19 Agustus 2014

MONOLOG EMAK KOKOM

Sekarang biarkan tanganku menari di pohon-pohon singkong ini. Aku terpaksa merenggut tangkai demi tangkai daunnya agar ternakku tak kelaparan di tengah kemarau yang menggila ini. Agar esok mereka tetap mengembik dan Kokom masih bisa tersenyum lagi melihat piaraannya bermain dengan riang.
Ah, Kokom. Betapa sebenarnya aku kasihan melihatmu seperti itu. Tertidur dalam balutan kain gendong di tubuh emakmu yang berpeluh, bau keringat. Namun pada siapa kau akan kutitipkan kalau di rumah tak ada  orang sama sekali?
Kokom anak Emak, cepatlah engkau besar biar bisa membantu Emak pergi merumput. Biar kambing kita beranak pinak, biar bisa buat biaya sekolahmu. Emak ingin kau sekolah. Pakai seragam putih merah dan berdasi.
Makanya bapakmu merantau, Nduk. Itu karena suatu pertimbangan ingin merubah hidup kita jadi lebih baik. Ya, setidaknya minimal itu yang kami harapkan. Doakan agar dapur Emak tak berhenti mengepul.
Maafkan Emak, Kom. Terpaksa Emak bawa engkau ke tempat gersang ini. Bukankah setiap hari kamu juga diguyur terik seperti ini? Emak yakin kau kuat. Iya, kau anak Emak yang kuat. Pernah sekali dua kau merengek, apakah kau merindukan bapakmu? Kalau begitu kau tak sendiri, Kom. Sejak engkau lahir hingga disapih, sama sekali Emak tak pernah bertemu dengan bapakmu. Waktu yang cukup lama bukan?
Emak percaya Kom, percaya bapakmu baik-baik saja di rantau sana. Bapakmu setiap habis gajian selalu mengirimkan uang untuk biaya hidup kita berdua. Bapakmu juga rajin berkirim kabar lewat surat yang dititipkan pada Rukmini, tetangga kita yang juga perantau itu.
Setiap kali Rukmini pulang kampung, bapakmu selalu titip kabar, titip surat. Hal itu yang paling Emak harapkan, Kom. Hingga kalau sekali saja Rukmini pulang tanpa surat dari Bapakmu, Emak akan menangis sepanjang hari. Ah, seharusnya yang ini emak tak usah cerita padamu. Malu.
Tiba-tiba Emak ingin sekali bertemu Bapakmu, Kom. Apalagi setiap ke ladang singkong ini. Banyak kenangan yang terukir bersama Bapakmu di sini. Kenangan masa muda kami sebelum engkau menatap dunia untuk pertama kali.
Dulu Bapakmu bertani di ladang Bapak, Simbahmu. Membantu dangir, menanam singkong, merawat tanaman itu, menunggu panen hingga memanen. Emak sudah jatuh hati padanya sejak Bapakmu hari pertama bekerja di ladang simbah. Entahlah, hati emak sudah begitu saja terpaut pada senyumnya. Lama-lama kami dekat, bermain bersama. Bahkan Bapakmu sering membuatkan Emak mainan dari tangkai-tangkai daun singkong itu, rumah-rumahan, kalung, gelang. Ah, Emak suka sekali waktu itu.
Lalu kami bertambah dekat. Dan gelagat itu ditangkap oleh Bapak. Simbahmu, Kom. Entah kenapa peka sekali dengan hal-hal seperti itu. Akhirnya beliau memutuskan menikahkan kami.
Sebelum itu Bapakmu memang telah meminta Emak. Bapakmu melamar Emak di ladang singkong itu, Kom. Waktu itu Emak sedang mengumpulkan hasil panen singkong. Emak yang belepotan dengan tanah, tiba-tiba dikejutkan oleh suara ‘bruk’ dari arah belakang. Emak menjerit karena kaget. Tapi begitu tahu siapa yang datang, dada Emak langsung berdegup kencang. Lalu Emak lupa bagaimana awalnya, Bapakmu tanpa babibu sudah meminta Emak untuk jadi istrinya. Haaahh, sungguh jantung Emak benar-benar hampir copot. Bayangkan, saat itu Emak benar-benar kaget karena terkejut, lalu Emak diminta jadi istri orang yang Emak juga mencintainya.
Emak menerimanya karena hati Emak sudah dicuri Bapakmu. Kalau tidak bersedia jadi istrinya, bisa-bisa Emak yang semaput karena jiwa Emak tak bisa seimbang. Ya begitulah. Lalu setahun setelah itu lahir kamu Kom, bidadari Emak.
Setelah ada kamu tak mungkin lagi emak hidup dengan orang tua. Lalu Emak dan Bapak sepakat membangun rumah sederhana di samping rumah simbah, rumah kita yang sekarang itu. Semuanya harus mandiri, termasuk keuangan yang tidak lagi tergantung sama simbah. Lama-lama kami tak punya uang, harus memenuhi kebutuhan hidup. Dan ladang singkong itu tidak begitu menjanjikan. Itu sebabnya Emak harus rela melepas bapakmu ke rantau. Itu setelah kamu lahir hingga sekarang ini Kom. Bapakmu merantau selama itu dan baru pulang sekali saja, ketika kamu berusia enam bulan. Lepas itu, kami tidak pernah bertemu. Kabar tentang Bapakmu hanya Emak baca seperti yang tertulis dalam surat yang dibawa oleh Rukmini.
@@@
Kokom, Emak minta sore ini jangan merengek lagi. Hal yang sangat jarang kau lakukan kecuali badanmu sedang panas. Tapi kenapa kau terus-terusan menangis, Nak? Badanmu sama sekali tidak panas, makanmu cukup meski tak selahap biasanya. Apa yang terjadi denganmu? Pagi tadi sudah kumintakan suwuk pada Mbah Kem, dukun kampung yang pintar mantra-mantra itu. Air putihnya sudah kau minum Kom, tapi kau tak kunjung diam. Rewel terus. Emak sampai bingung harus berbuat apa. Pikiran Emak jadi tidak enak.
Baru setelah sore, Emak bisa melihatmu diam, Kom. Akhirnya kau bisa tidur pulas. Apakah suwuk itu benar-benar mujarab? Emak gendong kau kesana kemari. Emak timang sampai kau tertidur. Ya, tidurlah dulu seperti itu barang sebentar, Emak mau memasak sesuatu.
Belum lama Emak menidurkanmu di amben reot itu, Rukmini datang. Tetangga kita yang satu itu bertamu ke rumah kita. Emak semakin kagum saja melihatnya, Kom. Kalau kau bangun, kau pasti melihat rambutnya yang berkilau hitam lurus, pupur-nya membuat wajahnya tampak putih, dan memang kulitnya sekarang semakin langsat. Ia pakai benges segala. Lihatlah Kom, betapa makmurnya sekarang dia. Hanya bertamu ke rumah kita saja dandanannya luar biasa. Tapi memang dia orang kaya Kom, sukses merantau.
