Sophie bergegas. Sebelum jam empat ia sudah harus berada
di rental komputer dan menemui dua orang, seharusnya tiga, dan mengucapkan
sepatah dua patah kata perpisahan untuk mereka. Tapi sebelumnya ia harus
mencari sesuatu yang bisa mencairkan suasana. Yang terpikir di kepalanya saat
itu adalah makanan. Yup! Sepertinya makanan adalah pilihan yang tepat karena
kemarin selepas dia wisuda belum sempat menraktir siapapun makan-makan termasuk
mereka berdua. Dan makanan yang tepat untuk dia bawa sore ini adalah martabak
manis dengan coklat dan kacang. Pasti membuat lidah menari-nari. Sophie juga
tahu sekali kalau Pipito suka sekali dengan coklat.
“Aku titip barang-barang di sini, Kak. Nanti maghrib aku
kembali.” Teriaknya pada seniornya penjaga toko aksesoris. Tadi Sophie diminta
menjaga toko sebentar karena ditinggal sholat. Sekali lagi Ia harus bergegas
meskipun harus menembus gerimis yang semakin deras. Tidak apalah cuma gerimis,
ia akan langsung ke gerobak penjual martabak dan lari ke rental komputer.
Sayangnya dua kali ditengok, gerobak penjual martabak
kosong. Tidak ada aroma martabak yang menguar menggodanya seperti hari-hari
biasa. Entahlah, mungkin karena akhir pekan. Sophie juga tak hafal jadwal jualan
penjual martabak di gerbang belakang kampus itu. Gerimis pun semakin
bertubi-tubi. Sedang ia belum memutuskan untuk membeli apa untuk mencairkan
suasana.
Ide itu melintas tiba-tiba. Pipito penyuka coklat, Mas Jo
pun kelihatan penasaran dengan coklat. Jadi rasanya tak mengapa jika Sophie
membelikan mereka berdua coklat. Yup! Coklat makanan yang sempurna! Sophie
menembus gerimis menuju swalayan terdekat. Ia ambil dua bungkus coklat dan
bergegas lagi melarikan Blue ‘n Black di bawah gerimis. Jumper-nya sedikit basah di lengan bagian atas.
Seperti biasa, tidak akan pernah ada yang menyambutnya begitu
meriah di rental. Mungkin itu akan terjadi entah kapan kalau ada sesuatu yang
heboh. Seperti misalnya Mas Jo membawa istrinya ikut serta atau tiba-tiba
Pipito datang bergandengan tangan dengan **in. Tapi itu entah kapan. Sesuatu
yang tidak bisa diperkirakan dan mungkin juga tidak akan terjadi. Yang
jelas-jelas terjadi adalah basa-basi sedikit dan selebihnya kembali pada dunia
masing-masing. Ditambah celetukan kecil kadang-kadang. Hingga Pipito memutar
video sebuah reality show dari negeri
ginseng yang membuat Pipito dan Sophie terkikik-kikik kecil melihat aksi kocak
para bintangnya.
“Orang lari-lari kok dilihat.” Pastilah ini komentar Mas
Jo yang sungguh amat sangat tidak suka sekali atau mungkin sebaliknya
sebenarnya sungguh amat sangat penasaran sekali dengan tayangan yang satu ini.
Abaikan! Pipito dan Sophie tetap asyik. Adzan pun bergema. Tidak ada yang luar
biasa hingga Pipito pamit pulang karena jam kerja hari itu sesungguhnya hanya
sampai jam empat sore.
“Kamu jangan pulang dulu, Say. Aku kesini mau pamitan. Beneran aku mau pamitan. Mungkin lama
kita nggak akan bertemu. Aku minta maaf ya kalau ada salah.”
“Sudah sore, Mbak. Aku keburu pulang.”
Ya, Sophie tahu ini waktunya Pipito
mudik. Dan anak yang satu ini tak punya punya kosakata ‘basa-basi’.
