patah kata yang mau diucapkannya
ternyata bisa jadi berpatah-patah. Entahlah, siapa tadi yang memulai hingga
percakapan jadi panjang begini.
Di
atas Blue ‘n Black miliknya, Sophie mengusap bulir-bulir air mata. Ia menarik
nafas sedalam mungkin sebelum akhirnya benar-benar pamit.
“Aku
jadi malu kuadrat nih, Mas.” Tolong
jangan pernah diingat percakapan sore ini, batinnya memohon.
“Terimakasih
Mas Jo, Annyeong!” Blue ‘n Black
melesat menembus senja.
Dulu sewaktu kecil, aku selalu berharap jadi
adik yang bisa minta ini itu ke kakaknya dan selalu dituruti, tapi kenyataannya
aku jadi kakak. Tapi ternyata, Allah memberikan banyak sekali karunia-Nya.
Termasuk salah satunya bertemu Mas Jo. O ya, satu lagi, coklat itu enak. Ya
enak aja, nggak perlu ada rasionalisasi mengapa harus suka coklat. Analoginya
adalah seperti ketika menyukai seseorang, tidak pernah bisa dijelaskan mengapa.
Semoga Mas Jo segera menemukannya, dan tidak usah menunggunya bertahun-tahun,
karena itu menjemukan dan lebih irasional. Selamat menikmati dan mencerna
lezatnya coklat di setiap gigitnya. J
Pipito sayang,
Jika kamu sedih,
Aku bahkan lebih
sedih.
Semoga kau segera
menemukan partner yang lebih baik.
Sepertinya aku
benar-benar akan pulang.
#BERSAMBUNG
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)