19 Juli 2012

Ina


Kukantongi berpuluh nasihat menjelang keberangkatanku ke kampung ini dalam rangka mengabdikan ilmuku sebagai lulusan sarjana pendidikan. Bukan hal yang aneh mengingat aku adalah 'anak tunggal' dari keluarga Bapak. Tentang keluargaku ini sebenarnya adalah aib jika kuceritakan. Ya, singkatnya aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku sudah tak lagi kami ketahui kemana rimbanya. Berpuluh tahun ia ‘terpaksa’ pergi dari rumah ini untuk menjaga nama baik keluarga. Itulah masa-masa kelam keluarga ini. Hingga aku sebagai bungsu dijaga benar-benar oleh Bapak dan Ibu agar 'dosa' itu tak terulang lagi dalam sejarah keluarga kami.
Menjelang senja ini aku duduk-duduk di serambi rumah kontrakan. Tidak seperti sore-sore biasanya yang kuisi dengan mengajar anak-anak mengaji di Masjid Nurul Amal, aku lebih memilih membaca-baca majalah sebelum maghrib datang dan bulan Sya’ban berganti Ramadhan.
Tapi yang kubaca tak juga masuk ke otak. Kepalaku justru sibuk menghitung kapan Ramadhan terakhir aku bertemu dengan Ina, Kakakku yang tak kuketahui rimbanya itu. Tiba-tiba saja terpikir dia setelah membuka rubrik tanya jawab syariah di halaman sepuluh. Si penanya menceritakan kisah kelam masa lalunya dan ingin bertobat. Tapi dia tak yakin jika ia dapat melupakan masa lalunya yang kelam itu. Kisah itu mirip dengan yang dialami Ina.
Ah, membaca kisah itu membuat rinduku buncah dan ingin bertemu Ina. Sebelum kejadian itu, Ina adalah idolaku. Bukan karena aku tidak bersyukur, tapi secara fisik segala yang dia punya tidak aku miliki termasuk kulitnya yang kuning langsat, mata lebar, tahi lalat di lengan kiri dan alisnya yang rembulan nanggal satu. Belum lagi kalau rambut lurusnya digerai. Ina lebih cantik dari bidadari. 
Mungkin saja karena kelebihannya itu, laki-laki pindahan tak tahu diri yang sudah memiliki anak istri yang rumahnya di seberang jembatan itu, memanfaatkan Ina sebagai mainannya. Ina terjebak, tak sadar dosa apa yang dia lakukan hingga suatu hari warga kampung menggerebek mereka berdua di tengah malam. Ina diusir. Laki-laki bejat itu aku tak tahu. Bapak dan Ibu adalah orang yang paling kalap. Aku benci setengah mati. Melihat Ina tak ubahnya seperti Mak Lampir yang rambutnya penuh ulat menjijikkan. Hari itu juga Ina pergi. Tanpa bekal uang, tak ada pakaian kecuali yang menempel di tubuhnya. Orang serumah telah mengharamkan segala sesuatu yang dulu dia miliki untuk disentuh. Dia pergi dengan hati tersayat yang disiram cuka. Tak mengucap sepatah kata.
Mataku basah mengenang Ina. Kami tak pernah mencarinya. Kami tak pernah ingin tahu kabarnya. Bapak menganggap Ina sudah mati.
Kuhentikan membaca kisah itu. Jawaban ustadz di majalah itu membuat keinginanku untuk mencari Ina begitu kuat. Kalau si penanya di majalah itu bisa bertobat, bukankah itu juga bisa dilakukan Ina? Bukankah Ina bisa membuka lembaran baru untuk menyesali apa yang dilakukan pada masa lalu? Tapi harus kemana aku mencari Ina. Dia pergi tanpa membawa apapun dan tak pernah ada kabar apapun. Mungkinkah Ina menghukum dirinya dengan menghuni rumah-rumah bordil dan menjadi wanita penjaja? Ah, aku tidak percaya Ina akan seperti itu.
Mulai detik ini kutancapkan tekad, aku harus menemukan Ina dan membawanya pulang dalam keadaan apapun.
--&--
Menginjak petang, ini malam pertama Ramadhanku di rantau orang. Aku masih beradaptasi dengan cara hidup orang-orang di kampung ini. Selepas maghrib, corong-corong di masjid sudah menyuarakan ayat-ayat suci sekeras mungkin. Anak-anak kecil bersuat-suit janjian akan berangkat tarawih bersama. Ibu-ibu sudah membicarakan menu-menu sahur besok pagi.
Menjelang isya’ masjid Nurul Amal sudah penuh. Hampir tidak ada bedanya dengan malam pertama Ramadhan di kampung halamanku sendiri. Hanya saja, selepas tarawih aku ngos-ngosan karena dua puluh tujuh rakaat dilalui dengan cepat.