Sophie yang sebelumnya mengusahakan
membungkus coklat dengan kertas kado yang dibuat cantik, akhirnya hanya
menemukan bekas pembungkus kertas HVS yang dipotong jadi dua bagian. Dan karena
tidak menemukan selotip di meja yang berantakan, dia memutuskan untuk
membungkus coklat itu apa adanya. Di-klip pada ujung-ujungnya.
“Silakan pilih salah satu, Pipito.
Kamu kuberi kesempatan untuk memilihnya terlebih dahulu. Mas Jo biar saja dapat
sisanya.”
Pipito berpikir sejenak, “aku yang
kecil saja.”
“Baiklah, ini untukmu. Maaf ya kalau
aku punya salah.”
“Kamu tuh sebenarnya tega banget,
Mbak. Kenapa perginya cepat sekali. Kenapa tidak menunggu sampai akhir bulan
ini?”
Sophie tidak bisa menjawabnya. Dia
punya jawaban, tapi tidak tega untuk menyampaikan apa yang sebenarnya. Sekali
dia bicara, dia sendiri yang akan terluka. Dia sebenarnya yang keberatan
meninggalkan semuanya. Oleh karena itu dia hanya tersenyum dengan bibir seolah
tertahan untuk bicara.
“Seharusnya kamu pergi itu pamit dan
disetujui oleh semua yang ada di sini. Oleh Bos, olehku, oleh Mas Jo, bahkan
oleh Bu Bos. Aku tidak rela kamu pergi sekarang.”
“Selesaikan hingga akhir bulan.” Kata
Mas Jo.
“Aku harus pergi. Sudahlah, aku mau
pulang. Kau dengar Pipito, aku mau pulang selama beberapa waktu dan tidak bisa
di sini.” Hanya itu yang akhirnya keluar. Tidak ada kalimat yang bisa ia
sampaikan untuk mereka.
Pipito akhirnya pulang.
“Ini untuk Mas Jo. Diambil ya, Mas.”
“Apaan sih?”
“Mau dibuka sekarang? Silakan, itu
sudah jadi milik Mas Jo.”
Menarik. Mas Jo beranjak ke meja di
mana bungkusan itu berada. Sophie yang tadi sudah menyampaikan kalimat pamitan
beranjak ke arah pintu. Namun dia duduk di salah satu kursi di dekat pintu mendengar
kalimat Mas Jo.
“Kenapa dibungkus seperti tempe?
Jangan-jangan isinya coklat?”
Sophie dalam hati tertawa sekaligus
sedikit protes, karyanya disederajatkan dengan membungkus tempe. Bukalah dan
kau akan tahu, katanya dalam hati lagi. Beberapa detik kemudian Mas Jo tertawa
melihat isi dalam bungkusan yang sesuai dengan tebakannya. Di luar hujan mulai
deras. Sophie yang sudah bersiap hendak pulang akhirnya tetap duduk di
kursinya.#bersambung
yaaaaaahhhh, akan ada lowongan lagi di Victor sepertinya.
BalasHapusEh, betewe, **in itu siapa eaa?
Udin sedunia??? wkwkwk...
~pembungkus tempe dia bilang?! hahahahahaha...
XD
Wehehehe .... kayaknya iya tuh, Sis enha.
BalasHapus**in silakan tafsirkan sendiri aja deh. Isilah bintang-bintangnya dengan jawaban alakadarnya, nggak boleh salah nggak boleh benar. :D
Yang penting isinya bukan tempe. Hehe!
**in itu, sudah pastilah si UDIN. Iya kan?? wkwkwk.
BalasHapus#apasih, masa nggak boleh salah nggak boleh bener. :(
~aku ngebayangin adegan di atas itu dg sempurna, Pipito dg kekhasannya. Mas jo dg gayanya yg cuek bebek...
Hati-hati kalo mereka baca posting ini, wkwkwk...
xixixi ... ni anak maksa buanget sih?! Plis deh! Cerita ini hanya fiktif belaka. Kalau ada kesamaan nama, tokoh dan tempat itu emang disengaja. ^^v
BalasHapusNantikan adegan selanjutnya. Hehe!