Emak akhirnya tak bisa menahan perasaan Kom. Emak tanya saja bagaimana dia bisa merubah penampilannya itu. Oalah ternyata dia dandan di salon katanya, tempat yang khusus untuk orang-orang yang mau berdandan. Ah, Emak tak tahu Kom. Emak juga tak ingin membahasnya lagi. Karena yang paling ingin Emak dengar justru kabar Bapakmu.
Rukmini bilang Bapakmu agak kurang sehat. Emak kaget mendengarnya Kom. Khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Bapakmu. Kata Rukmini butuh biaya buat mengobati Bapakmu. Uangnya sudah menipis karena untuk berobat. Dan tujuan Rukmini datang ke rumah kita untuk meminta uang buat berobat Bapakmu. Aduh Kom, haruskah Emak jual kalung mas kawin itu? Tapi ini demi Bapakmu, Kom. Sedangkan Emak tak punya apa-apa.
Akhirnya sebelum Rukmini pulang, Emak janjikan besok sudah ada uangnya. Emak tanyakan pada Rukmini bagaimana kalau uang hasil jual kalung itu tidak cukup Rukmini bilang tidak apa-apa karena mau ditambahi simpanannya dahulu. Rukmini begitu baik hati.
Ya, Emak jual kalung itu esok harinya. Tidak banyak Kom, semuanya Emak kasih ke Rukmini saat itu juga. Ditambah simpanan Emak beberapa rupiah yang Emak rencanakan untuk hidup kita beberapa hari mendatang. Pokoknya Emak hanya berpikir bapakmu cepat berobat dan cepat sehat.
@@@
Kemarau belum juga hendak berganti musim. Kita masih di sini Kom, tinggal berdua di rumah sederhana. Memandangi langit dan merasai hembusan angin. Terkadang saking kuatnya, debu-debu di halaman kita itu ikut terbang. Lalu menempel pada dinding kayu rumah kita dan membuatnya tampak kusam. Ah, Emak tak peduli. Yang penting kita bisa makan.
Apa kabar Bapakmu ya, Kom? Dua bulan sejak Rukmini berangkat itu hingga hari ini belum lagi kita dengar kabarnya. Ya kepada siapa kita akan menitip surat, belum ada tetangga kita yang pulang dari rantau. Tapi kemarin ada orang dari tetangga desa yang ketemu Kom. Dia belum bertemu Emak, tapi Emak sudah dengar kabar dari orang-orang sekampung, Bapakmu akan pulang dalam waktu dekat. Emak senang Kom mendengarnya. Emak akan bertemu lagi dengan Bapakmu. Kita akan berkumpul lagi Kom, kau pasti juga rindu bapak bukan? Kom, kita akan segera berkumpul satu keluarga.
@@@
Emak sudah pastikan berita itu Kom. Emak sudah datangi tetangga desa yang membawa kabar Bapakmu. Bapak sudah sehat dan sudah bekerja lagi. Dan yang sangat membahagiakan adalah, Bapak akan pulang. BAPAK PULANG KOM! Emak rasanya sudah tak tahan lagi menantikan waktu itu tiba. Emak sampai bingung apa yang harus dipersiapkan. Emak tidak bertemu dengan Bapakmu selama hampir dua tahun. Emak tak tahu apa yang dia adatkan sekarang.
Tapi Emak tahu Bapakmu suka sekali nasi tiwul sama sambel dan lalapan. Pasti sekarang pun begitu. Seperti masa kami muda dulu.
Kalau tidak salah tiga hari lagi Bapak pulang. Itu kan hari Sabtu Kom. Begini-begini Emak pernah sekolah meskipun hanya di sekolah dasar, Emak bisa membaca dan tahu nama-nama hari.
Baiklah Nak, kita akan mempersiapkan keperluan untuk menyambut kepulangan Bapakmu besok Sabtu. Emak akan buat masakan spesial. Nasi tiwul sama sambel ikan lalap kangkung.
@@@
Emak tak sabar lagi untuk menunggu matahari terbit. Ini akan menjadi hari yang paling bahagia dalam hidup Emak. Hari yang kita berdua tunggu selama ini. Kau ikut senang kan?
Iya, kita harus sedikit bersolek dulu. Rambut Emak yang sudah panjang ini harus diapakan ya? Apa dikepang? Mungkin Emak akan terlihat lebih muda. Tapi apa tidak kelihatan seperti anak-anak? Atau ditali ekor kuda? Hahaha, tidak tidak. Itu akan terlihat sangat lucu bagi Emak. Kalau digerai seperti ini Emak akan seperti wewe gombel. Ah, Emak bingung Kom bagaimana harus menata rambut. Rambut Emak tidak bisa lurus seperti rambut Rukmini itu. Di sini pun tidak ada tempat yang khusus buat mendandani orang.
Daripada Emak bingung mending begini saja. Nah, kau lihat lebih rapi kan Kom? Rambut Emak mungkin cocoknya digelung. Dan dipakaikan tutup kepala seperti ini. Uhh, rasanya Emak lebih muda dan lebih cantik. Ini juga mas kawin dari bapakmu Kom, kerudung merah jambu bunga-bunga. Belum pernah Emak pakai kecuali sekali dulu waktu mengantar bapakmu ke terminal. Emak menyimpannya agar tetap baru. Sekarang Emak pakai lagi untuk menyambut Bapakmu.
Jam sepuluh nanti kita harus siap-siap di depan rumah Kom. Emak ingin membantunya membawa barang-barang. Merantau beberapa lama pasti Bapak membawa sesuatu untuk kita.
@@@
Satu jam sudah mungkin kita berdiri di sini. Berdiri menahan bosan demi seseorang yang kita cintai tak membuat kita beranjak. Bukankah kita terbiasa terpanggang seperti ini? Ya, Emak tak mau masuk rumah dulu hanya karena dihalau terik matahari. Kau juga sabarlah sebentar.
Itu Kom! Seorang laki-laki tinggi tegap menenteng tas jinjing besar. Ia melangkah ke arah kita. Emak hampir tak mengenalinya. Seperti, aduh Emak jadi malu. Bapakmu sangat sangat tampan, Kom. Lihatlah, Nak. Biar Emak panggil dia. Ayo kita panggil bersama-sama!  
Tapi apa itu Kom? Emak lihat banyak orang yang mengantarnya. Wah, begitu terkenalkah Bapakmu hingga orang-orang menyambut kepulangannya juga? Tidak Kom, tidak. Siapakah orang-orang itu? Siapakah perempuan di samping Bapakmu yang menggendong anak kecil itu? Mengapa ada Rukmini? Kom, apa yang terjadi? Apa kau bisa menjelaskan pada Emakmu ini?


