20 Juli 2012

Bagian Satu

Rasanya lamaaa sekali tidak mengerutkan kening untuk menuliskan karakter-karakter yang membumbui cerita. Perjalanan wara-wiri Solo-Pct, penulisan skripsi yang menyita waktu, menjadi alasan yang aku paksa untuk masuk akal untuk berhenti sejenak mengarang-ngarang cerita. Ya begitulah. Tapi kangen juga rasanya tidak bertemu mereka (si tokoh-tokoh itu). Ingin kembali bercengkrama dan membuat kisah mereka mengharu biru.

Sebenarnya sih sudah mulai sejak berbulan lalu untuk menggarap proyek novel solo itu. Tapi lagi-lagi ya alasan dan alasan. Boring, bad mood, block writer, busy, deelel, deesbe, deeste.

Supaya nggak ilang openingnya aku posting aja. Itung-itung nunggu masukan kalau ada yang berbuat khilaf membacanya. :D

Judulnya belum ada. Eh, ada banyak malah. Cuma belum memastikan mana yang cocok. Untuk sementara judulnya "Tanpa Judul" sajalah. Hihi! Nah, selamat membaca bagian satunya!



SATU           Cindera Mata
          Bekas luka di punggung tangan kiri itu masih tampak jelas. Terlihat lebih putih dari warna kulit di sekitarnya yang sawo matang. Itu luka sebelas tahun yang lalu. Sebuah keteledoran yang tidak disengaja telah meninggalkan jejak di punggung tangannya sepanjang delapan senti.  
          Diusapnya bagian yang tergores. Sekarang sudah tak ada rasa sakit. Anehnya ia tak pernah menyesal atas kehadiran luka itu. Juga tidak menyalahkan keteledoran seseorang yang telah melukai tangan kirinya tanpa sengaja. Justru sebaliknya, ia menyimpan bekas luka itu bak cindera mata.
          Ia mengangkat tangan kirinya. Memegangnya erat lalu ditempelkan ke dada. Hatinya berpendar, hangat. Bibirnya mengukir senyum.  
          Bibirnya terus tersenyum. Meskipun peluh mengalir dari pori-pori kulitnya yang terbungkus kemeja putih, ia tak merasakannya. Bus tak ber-AC jurusan Solo-Pacitan yang sesak tak begitu membuatnya gerah. Banyak hal yang membuat hatinya buncah.
          Minggu lalu ia sudah diwisuda dengan nilai yang sangat terpuji. Tak sia-sia kerja kerasnya selama ini. Ia telah mempersembahkan yang terbaik untuk ibunya, perempuan yang sangat dicintainya. Bahkan sebuah yayasan sekolah telah menawarinya sebagai tenaga pengajar sesuai bidang ilmu yang ia miliki. Nah, untuk yang satu ini dia pulang ke Pacitan. Ia ingin meminta pertimbangan ibunya. Apakah ia harus menerima tawaran menarik dari yayasan tersebut atau memenuhi impiannya. Impian sederhana bagi seorang gadis seumuran dia.    
          Impian itu sudah digantang sejak lama sebenarnya. Hanya ia tak cukup berani menentang keinginan orang tua. Mereka semua hanya ingin melihat dia jadi sarjana sebelum akhirnya menjadi istri seseorang dan mengurus rumah tangga. Sekarang dia sudah menjadi sarjana. Dengan kata lain, ia tinggal meminta restu pada ibunya terkait impiannya yang sederhana itu. Mimpi yang membuat dia menjadi perempuan agung sedunia. Mimpi yang akan segera diraihnya. Ia ingin menjadi istri yang baik untuk laki-laki yang dicintainya. Membina rumah tangga sakinah yang penuh cinta. Mimpi yang membuat pendar hatinya semakin menyala terang. Yang membuat tangan yang tertera bekas luka itu semakin didekapnya erat. Bibir gadis itu semakin merekah. Membayangkan mimpi yang tinggal selangkah.*

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)