Aku kembali teringat Ina. Dulu kalau sehabis tarawih seperti ini, kami biasanya berebut menyalami eyang dan berjanji akan puasa penuh selama satu bulan. Tak lupa menagih jatah paha ayam goreng kami yang dipotong spesial untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Aku selalu bisa mengalahkan Ina. Jatahku selalu lebih banyak karena aku si bungsu yang tak mau kalah.
“Permisi, Mbak. Sandal saya keinjak Mbak, itu. Iya sayang iya, sebentar.”
Aku menyingkir sembari meminta maaf. Rupanya perempuan itu sudah ditarik-tarik anaknya agar segera keluar dari masjid. Aku tak lupa melempar senyum pada si kecil. Anak itu, matanya lebar dan berkulit kuning langsat. Memakai kerudung warna biru muda bermotif bunga. Aku seperti menemukan Ina pada matanya. Tapi belum sempat aku bertanya, si kecil sudah merengek. Ia menarik baju ibunya hingga perempuan itu hampir tersuruk. Aku hanya geleng-geleng kepala. Mungkin saja dulu ulahku dan Ina lebih dari itu jika sudah merengek pada Ibu.
--&--
Terhitung malam ketujuh Ramadhan aku belum juga menemukan cara untuk mencari Ina. Iseng-iseng kucari di internet, tidak ada yang bersangkut paut dengan Ina-ku. Yang ada aku hanya jengkel sendiri karena tidak tahu harus menghubungi siapa untuk mencari orang yang satu ini. Penyesalan itu tiba-tiba datang, mengapa dulu tak membekali Ina dengan sesuatu yang bisa membawanya kembali ke rumah ini.
Kebuntuanku itu berlalu hingga Ramadhan hampir usai. Aku disibukkan pada kegiatan pesantren Ramadhan anak-anak TPA Nurul Amal. Tak lagi sempat kupikirkan cara mencari Ina. Hanya pada setiap sujud tak lupa aku memohon kepada Allah SWT agar Kakakku baik-baik saja dan aku bisa bertemu dengannya jika dia masih hidup. Aku ingin meminta maaf dan mengajaknya pulang menemui Bapak Ibu.
--&--
Pesantren Ramadhan usai pada H-10 Idul Fitri. Paska kegiatan itu Ustadz Yusuf mengundang ustadz dan ustadzah TPA untuk berbuka puasa di tempat tinggalnya. Meskipun aku baru beberapa bulan mengajar di situ, aku sudah diterima baik oleh warga sekitar. Aku berjanji akan memenuhi undangan ustadz Yusuf.
“Kalau ada waktu silakan datang ke rumah lebih awal, Re. Sepertinya istri saya butuh bantuan.”
Aku mengiyakan saja. Karena tidak mungkin dua orang ustadzah TPA yang lebih senior dariku itu bisa membantu memasak. Mereka berdua sudah sibuk mengurusi keluarga.
Pada sore yang dijanjikan aku mengetuk pintu rumah ustadz Yusuf. Seorang anak kecil bermata bundar menyambutku di depan pintu. Aku ingat ia adalah si kecil yang memakai kerudung warna biru muda bermotif bunga tempo itu. Baru kuketahui kalau si kecil itu adalah bagian dari keluarga ustadz Yusuf. Berarti perempuan yang sandalnya kuinjak itu adalah istri dari ustadz Yusuf?
Si empunya rumah menyusul si kecil ke depan pintu.
“Sayang, Mbak Re disuruh masuk saja. Itu Bunda sudah menunggu di belakang. Masuk Mbak Re!” Ustadz Yusuf berteriak dari tempatnya menyirami bunga.
Selain cantik si kecil itu ternyata cerdas. Dia menyalamiku dan memperkenalkan diri.
“Sophie.” Ucapnya malu-malu.
“Lewat mana, sayang?” Aku menowel pipinya yang lucu.
Sophie berlari kecil dan berteriak memanggil bundanya. Aku membuntuti Sophie ke arah belakang. Ini pertama kalinya aku bertamu ke rumah ustadz Yusuf. Begitu sampai di dapur terdengar gemericik air. Perempuan dengan rambut sebahu mengelap tangannya. Berbalik ke arahku.
Perempuan itu memiliki mata bundar seperti Sophie. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya lurus sebahu. Dan satu-satunya yang membuatku terbelalak adalah tahi lalat di lengan kirinya. Aku tidak asing dengan makhluk yang satu ini.*** 

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)