*** Kehidupan itu lebih dramatis dari drama

2 komentar:

  1. Assalaamu'alaikum wr.wb...

    Kisah di atas benar-benar menyentuh hati. Emak Kokom ternyata wanita kuat dan tabah menempuh keperitan hidup tanpa suami di sisi. Tidak semua wanita mampu menghadapi situasi begini, ditinggal jauh dan memelihara anak seorang diri. tentu kerinduan terasa amat dalam. jika monolog akhir yang menggambarkan Bapak Kokom beristeri lagi, aaahhhh... luka parah rasa hati ibu Kokom ya. Harapa hanya sekadar soal monolog hati yang meragui sahaja. Mudahan Rukmini tidak mengkhianati. Bisa aja terjadi jika smaa-sama jauh diperantauan. Siapa tahu. Cerpen yang bagus dan menyentuh rasa.

    Salam manis dari Sarikei, Sarawak.
    SITI FATIMAH AHMAD

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumsalam Kak Fatimah.

    Terimakasih sekali. Hanya sedang dalam kondisi good mood membuat fiksi. Kalau kejadiannya tidak benar-benar ada di sekitar saya. Syukurlah kalau Kak Fatimah suka. Jadi bikin saya semangat untuk menulis lagi. Mohon masukannya. :D
    Salam maniiiis .... :)

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)