22 Maret 2013

. . . . (2)


“Apa aku saja yang ngomong?”
“Tidak. Jangan, Mas. Aku takut tentu saja.”
“Wajarlah. Justru kalau kamu yang berani, dia yang takut.”
Sophie mengutak-atik kunci motornya. Tidak ada yang tidak beres. Kunci motor, helm, meja kursi di depannya semua baik-baik saja. Justru dia yang sedang tidak beres dan mengundang tatapan kasihan dari Mas Jo. Sudah terlanjur, pikir Sophie.
Karena hujan yang mengguyur sebagian kota sore itu, Sophie yang hendak pamitan pulang mengurungkan niatnya. Lagipula ini hari terakhir bertemu Mas Jo. Sejak awal tadi cerita pun mengalir. Pernah ada momen seperti ini beberapa waktu yang lalu, yang diberi nama Mas Jo ‘sore santai’ yang berisi sesi curhat. Boleh jadi ini ‘sore santai’ keduanya. Sophie tertawa kecil.
“Aku pasti malu kalau suatu saat nanti bertemu denganmu, Mas.” Kekanakan sekali ya, batinnya. Kau tahu apa yang terjadi? Dalam acara ‘sore santai’ itu tanpa sengaja Sophie menyebut-nyebut perkara Lazuardi. Wah, pasti sulit baginya mengorek cerita ini. Tidak ada yang lebih hebat yang bisa mengguncang batinnya daripada hal yang satu ini. Beruntungnya Mas Jo mengerti. Ya katakanlah dia mengerti, minimal dia berkenan menggelar ‘sore santai’ itu jadi lebih hidup.
“Hahaha! Ceritamu itu nanti pasti akan terbawa mimpi sampai seminggu kemudian. Tunggu saja. Lagipula buat apa kau malu? Satu atau dua hari lagi kita tidak akan bertemu.”
Sophie meringis. Dia membayangkan jika suatu saat berkesempatan bertemu Mas Jo lagi.
“Rampungkan novelmu yang sudah ada outline-nya waktu itu. bikin cerita yang bagus. Nanti dikirim ke emailku. Aku siap jadi pembaca pertamanya, jadi kritikus kan enak. Bla … bla … bla….”
Berpuluh nasihat keluar. Sophie mencatat yang dia ingat dalam hati, termasuk nasihat yang satu ini pula.
Merampungkan novel? Ini bisa menjadi ‘obat’ kalau dia mau mengerjakannya. Sebenarnya ia sudah mulai, hanya saja anak yang satu ini tidak konsisten sehingga target yang ditulisnya tak jarang hanya menghiasi buku harian atau memenuhi coretan-coretan di atas kertas saja. Oh, siapa tahu kisahnya yang baru saja digelar dalam sesi curhat ‘sore santai’ bersama Mas Jo barusan bisa memberi inspirasi untuk tulisannya. Ah, siapa pula yang akan membaca? Sophie buru-buru mengusir lintasan pikiran yang mampir di benaknya.
“Aku pulang ya, Mas.” Sore beranjak senja.
“Satu pertanyaan lagi dan kamu bisa pulang.”
Sophie berdiri di ambang pintu. Menunggu pertanyaan terakhir Mas Jo. Ia tidak akan berlama-lama di sana. Sejak Lazuardi mencuat dalam percakapan mereka, hati anak itu sudah bergemuruh dan menjadi tidak karuan. Sophie sadar itu tidak  bisa dibiarkan. Dia harus segera menutup percakapan dan melupakan semuanya.
“Dia sudah lulus?”
Sophie menggeleng.
“Mungkin sudah. Setahuku dia sedang mengerjakan skripsi juga dalam waktu yang hampir bersamaan denganku.”
“Ya sudah, tempat mainnya diganti saja. Nggak usah ke Bromo atau ke Semeru. Siapa tahu nanti bisa bertemu dengannya.”
Sophie tersenyum kecut. Sesuatu yang tidak disadarinya, dua bulir menetes dari kedua ujung matanya. Mas Jo menatapnya heran ~ mungkin juga kasihan.
“Sudah, segera pulang dan istirahat. Nanti juga lupa sendiri. Prediksiku dia akan segera menghubungimu.”
Senyum Sophie semakin kecut. Perasaan campur aduk menyergapnya. Urusan pamitan ternyata bisa jadi panjang. Sepatah dua patah kata yang mau diucapkannya ternyata bisa jadi berpatah-patah. Entahlah, siapa tadi yang memulai hingga percakapan jadi panjang begini.
Di atas Blue ‘n Black miliknya, Sophie mengusap bulir-bulir air mata. Ia menarik nafas sedalam mungkin sebelum akhirnya benar-benar pamit.
“Aku jadi malu kuadrat nih, Mas.” Tolong jangan pernah diingat percakapan sore ini, batinnya memohon.
“Terimakasih Mas Jo, Annyeong!” Blue ‘n Black melesat menembus senja.



Dulu sewaktu kecil, aku selalu berharap jadi adik yang bisa minta ini itu ke kakaknya dan selalu dituruti, tapi kenyataannya aku jadi kakak. Tapi ternyata, Allah memberikan banyak sekali karunia-Nya. Termasuk salah satunya bertemu Mas Jo. O ya, satu lagi, coklat itu enak. Ya enak aja, nggak perlu ada rasionalisasi mengapa harus suka coklat. Analoginya adalah seperti ketika menyukai seseorang, tidak pernah bisa dijelaskan mengapa. Semoga Mas Jo segera menemukannya, dan tidak usah menunggunya bertahun-tahun, karena itu menjemukan dan lebih irasional. Selamat menikmati dan mencerna lezatnya coklat di setiap gigitnya. J

Pipito sayang,
Jika kamu sedih,
Aku bahkan lebih sedih.
Semoga kau segera menemukan partner yang lebih baik.
Sepertinya aku benar-benar akan pulang.





#BERSAMBUNG




0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)