*Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba foto fiksi Leutika (tidak lolos)
Akhir Oktober 2011
Telaga Biru
Aku telah jatuh hati
pada aroma yang dibawa angin gunung ke telaga ini. Menghirupnya lama-lama
membuatku seolah terbang ke alam lain yang mengerti apa mauku. Apakah ini
surga? Ah, tentu tak semudah itu tiba-tiba aku ada di surga bukan? Ini masih di
bumi, di tepi telaga biru tempat aku menjejakkan kaki menunggu
kepulanganmu.
--&--
Oktober 2010
Kita
kembali bertemu di sini. Memanjakan diri dalam rengkuhan angin sore di tepi
telaga biru. Aku duduk tak jauh di sebelahmu. Memainkan dedaunan rumput yang
tumbuh liar. Ini tahun kedua sejak kau kembali merapat ke kampung ini.
Bercengkerama dengan batang-batang pohon di tengah rimba di sebelah telaga itu.
Kau bilang itu bagian dari hidupmu.
Aku melihat rautmu
mendadak berubah sendu, seiring was-was yang tiba-tiba menyergapku. Kau bilang
harus meninggalkan rimba ini beserta seluruh penghuninya untuk sementara waktu.
Kau bilang akan kembali lagi setelah menyelesaikan penelitianmu tentang spesies
rimba di belahan bumi di luar sana. Aku mengangguk saja. Dan tetap menguarkan
aura kebahagiaan untuk menutupi kegalauanku.
“Gadis,
aku minta kau menungguku. Aku punya sesuatu yang spesial untukmu di hari itu.
Sebelas, sebelas, dua ribu sebelas.”
Aku
tersenyum tanpa jemu meskipun khawatir kalau-kalau kita tak bisa lagi menikmati
angin di telaga biru ini bersamaan.
--&--
Awal November 2011
Sepuluh hari
menuju hari itu. Ini adalah hari ketiga ratus enam puluh lima dalam hitungan
kalenderku. Lingkaran merah-merah itu sudah tak punya tempat lagi kecuali aku
membeli kalender baru untuk tahun yang akan datang. Tapi aku belum mau
menggantinya. Biar lingkaran-lingkaran itu tak berpindah dari tempatnya dan aku
tidak perlu melingkari banyak angka.
11 November 2011
Aku
berangkat, menyusuri jalan setapak ke telaga biru. Membawa setumpuk harapan dan
rasa penasaran akan sesuatu yang spesial.
Kuambil
baju hangat. Lalu setengah berlari mencapai tepi telaga. Aku menyepi di salah
satu sudutnya. Matahari tidak terlalu terik di bulan November. Apa karena masih
pagi? Oh ya, tetesan embun di pucuk-pucuk rerumputan itu belum menguap. Benar,
berarti ini belum terlalu siang.
Masih
berapa menit lagikah menuju jam sebelas? Aku menyesal meninggalkan jam tangan
coklat di ruangan pribadiku. Seharusnya tadi kubawa agar bisa menghitung menit
demi menit yang berjalan. Tapi sudahlah, kalau pun sudah jam sebelas pasti kau
akan datang bukan? Aku percaya padamu. Demi melihat embun di pucuk rerumputan itu
hatiku tak jadi galau.
Sepasang
mata menatapku dari jauh. Seorang bapak-bapak tua pencari kayu bakar. Ia
melihatku seolah hendak bertanya. Apakah
ada yang aneh denganku Pak Tua? Aku melempar senyum. Bapak itu lantas
membalas senyum. Aku tak mengindahkannya lagi saat beliau melanjutkan
pekerjaannya.
Oh
waktu, aku semakin penasaran saja. Jam berapakah sekarang ini? Kenapa matahari
diam saja di situ tanpa mau memberitahuku? Kenapa titik embun itu pergi tanpa
pamit padaku? Oh, harusnya tadi embun memberitahu dulu sebelum berlalu. Pada
siapa aku akan bertanya tentang waktu? Sedangkan air di telaga itu diam seolah
tak terusik dengan kehadiranku.
Pak
Tua yang tadi melambai padaku. Apakah dia juga akan berlalu?
“Waktunya
makan siang. Kalau berkenan silakan mampir di gubukku.” Dia menunjuk ke arah
timur. Di mana matahari sudah meninggalkannya condong ke barat. Aku mengangguk
sendu.
Bisakah
sekarang kuperkirakan duhai kau waktu? Telaga biru itu masih membisu. Angin
kembali berhembus, mengusir sedikit khawatir dalam hatiku.
--&--
Matahari
berlalu. Lihatlah ia telah membunuh siang. Aku beranjak meninggalkan tempat
dudukku di sela-sela rerumputan. Lihat, ada jejak kaki! Aku melepas pandang ke
tengah telaga. Menelisik jawaban dari sunyinya tempat itu.
“Hei
telaga, jejak kaki siapa yang membekas di tepimu itu? Bukankah Pak Tua tadi tidak
memakai alas kaki?”
Aku
menatap curiga ke telaga. Seseorang pasti telah kemari. Meninggalkan jejak kaki
yang belum terhapus.
“Gadis,”
katanya. “Maaf aku baru memberitahumu. Laki-laki bertopi itu sudah kembali.
kemarin dia mengunjungiku. Berjalanlah terus ke arah sana, ada pita biru yang
dia sematkan pada pohon mahoni.”
Apa,
jadi dia sudah ke sini lebih dulu? Oh, tidak mungkin dia salah dalam menghitung
tanggal. Aku seratus persen yakin kalau ini tanggal sebelas! Yakin!
Kudekati
pohon mahoni yang ditempeli pita biru. Sedikit demi sedikit kukeluarkan
gulungan kertas dalam sebuah amplop putih.
Aku
tidak dapat menyalahkan penglihatanku. Amplop itu berisi kertas bertuliskan
beberapa kalimat dan selembar foto yang sudah usang, oh gambarnya kukira dibuat
agak blur. Tak ada yang lain.
GADISKU YANG CANTIK,
PASTI KAU MENUNGGU
HARI SPESIAL ITU. AKU TAHU KAU AKAN DATANG. MAAFKAN AKU TAK SEMPAT BERTEMU.
TAPI AKU TAK AKAN INGKAR JANJI. KAU BISA LIHAT DI FOTO ITU KAN? AKU MENEMUKAN
ANAK LAKI-LAKIMU DI RUMAH TUA PINGGIR HUTAN DI DEKAT TEMPAT PENGABDIANKU. YA,
AKU TAHU MASA LALUMU. MAAF. TAPI KAU JANGAN BERSEDIH, AKU AKAN TETAP
MEMANGGILMU GADIS.
SALAM HANGAT
DARIKU.
Aku pandangi lekat-lekat kertas dan foto itu. Sedikit
demi sedikit bayangan yang tertangkap retinaku mulai kabur. Entahlah apa yang
terjadi selanjutnya.***
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Mohon tinggalkan pesan jika berkenan. :)