Kukantongi berpuluh nasihat menjelang
keberangkatanku ke kampung ini dalam rangka mengabdikan ilmuku sebagai lulusan
sarjana pendidikan. Bukan hal yang aneh mengingat aku adalah 'anak tunggal'
dari keluarga Bapak. Tentang keluargaku ini sebenarnya adalah aib jika
kuceritakan. Ya, singkatnya aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku
sudah tak lagi kami ketahui kemana rimbanya. Berpuluh tahun ia ‘terpaksa’ pergi
dari rumah ini untuk menjaga nama baik keluarga. Itulah masa-masa kelam
keluarga ini. Hingga aku sebagai bungsu dijaga benar-benar oleh Bapak dan Ibu
agar 'dosa' itu tak terulang lagi dalam sejarah keluarga kami.
Menjelang senja ini aku duduk-duduk di
serambi rumah kontrakan. Tidak seperti sore-sore biasanya yang kuisi dengan
mengajar anak-anak mengaji di Masjid Nurul Amal, aku lebih memilih membaca-baca
majalah sebelum maghrib datang dan bulan Sya’ban berganti Ramadhan.
Tapi yang kubaca tak juga masuk ke otak.
Kepalaku justru sibuk menghitung kapan Ramadhan terakhir aku bertemu dengan
Ina, Kakakku yang tak kuketahui rimbanya itu. Tiba-tiba saja terpikir dia
setelah membuka rubrik tanya jawab syariah di halaman sepuluh. Si penanya
menceritakan kisah kelam masa lalunya dan ingin bertobat. Tapi dia tak yakin
jika ia dapat melupakan masa lalunya yang kelam itu. Kisah itu mirip dengan
yang dialami Ina.
Ah, membaca kisah itu membuat rinduku
buncah dan ingin bertemu Ina. Sebelum kejadian itu, Ina adalah idolaku. Bukan
karena aku tidak bersyukur, tapi secara fisik segala yang dia punya tidak aku
miliki termasuk kulitnya yang kuning langsat, mata lebar, tahi lalat di lengan
kiri dan alisnya yang rembulan nanggal
satu. Belum lagi kalau rambut lurusnya digerai. Ina lebih cantik dari bidadari.
Mungkin saja karena kelebihannya itu,
laki-laki pindahan tak tahu diri yang sudah memiliki anak istri yang rumahnya
di seberang jembatan itu, memanfaatkan Ina sebagai mainannya. Ina terjebak, tak
sadar dosa apa yang dia lakukan hingga suatu hari warga kampung menggerebek
mereka berdua di tengah malam. Ina diusir. Laki-laki bejat itu aku tak tahu.
Bapak dan Ibu adalah orang yang paling kalap. Aku benci setengah mati. Melihat
Ina tak ubahnya seperti Mak Lampir yang rambutnya penuh ulat menjijikkan. Hari
itu juga Ina pergi. Tanpa bekal uang, tak ada pakaian kecuali yang menempel di
tubuhnya. Orang serumah telah mengharamkan segala sesuatu yang dulu dia miliki
untuk disentuh. Dia pergi dengan hati tersayat yang disiram cuka. Tak mengucap
sepatah kata.
Mataku basah mengenang Ina. Kami tak
pernah mencarinya. Kami tak pernah ingin tahu kabarnya. Bapak menganggap Ina
sudah mati.
Kuhentikan membaca kisah itu. Jawaban
ustadz di majalah itu membuat keinginanku untuk mencari Ina begitu kuat. Kalau
si penanya di majalah itu bisa bertobat, bukankah itu juga bisa dilakukan Ina?
Bukankah Ina bisa membuka lembaran baru untuk menyesali apa yang dilakukan pada
masa lalu? Tapi harus kemana aku mencari Ina. Dia pergi tanpa membawa apapun
dan tak pernah ada kabar apapun. Mungkinkah Ina menghukum dirinya dengan
menghuni rumah-rumah bordil dan menjadi wanita penjaja? Ah, aku tidak percaya
Ina akan seperti itu.
Mulai detik ini kutancapkan tekad, aku
harus menemukan Ina dan membawanya pulang dalam keadaan apapun.
--&--
Menginjak petang, ini malam pertama
Ramadhanku di rantau orang. Aku masih beradaptasi dengan cara hidup orang-orang
di kampung ini. Selepas maghrib, corong-corong di masjid sudah menyuarakan
ayat-ayat suci sekeras mungkin. Anak-anak kecil bersuat-suit janjian akan
berangkat tarawih bersama. Ibu-ibu sudah membicarakan menu-menu sahur besok
pagi.
