11 April 2012

Ayam Juga Preman


Kami punya seekor ayam jago. Kami namai pepe. Nama itu memiliki arti tersendiri dan menyimpan kenangan tersendiri buat kami yang sering jadi korban pepe. Asal tahu saja, pepe adalah akronim dari pitik preman. Pitik dalam bahasa jawa berarti ayam.

Secara fisik, pepe adalah ayam jago yang memiliki jengger lebar, tebal dan besar, pahanya besar, bulunya lebat dan ekornya warna hitam, panjang. Warna bulunya merah campur hitam. Secara singkatnya ia adalah ayam jago tergagah seantero rumah kami.

Layaknya manusia, pepe mungkin punya sifat sombong juga karena dia tidak punya saingan untuk mengencani ayam-ayam kami yang betina. Kelakuannya kasar dan sering nyruduk siapa saja yang lewat kalau ia ingin. Makanya kalau ada anak-anak sekolah yang lewat depan rumah, mereka dipastikan lari terbirit-birit atau kalau nggak mereka bawa senjata berupa ranting kayu untuk ngusir si pepe. Payahnya, kalau pepe ingin nyruduk orang, dia akan mengejar korbannya sampai jauh. Jadi kalau tidak berbakat jadi sprinter, kami sarankan untuk tidak dekat-dekat dengan pepe atau lewat depan rumah.

Aku pernah menjadi korban pepe. Jadi sewaktu suatu pagi yang rame, dalam kondisi suasana hati yang tidak 'fit', aku dapat tugas nyuci ikan laut. Rupanya nasibku memang beruntung karena setelah tengok kiri kanan nggak ada orang lain yang bisa menggantikan tugas mulia itu. Kebayang kan amisnya ikan laut. Lengkap deh, emosi tingkat tinggi ditambah setengah ikhlas.

Rupanya pepe lagi di belakang rumah. Ah, si pepe ini rupanya kebawa suasana. Maksudnya suasana perutnya yang keroncongan dan bakatnya ngusilin orang. Dia berniat nyamperin emberku yang penuh ikan. Tahu suasana lagi nggak aman dia menyingkir ke belakang panggung. Aku sih lihatnya santai aja. Toh, pepe berlagak cuek dan aku juga nggak ada urusan sama dia. Cari amanlah.
Singkat cerita, hampir selesai tugasku yang maha berat pagi itu. Saat mau membereskan perkakas buat nyuci ikan barusan, tahu-tahu dari belakang pepe sudah beraksi menubrukku dari belakang. Kejadian itu hanya sekejap. Layaknya kilat yang mampir sejenak sebelum hujan datang. Refleks aku melempar benda yang kupegang dengan niat menghalau pepe agar menjauh. Baru beberapa detik kemudian aku sadar benda apa yang kulempar. Karena lupa memperhitungkan berapa joule tenaga yang kukeluarkan saat melempar benda itu, aku jadi sedikit terhenyak saat ibuku ber-istighfar sambil memegangi ember yang penyok.

Keluarlah segudang amarahku. Mataku panas. Pepe terbirit-birit tak bersalah. Mungkin dalam hati ia sudah cekikikan karena berhasil membuatku mewek. Keluarlah seribu kata-kataku untuk pepe. LEBIH BAIK AYAM ITU DIPOTONG! Ah, tapi pasti dagingnya alot. Barangkali kalau dijual malah laku. Tapi siapa yang sudi membeli pepe? Tak tahulah, tapi dalam hatiku masih menyimpan dendam yang tak berkesudahan.

Seiring waktu berlalu, pepe masih setia menghuni kandangnya. Rutinitas pepe juga tetap berjalan, mengencani ayam-ayam betina milik kami.

Akhirnya waktu memberikan jawaban. Suatu hari kami terdesak oleh kebutuhan tertentu yang tidak bisa kuceritakan. Uang yang ada sudah dihitung dan belum memenuhi hitungan. Inilah saatnya pepe menjadi korban. Seseorang akhirnya membawanya pulang setelah sebelumnya memberikan kami segepok uang.

Ada gurat kesedihan, dan rasa terimakasih yang tak terbilang. Pepe telah berganti tuan.
Sekarang dia memiliki dunia yang baru dan kabarnya pepe menjadi lebih alim. Ah pepe, jadi kangen. Dibalik arogansimu, ternyata kau adalah investasi berharga buat kami.

2 komentar:

  1. bye bye pepe...
    Rahma, blognya lama gak diupdate..
    sibuk skripsi ya?

    #akhirnyaaaaaaa...
    tahu juga alamat blogmu.
    ^0^

    BalasHapus
  2. Enha, makasih udah berkunjung bu! blogya masi berrrantakan! :D
    Iye, sibuk bengong nih, jadi ga nulis-nulis.

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)