Arogansi dalam bentuk kata-kata lebih menusuk, dalam, … dan
sakit. Sungguh tidak asyik.
Sebab musababnya, apalah yang saya tahu. Sebuah kebanggaan
atas status barangkali. Sebuah kedengkian juga bisa jadi. Bukankah lidah memang
tak bertulang? Dan saya kira, ada salah satu hal yang menyebabkab arogansi
dalam bentuk tersebut di atas, tiba-tiba meluncur deras bak anak panah yang
lolos dari busurnya.
Dan menjadi korban dari sebuah kearogansian, hem … itu lebih
tidak asyik lagi.
Barangkali tidak penting bagi saya untuk menggali sebab,
mengapa orang-orang itu menjadi sangat percaya diri mempertunjukkan
arogansinya. Barangkali juga, diam adalah lebih baik untuk saya. Buat apa saya
membalasnya jika hanya akan menambah semrawut dan kacau balau? Buat apa
menghabiskan energi untuk meladeni sebuah pertunjukan arogansi? Kata-kata, argumen, pembelaan, lebih baik
disimpan karena tak akan bisa dimaklumi oleh orang-orang yang tidak mengerti. Saya
tak perlu bicara prinsip, oh apalagi itu.
Bukankah lebih baik
diam?
Bagi saya, diam bukan berarti tidak berbuat apa-apa. Saya hanya
mengurangi waktu yang tidak berguna untuk meladeni hal-hal yang sama tidak
bergunanya itu. Buat apa? Toh saya, tidak perlu membuktikan segala sesuatunya
dengan kata-kata. Saya diam, tetapi melakukan aksi nyata. Kehidupan yang sudah
Allah berikan untuk saya, adalah anugerah tersendiri yang harus saya syukuri
dengan melakukan sesuatu yang positif dan bermanfaat. Biarkan jika mulut mereka
tetap menganga. Biarkan seribu kata tak berguna terlontar sia-sia. Kata tak
perlu dibalas kata. Itu makna diam untuk saya.
Semoga dengan diam, saya tidak akan melakukan
hal buruk serupa kepada manusia lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)