Menjelang isya’ masjid Nurul Amal sudah
penuh. Hampir tidak ada bedanya dengan malam pertama Ramadhan di kampung
halamanku sendiri. Hanya saja, selepas tarawih aku ngos-ngosan karena dua puluh
tujuh rakaat dilalui dengan cepat.
Aku kembali teringat Ina. Dulu kalau
sehabis tarawih seperti ini, kami biasanya berebut menyalami eyang dan berjanji
akan puasa penuh selama satu bulan. Tak lupa menagih jatah paha ayam goreng
kami yang dipotong spesial untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Aku selalu
bisa mengalahkan Ina. Jatahku selalu lebih banyak karena aku si bungsu yang tak
mau kalah.
“Permisi, Mbak. Sandal saya keinjak Mbak,
itu. Iya sayang iya, sebentar.”
Aku menyingkir sembari meminta maaf. Rupanya
perempuan itu sudah ditarik-tarik anaknya agar segera keluar dari masjid. Aku
tak lupa melempar senyum pada si kecil. Anak itu, matanya lebar dan berkulit
kuning langsat. Memakai kerudung warna biru muda bermotif bunga. Aku seperti
menemukan Ina pada matanya. Tapi belum sempat aku bertanya, si kecil sudah
merengek. Ia menarik baju ibunya hingga perempuan itu hampir tersuruk. Aku
hanya geleng-geleng kepala. Mungkin saja dulu ulahku dan Ina lebih dari itu
jika sudah merengek pada Ibu.
--&--
Terhitung malam ketujuh Ramadhan aku
belum juga menemukan cara untuk mencari Ina. Iseng-iseng kucari di internet,
tidak ada yang bersangkut paut dengan Ina-ku. Yang ada aku hanya jengkel
sendiri karena tidak tahu harus menghubungi siapa untuk mencari orang yang satu
ini. Penyesalan itu tiba-tiba datang, mengapa dulu tak membekali Ina dengan
sesuatu yang bisa membawanya kembali ke rumah ini.
Kebuntuanku itu berlalu hingga Ramadhan
hampir usai. Aku disibukkan pada kegiatan pesantren Ramadhan anak-anak TPA
Nurul Amal. Tak lagi sempat kupikirkan cara mencari Ina. Hanya pada setiap
sujud tak lupa aku memohon kepada Allah SWT agar Kakakku baik-baik saja dan aku
bisa bertemu dengannya jika dia masih hidup. Aku ingin meminta maaf dan mengajaknya
pulang menemui Bapak Ibu.
--&--
Pesantren Ramadhan usai pada H-10 Idul
Fitri. Paska kegiatan itu Ustadz Yusuf mengundang ustadz dan ustadzah TPA untuk
berbuka puasa di tempat tinggalnya. Meskipun aku baru beberapa bulan mengajar
di situ, aku sudah diterima baik oleh warga sekitar. Aku berjanji akan memenuhi
undangan ustadz Yusuf.
“Kalau ada waktu silakan datang ke rumah
lebih awal, Re. Sepertinya istri saya butuh bantuan.”
Aku mengiyakan saja. Karena tidak mungkin
dua orang ustadzah TPA yang lebih senior dariku itu bisa membantu memasak. Mereka
berdua sudah sibuk mengurusi keluarga.
Pada sore yang dijanjikan aku mengetuk
pintu rumah ustadz Yusuf. Seorang anak kecil bermata bundar menyambutku di
depan pintu. Aku ingat ia adalah si kecil yang memakai kerudung warna biru muda
bermotif bunga tempo itu. Baru kuketahui kalau si kecil itu adalah bagian dari
keluarga ustadz Yusuf. Berarti perempuan yang sandalnya kuinjak itu adalah
istri dari ustadz Yusuf?
Si empunya rumah menyusul si kecil ke
depan pintu.
“Sayang, Mbak Re disuruh masuk saja. Itu Bunda
sudah menunggu di belakang. Masuk Mbak Re!” Ustadz Yusuf berteriak dari tempatnya
menyirami bunga.
Selain cantik si kecil itu ternyata
cerdas. Dia menyalamiku dan memperkenalkan diri.
“Sophie.” Ucapnya malu-malu.
“Lewat mana, sayang?” Aku menowel pipinya
yang lucu.
Sophie berlari kecil dan berteriak
memanggil bundanya. Aku membuntuti Sophie ke arah belakang. Ini pertama kalinya
aku bertamu ke rumah ustadz Yusuf. Begitu sampai di dapur terdengar gemericik
air. Perempuan dengan rambut sebahu mengelap tangannya. Berbalik ke arahku.
Perempuan itu memiliki mata bundar
seperti Sophie. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya lurus sebahu. Dan
satu-satunya yang membuatku terbelalak adalah tahi lalat di lengan kirinya. Aku
tidak asing dengan makhluk yang satu ini.***
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)