23 Desember 2011

Telaga Biru


*Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba foto fiksi Leutika (tidak lolos)
Akhir Oktober 2011        



Telaga Biru

Aku telah jatuh hati pada aroma yang dibawa angin gunung ke telaga ini. Menghirupnya lama-lama membuatku seolah terbang ke alam lain yang mengerti apa mauku. Apakah ini surga? Ah, tentu tak semudah itu tiba-tiba aku ada di surga bukan? Ini masih di bumi, di tepi telaga biru tempat aku menjejakkan kaki menunggu kepulanganmu. 

--&--
Oktober 2010

                Kita kembali bertemu di sini. Memanjakan diri dalam rengkuhan angin sore di tepi telaga biru. Aku duduk tak jauh di sebelahmu. Memainkan dedaunan rumput yang tumbuh liar. Ini tahun kedua sejak kau kembali merapat ke kampung ini. Bercengkerama dengan batang-batang pohon di tengah rimba di sebelah telaga itu. Kau bilang itu bagian dari hidupmu.

Aku melihat rautmu mendadak berubah sendu, seiring was-was yang tiba-tiba menyergapku. Kau bilang harus meninggalkan rimba ini beserta seluruh penghuninya untuk sementara waktu. Kau bilang akan kembali lagi setelah menyelesaikan penelitianmu tentang spesies rimba di belahan bumi di luar sana. Aku mengangguk saja. Dan tetap menguarkan aura kebahagiaan untuk menutupi kegalauanku.

                “Gadis, aku minta kau menungguku. Aku punya sesuatu yang spesial untukmu di hari itu. Sebelas, sebelas, dua ribu sebelas.”

                Aku tersenyum tanpa jemu meskipun khawatir kalau-kalau kita tak bisa lagi menikmati angin di telaga biru ini bersamaan. 
--&--

Awal November 2011   
 
Sepuluh hari menuju hari itu. Ini adalah hari ketiga ratus enam puluh lima dalam hitungan kalenderku. Lingkaran merah-merah itu sudah tak punya tempat lagi kecuali aku membeli kalender baru untuk tahun yang akan datang. Tapi aku belum mau menggantinya. Biar lingkaran-lingkaran itu tak berpindah dari tempatnya dan aku tidak perlu melingkari banyak angka.

11 November 2011

                Aku berangkat, menyusuri jalan setapak ke telaga biru. Membawa setumpuk harapan dan rasa penasaran akan sesuatu yang spesial.

                Kuambil baju hangat. Lalu setengah berlari mencapai tepi telaga. Aku menyepi di salah satu sudutnya. Matahari tidak terlalu terik di bulan November. Apa karena masih pagi? Oh ya, tetesan embun di pucuk-pucuk rerumputan itu belum menguap. Benar, berarti ini belum terlalu siang.

                Masih berapa menit lagikah menuju jam sebelas? Aku menyesal meninggalkan jam tangan coklat di ruangan pribadiku. Seharusnya tadi kubawa agar bisa menghitung menit demi menit yang berjalan. Tapi sudahlah, kalau pun sudah jam sebelas pasti kau akan datang bukan? Aku percaya padamu. Demi melihat embun di pucuk rerumputan itu hatiku tak jadi galau.

                Sepasang mata menatapku dari jauh. Seorang bapak-bapak tua pencari kayu bakar. Ia melihatku seolah hendak bertanya. Apakah ada yang aneh denganku Pak Tua? Aku melempar senyum. Bapak itu lantas membalas senyum. Aku tak mengindahkannya lagi saat beliau melanjutkan pekerjaannya.

                Oh waktu, aku semakin penasaran saja. Jam berapakah sekarang ini? Kenapa matahari diam saja di situ tanpa mau memberitahuku? Kenapa titik embun itu pergi tanpa pamit padaku? Oh, harusnya tadi embun memberitahu dulu sebelum berlalu. Pada siapa aku akan bertanya tentang waktu? Sedangkan air di telaga itu diam seolah tak terusik dengan kehadiranku.

                Pak Tua yang tadi melambai padaku. Apakah dia juga akan berlalu?

                “Waktunya makan siang. Kalau berkenan silakan mampir di gubukku.” Dia menunjuk ke arah timur. Di mana matahari sudah meninggalkannya condong ke barat. Aku mengangguk sendu.

                Bisakah sekarang kuperkirakan duhai kau waktu? Telaga biru itu masih membisu. Angin kembali berhembus, mengusir sedikit khawatir dalam hatiku.
--&--
                Matahari berlalu. Lihatlah ia telah membunuh siang. Aku beranjak meninggalkan tempat dudukku di sela-sela rerumputan. Lihat, ada jejak kaki! Aku melepas pandang ke tengah telaga. Menelisik jawaban dari sunyinya tempat itu.

                “Hei telaga, jejak kaki siapa yang membekas di tepimu itu? Bukankah Pak Tua tadi tidak memakai alas kaki?”

                Aku menatap curiga ke telaga. Seseorang pasti telah kemari. Meninggalkan jejak kaki yang belum terhapus.      

                “Gadis,” katanya. “Maaf aku baru memberitahumu. Laki-laki bertopi itu sudah kembali. kemarin dia mengunjungiku. Berjalanlah terus ke arah sana, ada pita biru yang dia sematkan pada pohon mahoni.”

                Apa, jadi dia sudah ke sini lebih dulu? Oh, tidak mungkin dia salah dalam menghitung tanggal. Aku seratus persen yakin kalau ini tanggal sebelas! Yakin!

                Kudekati pohon mahoni yang ditempeli pita biru. Sedikit demi sedikit kukeluarkan gulungan kertas dalam sebuah amplop putih.

                Aku tidak dapat menyalahkan penglihatanku. Amplop itu berisi kertas bertuliskan beberapa kalimat dan selembar foto yang sudah usang, oh gambarnya kukira dibuat agak blur. Tak ada yang lain.

                GADISKU YANG CANTIK,
                PASTI KAU MENUNGGU HARI SPESIAL ITU. AKU TAHU KAU AKAN DATANG. MAAFKAN AKU TAK SEMPAT BERTEMU. TAPI AKU TAK AKAN INGKAR JANJI. KAU BISA LIHAT DI FOTO ITU KAN? AKU MENEMUKAN ANAK LAKI-LAKIMU DI RUMAH TUA PINGGIR HUTAN DI DEKAT TEMPAT PENGABDIANKU. YA, AKU TAHU MASA LALUMU. MAAF. TAPI KAU JANGAN BERSEDIH, AKU AKAN TETAP MEMANGGILMU GADIS.
                SALAM HANGAT DARIKU.

                 Aku pandangi lekat-lekat kertas dan foto itu. Sedikit demi sedikit bayangan yang tertangkap retinaku mulai kabur. Entahlah apa yang terjadi selanjutnya.***


0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)