22 Juni 2012

Selembar Sarung vs Udin

Sebenarnya mau ikut lomba FTS Narsis Unlimited : Narsis Anti Galau Bikin Hidup Happy Tanpa Ending-nya WR. Mau menguji seberapa narsis diriku ini kalau dalam tulisan. Makanya latihan sedikit demi sedikit. Masalahnya ternyata tidak semudah itu. Meskipun narsis dalam kehidupan sehari-hari adalah perkara gampang, tapi kalau dituliskan bukan lagi perkara mudah *bagiku*. Apalagi menulis cerita yang ngocol abis. Takutnya malah terkesan mekso. Bukannya pembaca terpingkal-pingkal atau terhibur, tapi malah bikin mereka emoh karena ceritanya hancur lebur.  Tapi nggak boleh putus asa dong! Seberapa susah dan jeleknya ceritaku, harus tetap kucoba. Nah, salah satu dari proses latihan itu adalah cerita ini. Entahlah masuk dalam kategori apa. Penilaian diserahkan pada selera Anda. Selamat membaca!


Selembar Sarung vs Udin
Udin adalah seorang pemuda sederhana yang berpenampilan apa adanya. Cakep sih enggak. Paling cuma Emaknya aja yang bilang dia cakep. Selebihnya, orang bilang Udin cakep kalau ada perlunya aja. Tapi entah kenapa orang desa pada ngepens berat sama makhluk yang satu ini. Mungkin karena bakatnya yang ringan tangan. Jadi kalau ada angin berhembus, tangannya bakal melayang kemana aja. Hehehe, ya enggaklah. Dia memang anak baik hati, suka menolong dan tidak sombong.
            Karena saking apa adanya, Udin suka pakai sarung kemanapun dia pergi. Baginya selain prinsip apa adanya, sarung adalah pakaian ter-fleksibel yang dia punya. Nggak ada handuk, ia bisa handukan pakai sarung. Kalau tidur nggak ada selimut, sarung bisa dipakai buat selimutan. Ya peribahasanya tiada rotan Raam Punjabi, eh sarung pun jadi. Masa rotan dipake buat handukan. Atau kalau pengen ngintip siapa aja yang bisa diintip, sarung bisa dipakai biar jadi ninja. Pokoknya sarung adalah benda multitalent, eh multiguna.
            Sebenarnya bukan hanya Udin seorang yang suka dengan benda yang satu ini. Anak-anak, orang muda, orang tua, sampai orang-orangan sawah, sarung adalah benda favorit. Mereka mengenakan sarung kemanapun pergi. Bahkan tetangga Udin yang bernama Edi alias Junaedi, maunya juga pakai saruuuung terus. Dia nyuruh emaknya untuk memodifikasi sarung made in Indonesia itu menjadi sebuah seragam sekolah yang oke punya. Tetangga Udin lain yang PNS (Pak Nono Soemardi) kalau ke kantor juga berseragam dari bahan sarung. Pokoknya semua warga di kampung Udin jadi maniak sarung. Panas, hujan, berawan, gerimis, kemanapun dan kapanpun, tiada hembusan nafas tanpa sarung.
--&--
            Di suatu pagi yang indah. Karena matahari muncul tiba-tiba sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya, Udin yang melihat adegan itu gantian mengedipkan matanya. Hari ini ia bangun pagi dengan semangat dua ribu dua belas. (Jaman sekarang udah nggak jamannya lagi semangat empat lima. Abadnya aja udah abad dua satu).
            Setelah melipat rapi sarungnya yang habis disetrika dengan pewangi yang super wangi karena pakai pandan wangi. Tiba-tiba …. Hatshiii‼ Udin memang kadang suka nyeleneh. Ini bakatnya yang lain yang sesekali meresahkan emaknya, karena pandan wangi di belakang rumah gusis dipreteli Udin buat pewangi sarung.
            Tiba-tiba …  
            “Din! Ikut saya ke kantor desa!” Pak RT di lingkungan rumah Udin tiba-tiba nyelonong di depan Udin yang sedang ngambet sarungnya. Secara refleks Udin mengedipkan sebelah matanya kepada Pak RT.
            “Apa-apaan pakai kedip-kedipan mata. Nggak usah ngerayu! Ini urusan super penting. Jadi tidak usah bertele-tele.”
            Udin masih kaget setengah hidup. Matanya yang sebelah gentian berkedip. Kalau tadi yang kiri sekarang yang sebelah kanan.
Karena nggak mau bertele-tele, pak erte menyeret Udin begitu saja ke kantor desa. Dia tidak mempedulikan Udin yang meronta. Di sana semua warga sudah menunggu. Mereka memandang gemas ke arah Udin.
“Malingnya sudah saya bawa, Sodara-sodara. Berikut barang buktinya. Mari kita adili dengan seadil-adilnya.”
“Adili!”
“Yang adil.”
“Pengadilan.”
“T-tunggu. Ada apa ini? Saya bukan maling. Saya kesini bukan untuk diadili, tapi diseret dengan paksa oleh Pak RT.”
“Maling sarung, ayo ngaku kamu! Itu kan buktinya kamu bawa sarung.”
“Ini sarung saya sendiri!”
“Pokoknya Hajar! Biar kapok!”
Bag! Big! Bug! Tulang Udin remuk. Warga girang karena sudah membuat pengadilan dan mengadili maling sarung dengan seadil-adilnya. Tiba-tiba Jupri yang kehilangan sarung muncul di kantor desa sambil terbahak-bahak.
“Tuh, Pri. Malingnya sudah ketemu. Sudah kami balas setimpal dengan perbuatannya. Enaknya kita apakan lagi?”
“Hah? Siapa Pak RT? Udin? Ya ampun. J-jadi….”
Jupri mendekati Udin. Anak itu meringis karena ujung bibirnya sobek. Bajunya rowak-rawek. Celananya sobek, resletingnya ucul. Tinggal tersisa kaos singlet dan celana dalam di tubuh Udin.  
“Ngapain kamu di sini Din?”
Jupri tak habis pikir. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa makhluk yang satu ini di balai desa dengan tubuh babak belur. Tiba-tiba Jupri mengeluarkan sesuatu dari kresek hitam. “Lha iki Pak, sarungku ketemu. Kemarin tak jemur di belakang rumah njur kanginan, temangsang di tiang jembatan .”
“Ooo, semprul! Tiwas raiku ajur mumur!” Udin ndongkol nggak karuan. Mumpung orang-orang masih terfokus ke arah Jupri, ia berhitung. Satu…dua…ti…ga, kabuuuurr‼‼‼
“Hei Din, Udin Jamaludin! Udiiin‼‼!” Pak RT dan warga memanggilnya teriak-teriak.
“Saya bukan maliiiing!” Udin ngos-ngosan. Ia emoh diadili kedua kalinya.
“Bukan, Diiiin! Kamu mau kemana? Clonomu rung mbok nggo!”
Ha??‼ Udin terbelalak. Dan… BRUKK‼ Udin (pura-pura) semaput.***

Pacitan, Mei 2012

2 komentar:

  1. Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
    tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)